Koperasi dan Demokrasi Ekonomi dalam Imajinasi Moh. Hatta
Dalam pikiran para pendiri bangsa, terutama Mohammad Hatta, kemerdekaan Indonesia adalah terbentuknya sebuah negara republik yang demokratis. Berkali-kali Hatta menyebut istilah “daulat rakyat” dalam berbagai tulisan ataupun pidatonya. Menurut hemat penulis, istilah daulat rakyat ini mengandung berbagai implikasi, dan yang utama adalah kewarganegaraan yang aktif. Kewarganegaraan yang aktif menjadi aspek utama dalam mewujudkan negara republik yang demokratis.
Koperasi dan Kewarganegaraan yang Aktif
Perlu ditegaskan, bahwa pengertian kewarganegaraan yang aktif di sini bukan hanya berada dalam konteks kebebasan dan kesetaraan partisipasi politik, tetapi juga dalam konteks ekonomi. Menurut Hatta, demokrasi semestinya tak hanya berkutat dalam pengertian politik, tetapi juga ekonomi. Demokrasi seperti inilah yang diimpikan oleh seorang Hatta sebagai bentuk koreksi atas warisan struktural kolonialisme.
Sederhananya, bila demokrasi politik menyangkut partisipasi warga negara dalam persoalan politik, seperti aspirasi, kontrol publik dan banyak hal lainnya, maka demokrasi ekonomi berbicara mengenai partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan atau pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, demokrasi menyoal kesejahteraan juga. Hal ini pula yang menjadi salah satu titik tekan utama Hatta untuk sedikit mengoreksi demokrasi liberal ala Barat yang lebih mengutamakan individualisme.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah, dengan konsep apa demokrasi ekonomi bisa dijalankan sehingga hal tersebut tidak terbatas dalam pengertian politik semata? Untuk menjawab soal ini, Hatta mengajukan konsep koperasi.
Dalam banyak pidato ataupun tulisannya, Hatta adalah orang yang secara konsisten menggaungkan koperasi sebagai jalan dan wahana untuk mengatasi persoalan ekonomi di Indonesia, terutama untuk memberdayakan masyarakat kelas bawah yang memiliki modal terbatas serta tenaga yang kecil. Hatta juga adalah orang yang menginspirasi kelahiran Pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan koperasi sebagai salah satu soko guru perekonomian nasional.
Dalam kumpulan pidato Hatta yang dibukukan dengan judul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1987), Hatta bahkan menyebut bahwa tokoh pergerakan nasional (beberapa tokoh dalam Perhimpunan Indonesia) mempelajari secara serius bagaimana perkembangan dan kekuatan kooperasi yang berlangsung di Inggris, Jerman, Denmark, Swedia dan Norwegia, bahwa kooperasi bisa menjadi sarana yang efektif bagi golongan kelas bawah untuk lebih berdaya di tengah impitan pengaruh dan kekuasaan kapitalisme.
Berangkat dari pembacaan-pembacaan tersebut, di samping melihat keadaan sosial ekonomi pada era kolonial, pergerakan kemerdekaan Indonesia pun mencita-citakan Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Darinya, hiduplah suatu keyakinan bahwa bangsa Indonesia bisa keluar dari lumpur penindasan dan pengisapan, apabila ekonomi kerakyatan disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kooperasi. Latar belakang inilah yang menginspirasi kelahiran Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan”
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Dan sebagai catatan penting, asas kekeluargaan yang dimaksud dalam pasal tersebut yakni kooperasi (Hatta,1987).
Dengan demikian, koperasi memungkinkan masyarakat bawah berperan sebagai subjek ekonomi dan turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Dalam konteks inilah bisa dikatakan bahwa koperasi lebih memungkinkan untuk mewujudkan kewarganegaraan yang aktif terutama dalam upaya menunjang demokrasi yang ideal.
Sritua Arief dalam Pembangunanisme dan Ekonomi di Indonesia (1998) menyebut bahwa Hatta sendiri memandang koperasi dan demokrasi memiliki sifat saling menunjang. Koperasi mempertebal rasa tanggung jawab dalam kehidupan demokrasi dan demokrasi yang baik menyuburkan koperasi. Adapun gagasan Hatta mengenai koperasi merupakan koreksi totalnya atas sifat sistem perekonomian era kolonial yang dianggapnya eksploitatif (Arief, 1997).
