KH. Muhammad Dhimyati: Ngaji sebagai Jalan Tarekat

slider
22 Februari 2020
|
1792

Jejak spiritual sebagai bentuk mahabbah yang dilalui oleh para ulama merupakan jalan tempuh yang memiliki banyak rintangan. Hal ini merupakan karakter yang menjadi ciri khas para ahli ilmu dalam rangka mahabbah-nya menuju kedekatan kepada Pencipta. Karakter tersebut tecermin dalam perjalanan seorang ulama, seperti pada sosok Abuya Dhimyati, atau di Jawa di kenal dengan sebutan Mbah Dim dari Pandeglang, Banten.

Mbah Dim lahir dari pasangan KH. Amin dan Nyai Hj. Ruqyah pada 27 Sya’ban 1347/Juni 1920 dengan nama lengkap Muhammad Dhimyati, dan wafat pada 7 Sya’ban 1424/3 Oktober 2003 dalam usia 77 tahun.

Dari sejak masa kecil, Mbah Dim sudah terlihat istemewa dari kecerdasan dan kesalehan yang dimiliki. Perjalanan mencari dan mempelajari ilmu dilakukan Mbah Dim yakni dengan berpindah dari satu pesanteren ke pesantren yang lain. Pada masa remaja menuju dewasa beliau berpindah keluar dari tempat tinggal di Pandeglang ke daerah Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Lasem, dan Muntilan.

Perjalanan pencarian ilmu Mbah Dim dimulai sejak menerima ijazah tarekat dari ayahnya yakni tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah—yang kemudian diterima lagi dari Mbah Abdul Halim, salah satu kiai ketika Mbah Dim belajar di Pesantren Kadupeusing pada 1949. Usai dari Mbah Abdul Halim, Mbah Dim berguru pada Mbah Dalhar di Watucongol, Muntilan. Dari Mbah Dalhar pula Mbah Dim menerima ijazah tarekat Syadziliyah. Setelah menerima ijazah dari Mbah Dalhar, Mbah Dim mendapatkan beberapa ijazah salawat dari Mbah Abdul Malik, Purwokerto. Setelah selesai berguru di Purwokerto dengan Mbah Abdul Malik, Mbah Dim ke Lasem untuk berguru pada KH. Baidhowi dan Kiai Ma’shum. Mbah Dim berhasil menghafalkan Al-Qur’an 30 juz hanya dalam waktu 4 bulan.

Mbah Dim merupakan sosok ulama yang karismatik. Kekarismatikannya dikenal banyak orang. Pondok pesantren Mbah Dim di daerah Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dikunjungi para tamu dan pencari ilmu. Mbah Dim menerapkan hidup yang bersahaja, penganut tarekat (sufi), dan sebagai pembimbing para murid dalam menjalani dunia tasawuf. Dengan segala kesederhanaan dan kealiman dalam diri Mbah Dim, masyarakat Banten menjuluki beliau sebagai tumpuan atau pakunya Banten.

Jejak spiritual Mbah Dim terlihat dalam kepribadiannya yang istimewa. Berbeda dengan ulama lain, Mbah Dim berupaya menyedikitkan melakukan interaksi dan lebih meluangkan waktu banyak untuk mengaji dan ber-tawajjuh. Bagi Mbah Dim, mengaji merupakan sarana yang menentukan derajat keulamaan seseorang: mengaji merupakan jalan tarekat.

Pendapat Mbah Dim terkait mengaji sebagai jalan tarekat dilandasi oleh kecintaannya terhadap ilmu. Dengan didasarkan pada asumsi bahwa seorang ulama yang menyandang gelar pewaris para nabi ialah mereka yang tidak pernah meninggalkan majelis taklim. Hal ini juga merupakan kesunahan dan keteladan yang Nabi ajarkan. Dari sini, tradisi Islam yang diwariskan sejak zaman Nabi, sahabat, dan tabi’in dapat terus tersalurkan dengan tidak meninggalkan dunia majelis taklim serta menghargai ilmu.

Mbah Dim merupakan seorang ulama yang di dalam hatinya telah tertanam dan mengakar begitu kuat akan kecintaannya terhadap ilmu. Pada sosok Mbah Dim, gelar sebagai seorang ulama yang lahiriah-nya seperti lautan mutiara ilmu: Mbah Dim adalah ulama rasikhah, yakni ulama yang mencerminkan kedalaman ilmu.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Khusnun Niam

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta