Kepercayaan Masyarakat Jawa Lama, Wali Songo, Hingga Datang Belanda

slider
05 Desember 2020
|
5809

Masyarakat Jawa dahulu memiliki agama bernama Kapitayan, di Sunda bernama Sunda Wiwitan. Agama ini lebih tua daripada agama Hindu maupun Buddha.

Dalam praktik beribadah, Kapitayan percaya kepada dzat yang menciptakan. Setiap benda yang dapat dilihat oleh mata merupakan ciptaan. Mereka punya pemikiran sesuatu yang terlihat pasti memiliki pencipta. Penganut Kapitayan menyembah yang tidak terlihat oleh indra.

Dalam praktik beribadahnya di tempat-tempat yang sunyi dan gelap sebagai simbol kehampaan, ketiadaan. Seperti beribadah di gua, gunung, kuburan, atau tempat-tempat lain yang gelap.

Di era megalitikum, tidak semua tempat terdapat gua, maka para penganut Kapitayan membangun sebuah tempat ibadah yang bernama sanggar. Sanggar berbentuk bangunan yang memiliki pintu tanpa jendela dengan tujuan menyerupakan bentuk goa yang gelap.

Di kemudian hari, sanggar ini diadopsi oleh Wali Songo sebagai tempat beribadah masyarakat Jawa yang telah memeluk Islam (langgar). Dalam beribadah, penganut Kapitayan melakukan empat gerakan yang memiliki makna tersendiri.

Swadikem tulajek, yakni berdiri tegak dengan tangan bersedekap. Tungkul, menatap bumi sambil memegang lutut. Tondem, telungkup laiknya bayi yang sedang di kandungan. Tulumpuk, duduk yang menyerupai tasahud akhir dalam shalat. Praktik ibadah tersebut banyak mengandung simbol-simbol yang bermakna.

Kebiasaan dalam ranah praktik penganut Kapitayan dalam keseharian masyarakat masih dapat dilihat. Seperti sikap menyembunyikan perasaan, mengingatkan dengan cara yang halus dan penuh dengan simbolik, masih sering kita temui pada diri orang Jawa. Adat Jawa kuno lainnya adalah mengutamakan kanan daripada kiri. Seperti sewaktu memasak, berjabat tangan, memberi, menerima dengan tangan kanan.

Sebaliknya, menggunakan anggota tangan kiri ketika akan melakukan perbuatan yang konotasinya buruk, seperti membuang kotoran. Orang Jawa menamai kamar mandi dengan sebutan kiwan/pakiwan diambil dari bahasa Jawanya kiri, kiwa. Begitu juga dengan tata cara masuk kamar mandi diwajibkan mendahulukan kaki kiri.

Pemikiran agama Kapitayan untuk mencapai tuhan adalah dengan meninggalkan segala hal yang berbau keduniaan. Selama manusia masih berpikir tentang keduniaan dalam dirinya maka ia belum bisa mencapai tuhannya. Di dalam adat Jawa terdahulu terdapat kasta di kalangan masyarakat. Kasta tersebut terbagi menjadi tujuh lapisan dimana tingginya kasta diukur dari kecintaan manusia terhadap dunia.

Brahmana menduduki kasta tertinggi, kasta ini diduduki oleh orang-orang yang sudah memutuskan hubungannya dengan perkara dunia. Kalangan Brahmana hidup dalam pertapaan menyatukan dirinya kepada Tuhan Yang Esa.

Ksatria menduduki kasta kedua. Kasta ini dihuni oleh masyarakat yang tidak boleh memiliki kekayaan pribadi. Mereka adalah para pejabat yang bertugas melayani rakyat sehingga harta yang mereka miliki merupakan fasilitas negara yang sewaktu-waktu dapat di ambil apabila mereka sudah tidak menjalankan kewajibannya sebagai pelayan rakyat.

Waisya dihuni oleh para petani. Petani sebagai pekerja memiliki banyak lahan dan harta namun pekerjaan yang mereka lakukan demi kesejahteraan rakyat dengan menanam padi sebagai sumber makanan pokok.

Sudra dihuni oleh orang-orang yang memiliki kekayaan pribadi yang melimpah namun bekerja tidak untuk kepentingan rakyat, seperti renternir, saudagar.

Chandala adalah kasta yang dihuni oleh orang-orang yangbekerja dengan membunuh makhluk lain, seperti nelayan, algojo, jagal.

Kilalan adalah kasta yang diberikan kepada orang asing. Masyarakat Jawa Kapitayan menganggap orang asing adalah orang yang tidak mengenal tuhan sebagaimana tuhan yang mereka percayai. Hindu, Buddha, Islam dianggap sebagai agama penyembah benda. Presepsi seperti itulah yang menyebabkan Islam tidak dapat berkembang di Jawa selama kurang lebih 500 tahun.

Sejarah mencatat Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi melalui perdagangan, namun Islam berkembang sampai mendirikan sebuah kerajaan di Nusantara baru pada abad ke-13 Masehi.

Tucak merupakan kasta terendah yang dihuni oleh orang-orang yang mementingkan dunia dengan berbagai cara, seperti maling, rampok, begal.

Salain itu, terdapat salah satu kepercayaan masyarakat Jawa yang mengamalkan ilmu kebal dengan ritual malima (lima perkara), yakni bhairawa tantra. Ajaran ini merupakan salah satu dari agama Shiwa, bairawa watantra sendiri merupakan salah satu madzab dalam agama ini.

Setiap orang yang telah melakukan ritual malima akan mendapatkan ilmu kanuragan yang luar biasa. Mamsa adalah urutan ritual pertama yang dilakukan, yakni memakan daging manusia secara utuh. Manusia yang dijadikan pengorbanan ini dinamakan sebagai tumbal.

Kedua, matsa, yakni pelaku ritual memakan makanan berupa ikan, daging binatang. Kemudian setelah memuaskan nafsu laparnya dilanjutkan dengan meminum minuman arak (madya). Setelah nafsu makanan sudah terpenuhi pelaku ritual melakukan hubungan seks di satu tempat secara bersama-sama (maiathuna).

Setelah genap semua nafsu keduniaan terpenuhi, para pelaku ritual berada dalam kondisi kosong, dalam artian tidak memiliki hasrat apa pun terhadap keinginan, karena segala keinginan (nafsu) telah terpenuhi sebelumnya kemudian melakukan ritual terakhir, yakni mudras (semedi/bertapa).

Setiap orang yang telah melakukan ritual ini akan mendapatkan ilmu kanuragan yang luar biasa. Tradisi ini dilakukan di sebuah tempat yang bernama kestra (kuburan). Sekumpulan orang yang ingin melakukan ritual berkumpul membentuk sebuah lingkaran dan melakukan segala urutan sebagaimana disebutkan di atas.

Wali Songo melarang masyarakat Jawa melakukan malima adalah lima ritual sebagaimana disebutkan di atas. Upacara yang sangat menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan.

Masuknya Wali Songo pada abad ke-13 menjadi tolak ukur berkembangnya Islam di Nusantara. Meski lslam telah masuk sejak abad ke-7 Masehi, masyarakat Jawa belum bisa menerima Islam sepenuhnya.

Penyebabnya Islam dibawa oleh orang asing dengan cara berdagang. Sesuai dengan adat pada masa itu, baru bisa dianggap sebagai ahli agama (orang yang dekat dengan tuhan) jika ia telah meninggalkan keduniaan.

Berbeda dengan orang Islam awal-awal yang notabene sebagai pedagang, Wali Songo datang dan menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya dan sufistik. Mengadopsi budaya lokal dan menyelaraskannya sesuai dengan nilai-nilai keislaman.

Dalam bidang sufistik, Islam mengajarkan bahwasannya konsep ketuhanan adalah menyembah Dzat pencipta sebagaimana kepercayaan masyarakat Jawa kala itu. Salah satu budaya lokal yang diadopsi oleh Wali Songo adalah mengunjungi makam leluhur yang dianggap memiliki kesaktian. Oleh Wali Songo diadaptasi menjadi berziarah kepada makam ulama dengan cara mengirimkan doa-doa.