Koperasi sebagai Jalan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi berasal dari kata “ko” yang berarti bersama dan “operasi” yang berarti bekerja. Secara sederhana koperasi dimaknai sebagai “sama-sama bekerja”. Koperasi sebenarnya sudah mengakar dalam tradisi masyarakat pedesaan di Indonesia. Hal tersebut tercermin misalnya dalam tradisi gotong royong dalam melakukan pekerjaan berat. Tradisi gotong royong ini sejalan dengan apa yang disebut oleh Hatta sebagai Koperasi Sosial.
Dalam pemahaman Hatta sebagaimana dalam tulisannya Koperasi: Meninjau Masalah Koperasi (1954), dasar dari koperasi sosial adalah solidaritas dan kesukarelaan. Selain koperasi sosial, ada juga yang disebut sebagai koperasi ekonomi.
Kemunculan koperasi ekonomi dalam sejarah masyarakat di Indonesia merupakan hal yang lebih baru. Koperasi ekonomi baru muncul sekitar akhir abad ke-19 menuju abad ke-20. Dalam koperasi ekonomi, perekoniman bukan hanya didasarkan pada solidaritas, tapi juga individualitas dalam artian ada kepentingan ekonomis yang berusaha untuk dikejar.
Namun, karena solidaritas ini menjadi pengikat, maka dalam koperasi ekonomi setiap individu dituntut untuk saling bekerja sama guna mengatasi problem bersama, terutama kemiskinan. Adapun akar historis terbentuknya koperasi ekonomi memang ditujukan bagi masyarakat pedesaan yang miskin agar mereka lebih berdaya.
Dari pemaparan Hatta, sebagaimana yang dikutip di atas, ada dua hal yang ingin penulis sampaikan:
Pertama, bahwa koperasi adalah lembaga yang sejalan dengan kepentingan pembangunan sosial, di satu sisi bisa memperkuat solidaritas sosial, dan di sisi lain dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Terlebih, koperasi sejatinya sudah sangat mengakar dalam tradisi masyarakat kita.
Kedua, koperasi adalah bagian dari cita-cita bangsa ini. Ide mengenai koperasi ialah bagian dari gagasan yang digaungkan oleh pendiri bangsa ini, khususnya oleh Hatta yang mengimpikan terwujudnya negara demokrasi yang ideal. Sebab itu, sebagai generasi penerus bangsa ini, cita-cita luhur tersebut harus kita pertanggungjawabkan.
Terlebih lagi, gagasan mengenai koperasi masih relevan hingga saat ini bila diupayakan secara sungguh-sungguh. Sebuah studi yang dilakukan C.D Merrett dan N. Walzer dalam Cooperatives and Local Development: Theory and Aplications (2004), menyebutkan bahwa ratusan juta petani kecil di negara-negara berkembang memperoleh keuntungan dari keanggotan koperasi.
Dalam hemat penulis, lebih mengaktifkan perkoperasian terutama di pedesaan adalah langkah yang strategis bukan hanya untuk menjawab tantangan kemiskinan, tetapi juga untuk mengurangi kesenjangan perekonomian desa dan kota. Namun, hal yang perlu ditegaskan kembali adalah bahwa upaya untuk mengaktifkan perkoperasian tersebut, bukan hanya memerlukan keseriusan, tapi juga kesabaran. Sayangnya, yang lebih berperan penting dalam membentuk struktur ekonomi politik di Indonesia justru para korporat.
Sebab itulah, momen kontestasi politik ini harus dimanfaatkan untuk menguji sejauh mana komitmen dan pemahaman para kandidat mengenai koperasi. Dengan mendasarkan pada elaborasi konstitusi dan pemikiran para pendiri bangsa dan dikaitkan dengan rancangan-rancangan strategis diharapkan dapat memaksimalkan koperasi di tengah tantangan ekonomi yang ada.
Sejauh ini, betapa pun para kandidat menyinggung persoalan koperasi, nyatanya masalah koperasi masih kurang mendapat perhatian yang serius, khusunya dalam diskursus ruang publik. padahal gagasan koperasi ini bukan hanya menjadi bagian dari cita-cita historis berdirinya republik ini, tetapi sekali lagi, sebagai konsep perekonomian yang masih relevan.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST