Ketaatan Ritual, Kesalehan Sosial

slider
05 Agustus 2022
|
4385

Alkisah, hiduplah seorang penjaga surau di suatu kampung. Orang-orang memanggilnya Kakek. Konon, Kakek sudah menjadi penjaga surau sejak masa mudanya. Ia tidak punya istri, tidak punya anak, dan tidak juga punya rumah. Seluruh hidupnya ia gunakan untuk beribadah dan merawat surau. Ia hidup dari sedekah jemaah dan panen ikan mas dari kolam yang berada di depan surau.

“Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah subhanahu wa taala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya … Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan Pengasih dan Penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masyaallah kataku bila aku kagum ….”

Begitu kuat keyakinan Kakek bahwa jalan dan laku hidup yang ia pilih adalah benar, dan karenanya ia pasti mendapat rida Allah. Sampai suatu hari, datang seseorang yang menggoyahkan keyakinan Kakek, membuatnya merasa menjadi manusia terkutuk. Seseorang itu bernama Ajo Sidi, si pembual.

Ajo Sidi menceritakan peristiwa ketika Allah sedang memeriksa hamba-hamba-Nya di akhirat. Dari banyaknya manusia yang diperiksa, salah satunya bernama Haji Saleh. Haji Saleh sangat yakin ia akan dimasukkan ke surga. Oleh karena itu, ia menunggu gilirannya diperiksa sembari tersenyum-senyum dan menggembungkan dada. Ia juga melambaikan tangan kepada orang-orang yang masuk ke surga, dan menyunggingkan senyum ejekan kepada mereka yang tercebur ke neraka.

“Apa kerjamu di dunia?” pertanyaan Allah kepada Haji Saleh. Dengan percaya diri, Haji Saleh menyampaikan dengan rinci segala amal ibadahnya semasa hidup. Allah menanggapinya dengan pertanyaan berulang, menanyakan apa saja yang dilakukan Haji Saleh selain yang telah disebutkannya. Sampai Haji Saleh kehabisan kata, Allah tetap bertanya, “Tak ada lagi?”

Haji Saleh merasa sudah menyebutkan semuanya. Ia pun pasrah. Lalu, malaikat menggiringnya ke neraka. Haji Saleh bingung dan heran, tidak mengerti mengapa ia dibawa ke neraka. Ia makin tercengang ketika menemukan banyak teman-temannya, yang amal ibadahnya juga luar biasa, tersiksa pula di neraka. Merasa ganjil dan mengganggap Allah telah berbuat tidak adil, mereka melayangkan protes kepada Allah.

“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Allah. Mereka menjawab: Indonesia. Suatu negeri yang mahakaya, penuh dengan logam, minyak, dan berbagai bahan tambang. Negeri yang tanahnya begitu subur, tanaman tumbuh sonder ditanam. Namun, penduduknya melarat, diperbudak negeri lain, dan selalu kacau karena perseteruan sesamanya. Akibatnya anak cucu mereka ikut menderita.

“Aku beri kau negeri yang kaya raya, tetapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.” Allah menegaskan bahwa kesalahan mereka adalah karena terlalu mementingkan diri sendiri.

“Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tetapi engkau tak memedulikan mereka sedikit pun.”

Haji Saleh dan kawan-kawannya pun kembali ke neraka. Demikianlah cerita dari Ajo Sidi. Bagi Kakek, cerita tersebut menjadi pemeo yang menyakitkan. Seolah kehidupannya selama ini adalah kesia-siaan. Lantas Kakek pun bunuh diri.

***

Robohnya Surau Kami adalah judul cerita pendek di atas. Cerpen karangan A.A. Navis membawa pesan yang tegas dan lugas: mengejar mati-matian kehidupan akhirat, tetapi melupakan tugas di dunia merupakan kekeliruan yang fatal. Hanya menjalankan tugas sebagai hamba, tetapi mengabaikan misi sebagai manusia adalah sebentuk kedurhakaan terhadap mandat dari Allah.