Pada 1405 Laksamana Cheng Ho ditemani seorang asistennya, Ma Huan, pergi untuk kali pertama ke Jawa. Dalam catatan perjalanannya, ia mengatakan bahwa pesisir utara Jawa telah dihuni oleh tiga golongan masyarakat, yakni Arab-Persia, China, dan Pribumi.

Orang-orang Arab dan China yang bekerja sebagai pedangan mayoritas beragama Islam, menyisakan masyarakat pribumi yang masih menyembah hal-hal ghaib dan melakukan ritual bhairawa tantra.

Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Nusantara sebanyak tujuh kali dan yang terakhir pada 1433 dengan kondisi masyarakat yang masih sama. Baru tujuh tahun kemudian (1440) Sunan Ampel datang ke Jawa pada usia 20 tahun. Sunan Ampel memulai dakwahnya pada 1470 ketika sudah memiliki keluarga yang banyak dan berdakwah dengan membentuk suatu kelompok dakwah yang disebut dengan Wali Songo.

Pada 1477 Masjid Demak dibangun menjadi tanda bahwa dakwah Islam era ini mengalami kesuksesan.[1] Pada tahun 1514 Tome Pires datang ke Nusantara mencatat seluruh penduduk pantai utara Jawa telah beragama Islam.[2]

Belanda mencatat bahwa pribumi Jawa memiliki kepercayaan animisme dinamisme yang tidak mengenal tuhan untuk disembah. Kepercayaan Kapitayan dianggap sebagai agama yang menyembah tempat-tempat sakral, seperti gua, pohon, dan lain-lain tanpa mengetahui hakikat dari peribadatan tersebut.

Kesalahan dalam penulisan sejarah tersebut yang menjadi kiblat dari peneliti Barat dalam meneliti agama Nusantara. Agus Sunaryo memberikan jawaban yang berbeda mengenai agama asli masyarakat Jawa yang dituliskan dalam buku Atlas Wali Songo (2012).

Islam di Nusantara berkembang dengan corak tradisional ditandai dengan banyaknya akulturasi bentuk peribadatan bercorak budaya lokal. Bercampurnya kedua unsur tersebut (ajaran Islam dan budaya lokal) tidak mengubah substansi dari ibadah tersebut dalam artian bentuk akulturasi budaya tidak sampai mengubah syariat.

Zaman semakin berkembang, pengaruh pemikiran positivisme[3] masuk ke Nusantara melalui penjajahan Belanda. Era modern ditandai dengan pemikiran masyarakat yang bertitik tolak dari kebenaran empiris dan menolak praktik kegiatan yang menandung unsur mistis-metafisika.

Pada awal penjajahan, Belanda kewalahan mengalahkan masyarakat pribumi Jawa karena adanya perlawanan. Masyarakat Nusantara pantang menyerah begitu saja, atau lebih baik mati daripada dijajah oleh bangsa asing.

Tercatat perlawanan masyarakat bumi Nusantara melawan penjajahan Belanda seperti Perang Diponegoro, perang yang dipimpin Sultan Agung, dan masih banyak lagi.

Banyaknya perlawanan membuat Belanda mengubah cara strategi perangnya dengan cara mengubah pola pikir masyarakat bumi putera. Maka dibangunlah banyak sekolah rakyat dengan misi mengubah pandangan kalangan masyarakat terhadap Belanda dan yang lebih penting adalah menghilangkan sifat perlawanan, pemberontak, dalam diri masyaralat Jawa.


[1] Lihat Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka IMaN, 2012).

[2] Lihat Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues (Yogyakarta: Ombak, 2015).

[3] Suatu aliran filsafat yang menjadikan pengetahuan alam sebagai satu-satunya kebenaran dan menolak segala aktivitas yang berkenaan dengan metafisik.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Wildan Syaiful Amri Wibowo

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga