Kisah Asmara Manusia dan Empat Kesunyataan Mulia Buddha

slider
07 November 2020
|
6305

Sebanyak-banyaknya orang yang pernah menjalani kisah asmara paham, putus cinta bisa menjadi hal yang amat menyakitkan. No dabate.

Akan lebih jauh menyakitkan bila hubungan itu kandas saat tahap terakhir. Sudah hendak menikah, tetapi restu orangtua tidak didapat. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan menahun untuk memulihkan luka akibat putus cinta. Kepedihan itu muncul dari banyak faktor, bisa muncul dari dalam diri, dan lebih banyak muncul dari luar diri yang sepenuhnya tidak bisa kita kontrol.

Dalam pandangan Buddha, menderita setelah mengalami putus cinta ialah tanda bahwa situasi yang kita alami saat itu bermasalah. Ada yang kurang tepat dengan cara kita menganggapi situasi tersebut.

Seorang Buddhis akan berkata, “Masalahnya bukan terletak pada putus cinta, kehilangan seseorang yang pernah hadir dalam hidup kita adalah hal yang lumrah, itu bagian dari cara semesta yang tidak abadi ini berlangsung”.

Masalah utamanya terlatak pada bagaimana cara kita memahami ide tentang cinta, yang menurut ajaran Buddha, tidak terkait dengan ketergantungan dan nafsu memiliki. Tentu cinta dalam pandangan Buddha ini bertolak belakang dengan cinta yang umumnya dirayakan orang-orang hari ini.

Cinta seharusnya tak menyakiti. Kita paham adagium itu, tetapi tidak punya petunjuk bagaimana cara mempraktikannya. Cinta seharusnya menjadi pengalaman bahagia yang menyenangkan semua orang yang merasakannya.

Saat ada rasa sakit yang muncul akibat putus cinta, itu menjadi tanda bahwa ada keterikatan begitu besar hingga pada titik kita merasa bergantung pada orang yang kita cintai. Hingga kita berpikir bahwa, “Saya butuh orang ini untuk bisa hidup bahagia”. Jika sudah sampai pada tahap ini, kita tidak ada bedanya dengan pecandu obat-obatan. Seorang pecandu akan selalu butuh obat-obatan untuk bisa merasakan senang-kebahagia.

Memang, sebagai manusia kita mudah sekali bergantung kepada seseorang—itu sudah tertanam dalam gen kita sejak manusia pertama—tetapi kita juga bisa membebaskan diri dari ketergantungan. Buddha menawarkan cara untuk kita agar bisa terlepas dari penderitaan dalam bentuk apa pun. Solusi dari Buddha akan situasi yang pedih tertuang dalam Empat Kesunyataan Mulia (Four Noble Truths).[1]

Pertama, kesunyataan tentang penderitaan (Dukkha-Ariya-Sacca). Penderitaan ialah sifat bawaan setiap eksistensi tanpa terkecuali selama ia terdiri dari badan jasmani (rûpa), perasaan (vedanâ), pencerapan (sañña), mental (sankhâra), dan kesadaran (vijñâna).

Kedua, kesunyataan bahwa semua penderitaan ada dikarenakan rasa “haus” (tanhâ) yang berupa keinginan, ketergantungan, dan nafsu memiliki.

Ketiga, kesunyataan tentang penderitaan bisa dilenyapkan dengan melepaskan rasa “haus” yang menjadi sumber penderitaan.

Keempat, kesunyataan yang berisi jalan menuju pembebasan dari penderitaan.

Dalam pandangan Buddha, hubungan asmara ala zaman mutakhir ini agak problematis, sebab kental dengan ketergantungan dan nafsu memiliki. Tidak cukup sekadar hadir dalam kehidupan, kita juga mengharuskan pasangan untuk melakukan hal-hal yang bisa membahagiakan serta menjauh dari hal-hal yang berujung pada kesedihan.

Hubungan cinta semacam itu, kendati dirayakan dalam kebudayaan kita, sejatinya amat rentan untuk diandalkan sebagai salah satu cara yang bisa mendatangkan kebahagiaan lantaran kita menitipan kebahagiaan ke tangan orang lain yang belum tentu bahagia.

Belum lagi bila memikirkan kemungkinan orang yang kita titipkan kebahagiaan padanya ini bisa “hilang” dalam hidup kita kapan saja. Fakta ini akan menyeret kita untuk berjuang mati-matian agar sang kekasih tidak “menghilang”. Upaya ini lambat-laun membuat kita menderita, dan tentu saja jauh dari kebahagiaan. 

“Dari ketergantungan fisik timbulah kesedihan. Dari ketergantungan fisik muncullah ketakutan. Untuk seseorang yang terbebas dari ketergantungan fisik, tidak ada kesedihan. Dari mana asal ketakutan?”[2], demikian kata Buddha.

Bukan kenyataan yang mengejutkan apabila kita amat menderita saat berpisah dari orang yang kita pakemkan sebagai sumber utama kebahagiaan. Tiba-tiba hidup tanpanya sudah cukup menjadikan kita merasa sebagai orang paling malang sejagat raya. Lebih-lebih jika kita tahu bahwa sumber kebahagiaan kita itu sekarang sedang membahagiakan orang lain.

Lambat laun kita akan berpikir, “Satu-satunya solusi untuk masalah ini adalah balikan dengan si mantan”. Ya, itu bisa menjadi solusi, namun bukan solusi yang tepat. Pikiran semacam itu adalah jebakan delusi yang tidak sepenuhnya bisa dipercaya.

Kabar baiknya, menurut Buddha, rasa ingin kita terhadap hal semacam itu bisa dikurangi. Semakin kita bisa membebaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap seseorang, semakin sedikit pula kita menderita.

Sekarang coba perhatikan apa yang terjadi pada pecandu obat-obatan. Motif para pengguna obat-obatan ialah mencari kebahagiaan dan lari dari penderitaan. Kita paham kebahagiaan dan penderitaan adalah dua hal yang abstrak.

Para pecandu menggali dua hal abstak itu pada sesuatu yang konkret, yaitu obat-obatan. Dari kaitan logis ini kita bisa temukan, bahwa cara yang demikian ini kurang tepat.

Sama halnya dengan putus cinta. Saat seseorang berusaha secepat mungkin untuk mencari pengganti setelah putus cinta, sejatinya ia hanya mencoba lari dari luka. Kesenangan-kesenangan yang kita dapatkan dari kekasih baru tidak akan menyembuhkan luka yang ada. Tetapi hanya pelarian sesaat yang barangkali berpotensi akan menjadi luka baru.

Jika terus dalam kondisi seperti ini, kita akan terus berputar dalam lingkaran derita yang sama tanpa bergerak ke mana-mana selangkah pun. Tindakan demikian akan menjauhkan kita dari akar masalah yang sesungguhnya.

Menurut Buddha, kita hanya bisa lepas dari derita jika menghadapinya, berdamai, bukan lari menjauhinya. Artinya, kita harus duduk dengan kepedihan itu, sadar akan segala pikiran dan sensasi yang ada, mengamati perasaan-perasaan yang muncul, namun jangan sampai terbawa suasana kemudian menerima segala hal apa adanya. Hanya dengan menerimalah kita bisa bangkit dari keterpurukan. Luka-luka yang ada akan berbuah hikmah.

Sebagaimana manusia sewajarnya, kita menghindari rasa sakit, sebab rasa sakit itu tidak enak. Perlu juga kita renungi perkataan Viktor E. Frankl, seorang psikiater yang dijerumuskan dalam kamp konsentrasi Auschwitz pada masa Nazi-Hitler berkuasa.

Pada bab terakhir dalam Man’s Search for Meaning dikatakan, bahwa rasa sakit yang tak terhindar pada akhirnya akan membawa banyak pelajaran dan kebahagiaan jika mampu mengatasinya.

Pada level yang lebih dalam, menurut ilmu psikologis, rasa sakit dan penderitaan dapat mempengaruhi pembentukan karakter. Ketabahan dan ketegaran yang kita tunjukkan dihadapan rasa sakit akan membentuk karakter dengan kualitas jempolan.

Fyodor Dostoevsky dalam Crime and Punishment melalui karakter Raskolnikov, menulis, “Rasa sakit dan penderitaan adalah hal yang selalu tak terhindarkan dalam hidup orang-orang dengan intelektualitas tinggi dan hati yang lapang”.

Sejalan dengan yang Buddha katakan, kita semestinya tidak menghindari rasa sakit dan penderitaan. Alih-alih menjauh dari rasa itu, kita mesti berdamai dan memeluknya mesra.

Tentu pada tahap-tahap awal, saat ketergantungan kita kepada seseorang begitu besar, melakukan apa yang Buddha katakan akan sangat nelangsa dan menghantui. Kenangan yang pernah ada akan mengusik bertubi-tubi.

Namun setelah beberapa saat, rasa itu akan kian melemah hingga pada akhirnya kita bisa move on, dan dunia akan berlangsung baik-baik saja. Sebagaimana hubungan cinta yang tidak permanen, begitu pula dengan perasaan dan pikiran kita.

Ajaran Buddha tentang cinta amat berbeda dengan hubungan asmara yang kita pahami secara umum. Cinta itu tidak melukai, juga tidak diarahkan kepada satu orang dengan cara menggantungkan segala hal terhadapnya.

Cinta dalam maknanya ialah memberi tanpa harapan apa-apa, membiarkannya pergi bila memang sudah saatnya, dan berharap segala hal baik akan selalu bersamanya.

Pada titik ini, sebenarnya Buddha berbicara tentang konsep cinta-kasih (mettâ) dalam bentuk universal tanpa menyaratkan apa-apa. Cinta-kasih itu ditujukan kepada semua eksistensi, termasuk musuh, dan suka atau tidak, mantan kita.

“Tebarkanlah cinta tanpa batas ke seluruh dunia—atas, bawah, dan seberang—tanpa halangan, tanpa niat buruk, tanpa permusuhan”[3], begitu kata Buddha.

Kepedihan setelah putus cinta pada akhirnya menjadi blessing in disguise. Ia bisa menjadi kesempatan untuk membebaskan diri dari rasa ketergantungan yang tidak sehat.

Di samping itu, keadaan ini akan membangun adaptasi diri dengan kesendirian. Dalam pandangan Buddha, semakin kita mampu untuk menyendiri lebih-lebih bisa menghayatinya, semakin mampu pula kita mencintai seseorang secara independen; tanpa harapan pasangan kita sebagai sumber kebahagiaan dan kesenangan yang bisa dimanfaatkan.

Bagi kebanyakan kita, berharap sang mantan berbahagia apalagi setelah melalukan sesuatu yang membuat kita sedih mungkin satu hal yang ganjil untuk dilakukan. Keganjilan ini menunjukkan betapa merusaknya hubungan asmara versi zaman ini, rasa cinta yang bersyarat dan sewaktu-waktu dengan mudah bisa menjelma menjadi rasa benci.

Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana mungkin hal itu kita sebut dengan cinta jika ia begitu tipis berjarak dengan benci? Jawabannya sederhana saja: itu bukan cinta.

Apa yang kita jumpai adalah pseudo-cinta, mirip cinta tapi bukan cinta. Pseudo-cinta sepenuhnya tentang memuaskan kebutuhan sendiri, rasa memiliki, mengontrol dan menempatkan seseorang sebagai sumber kebahagiaan sendiri.

Dengan kata lain, memanfaatkan seseorang untuk kesenangan diri sendiri. Sederhananya, cinta yang tidak pseudo ialah berharap seseorang agar bisa bahagia. Pesudo-cinta ialah berharap seseorang agar bisa membahagiakan kita.

Buddha mengajarkan, semakin mandiri dalam memenuhi kebutuhan sendiri serta merasa penuh dengan diri sendiri, semakin sedikit pula kita membutuhkan seseorang dalam hal-hal tertentu. Bagi Buddha ini adalah bentuk cinta yang lebih murni dan lebih membebaskan.

Pada akhirnya, apabila kita dihadapkan dengan realita putus cinta selagi menjalin asmara, perpisahan tak akan terlalu menimbulkan luka.


[1] Nârada, The Buddha and His Teachings (Malaysia: Publication of the Buddhist Missionary Society, 1998), hlm. 89-90.

[2] The Dhammapada (New York: Oxford University Press, 2000), hlm. 39, ayat 214.

[3] Buddha, Mettâ Sutta.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ale Siregar

Peminat isu-isu filsafat, sering nimbrung di Ngaji Filsafat sejak 2013.