Rasulullah Saw juga memerintahkan kita untuk mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Artinya, cinta kepada diri (self-love) harus kita terjemahkan pula menjadi cinta kepada orang lain (love for others). Maka, segala kebaikan yang kita inginkan (dan usahakan) ada dalam kehidupan kita, semestinya juga kita harapkan (dan upayakan) hadir dalam kehidupan orang lain. Sehingga—meminjam contoh pada cerpen di atas—apabila kita menginginkan masuk surga, kita selayaknya menghendaki orang lain mendapatkan hal yang sama.

Vertikal dan Horizontal

Kita perlu menyadari, selain pasti memiliki dimensi lahir dan batin, setiap ibadah juga mempunyai dimensi vertikal dan horizontal, personal dan sosial, hablun minallah dan hablun minannas.

Sebutlah rukun Islam yang kita yakini dan laksanakan itu. Syahadatain, yang menjadi tiang utama keberagamaan kita, jelas tidak berhenti hanya pada pengakuan dan keimanan bahwa Allah merupakan satu-satunya Tuhan yang patut disembah, dan Nabi Muhammad Saw ialah rasul utusan-Nya.

Pengakuan tersebut bersifat personal, tetapi konsekuensinya bersifat sosial. Keimanan memang terletak di hati, hanya diri sendiri dan Allah yang tahu, tetapi manifestasi dari keimanan seharusnyalah berupa laku hidup yang sesuai kehendak Allah dan ajaran rasul-Nya.

Dalam surah Al-‘Asr, misalnya, Allah berfirman bahwa umat manusia berada dalam kerugian. Seseorang hanya dapat keluar sepenuhnya dari kategori manusia yang merugi apabila memenuhi empat syarat. Ia beriman, beramal saleh, serta saling menasihati tentang kebenaran dan saling menasihati tentang kesabaran.

Jika seseorang hanya beriman, atau beramal saleh saja, belumlah cukup untuk membebaskannya dari kerugian. Iman dan amal saleh itu bersifat vertikal, hubungannya terjadi antara manusia dengan Allah saja. Oleh karena itu, perintah untuk saling menasihati tentang kebenaran dan kesabaran sangatlah penting.

Perintah tersebut bersifat horizontal, berhubungan dengan sesama manusia. Allah memerintahkan demikian supaya setiap manusia peduli dengan sesamanya, saling menyayangi dan mengasihi, sehingga tidak semestinya kita mengabaikan dan menelantarkan orang lain dalam penderitaan dan kekufuran.

Dengan kata lain, dua kalimat syahadat yang kita ikrarkan itu membawa kewajiban dakwah, menyeru pada kebenaran dan kebaikan, serta mengajak untuk menjauhi segala yang terlarang dan buruk. Dengan begitu, keimanan kita yang bersifat vertikal-personal bertransformasi menjadi kebermanfaatan yang bersifat horizontal-sosial.

Seperti itu pula ibadah-ibadah dalam Islam yang kita jalankan. Shalat, yang secara lahir berdimensi hablun minallah, sesungguhnya juga memiliki dimensi hablun minannas. Sebagaimana termaktub dalam surah Al-Ankabut ayat ke-45, shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Maka, betapa hampanya shalat-shalat kita jikalau lisan kita masih sering menyakiti hati orang lain dan perbuatan kita kerap merugikan sesama manusia.

Begitu pula dengan zakat. Selain bertujuan untuk menyucikan jiwa (dimensi personal), zakat jelas bertujuan untuk membantu kaum papa (dimensi sosial). Sama halnya dengan puasa dan haji (untuk meningkatkan derajat takwa serta kepedulian terhadap sesama manusia), dan berbagai bentuk ibadah lainnya.

***

Akhirnya, kita perlu insaf, ketaatan ritual saja tidak cukup. Shalat dan membaca Al-Qur’an sepanjang waktu, puasa setiap hari, haji berkali-kali, tidaklah dapat menjadi faktor tunggal kualitas keimanan dan ketakwaan kita. Kita mesti juga menjadi pribadi yang memiliki kesalehan sosial. Pribadi yang kehadirannya membawa manfaat kepada orang lain. Begitulah sosok hamba dan manusia yang paripurna.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Febrian Eka Ramadhan

Peserta Kelas Menulis menemui senja di MJS Jilid #5. Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY. Penulis buku Satu Hal Yang Tak Boleh Sirna: Esai-Esai Pilihan (2022).