Kekeringan, Perampasan, dan Keserakahan
“Dari Riau sampai Urutsewu, berjajar derita rakyat di dua pulau.” Adagium itu berlaku di pertengahan tahun ini. Derita itu bermula setelah bumi dan hak-hak rakyat dirampas. Apalagi kalau bukan sebab keserakahan manusia? Anak-anak menderita tak apa, asalkan orang-orang kaya yang memegang kuasa dan modal tetap bisa makan dan menyekolahkan putra-putrinya hingga ke luar negara. Mereka lupa, untuk bisa mewujudkan cita-cita memerdekakan bangsa, anak-anak harus rela kehilangan waktu belajar dan bermainnya di sekolah, di tanah-tanah lapang, bahkan sekadar di depan halaman rumah kakek-nenek atau orangtuanya karena kabut asap.
Mereka lupa ada petani dan pengais rezeki yang harus membatasi bahkan menunda pekerjaannya karena menghindari dampak yang mampu memperparah kesehatan. Kalau sudah demikian, apakah para petani dan pekerja itu hanya akan mengandalkan jatah beras dan sembako dari pemerintah? Tentu ada hak-hak mereka yang tak sepenuhnya bisa terpenuhi oleh pemerintah, kesehatan salah satunya. Barangkali memang pemerintah mampu membebaskan biaya pengobatan, tapi soal nyawa, sekejap mereka mampu menjadi sosok yang tampak religius hanya dengan pembenaran “nyawa di tangan Tuhan”.
Kasus kebakaran hutan yang kembali melanda wilayah di Sumatera dan Kalimantan sepatutnya menjadi pelajaran, apalagi bertepatan dengan musim kemarau panjang periode ini. Bukan justru menjadi ajang pemanfaatan kesempatan bagi para pemilik modal untuk lepas dari jeratan, setelah leluasa membabat berhektar-hektar lahan, demi mengisi perut-perut kelaparan mereka yang meski terus membesar namun tak pernah kenyang.
Kini yang ada kemarau panjang dikambinghitamkan, gambut disalahkan. Serakah, memborong kebaikan seolah hanya bersumber dari manusia. Tidakkah kita ingat, bahwa bumi dan seluruh isinya adalah juga bagian dari makhluk-makhluk Allah Ta’ala? Bukankah dari gambut jugalah manusia ini tentram karena energinya mampu menumbuh-suburkan sayuran, menjadikan hewan-hewan ternak subur dan nyaman, hingga berkurangnya efek pemanasan global?
Apakah dengan kita menyebut cuaca atau musim kemarau panjang dan gambut sebagai pemicu masalah udara, tidak akan membuatnya tersinggung dan marah? Jangan kita kira, bahwa cuaca atau musim dan tumbuhan tidak bisa merasa, hanya manusia saja yang tidak peka dengan tanda-tanda kemarahan semesta. Kemarau panjang bukan satu-satunya sebuah penyebab dari segala sial, lebih-lebih untuk persoalan kabut asap yang menyesakkan dada, membakar kulit dan memedihkan mata.
Kemarau justru bisa menjadi sarana manusia bermuhasabah, sudahkah selama ini kita memanfaatkan air dengan selayaknya dan sebagaimana mestinya? Tidak serakah dalam menggunakan apalagi sampai membuang-buang dengan percuma. Di beberapa daerah saja, masih banyak penduduk bumi yang tidak merasakan kehadiran air dengan sempurna layaknya kita yang tinggal di tempat strategis. Padahal mereka pun katanya hidup di “tanah air” sendiri.
Berkaca dari kasus kekeringan, air menjadi hal yang mewah untuk diidam-idamkan, sebab air adalah pemberi nyawa. Detak jantung kita pun berjalan karena bantuan pemompaan darah yang mengaliri sekitar jantung. Begitu pun dalam hidup, layaknya air di dalam darah, pusat kehidupan turut hidup. Air menjadi penting karena ia merupakan asal mula manusia. Bukankah kita berasal dari elemen air pula, yang kemudian bertemu sel jodohnya yang memberikan satu napas baru dalam perut ibu kita. Jika kita sudah menyadari kembali makna filosofis air, bukankah tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam masa kemarau ini?
Api memang bisa membakar hingga merambat habis alas jika tak segera dipadamkan. Sementara bahan pemadam yang utama sudah menipis, akibat hujan yang belum kunjung diturunkan. Namun tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab setiap jiwa sudah berdiri dengan aliran air itu sendiri. Efek kemarau panjang dan kebakaran hutan sudah cukup menyiksa, jangan lagi keringkan tenggorokan dan tipis cairan dalam tubuh dengan sulutan amarah sebab musim. Hal yang sia-sia, bukan? Apalagi jika membebankan masalah yang kita sulut sendiri pada kemarau panjang. Manusia bekerja dengan kaki-tangannya, sementara musim bekerja atas kehendak Tuhan.
Klaim-klaim yang bertebaran belakangan menyebutkan kemarau sebagai penyebab kebakaran hutan. Meski sudah jelas-jelas ada oknum yang bermain dibaliknya. Salah satu bentuk kezaliman yang nyata semakin merajai tanah air Indonesia. Belum lagi soal perebutan lahan antara TNI dan petani di Kebumen, Jawa Tengah. Banyak korban berjatuhan akibat tindakan oknum TNI dalam konflik agraria yang tak kunjung menemui solusi kongkrit ini. Tanah warga dirampas paksa, dipagari sebagai modus penguatan klaim mereka sehingga petani kian lemah di mata hukum dan negara. Cepat atau lambat kezaliman itu akan dibalas oleh Rabb-nya. Al-Quran serta hadis Nabi Saw, dan banyak catatan sejarah telah membuktikannya.
Dua peristiwa yang terjadi di Riau dan Urutsewu mengingatkan kita atas kedudukan manusia di bumi. Allah Ta’ala lebih dulu menawarkan kepada tumbuh-tumbuhan sebagai pemimpin di bumi ini, namun mereka menolak, memilih tunduk dan berzikir mengagungkan asma-Nya sepanjang waktu. Sementara manusia, berani-beraninya mengemban tanggung jawab sebagai khalifah, jika kemudian justru kita sendiri inilah yang menghancurkan bumi, mencoreng kedudukan dan perjanjian yang sudah kita sepakati pada awal-mula.
Bukan hanya saudara-saudara kita yang merasakan dampaknya, pun bumi yang kita huni ini. Bukan sebab bumi sudah menua, tapi perilaku manusianyalah yang merusaknya. Serakah dan kerap mengkambinghitamkan makhluk-makhluk-Nya. Jika sudah begini, apa untungnya serakah mengakuisisi segala sesuatu di bumi ini? Tidak perlu berganti peran sebagai malaikat untuk bisa menjadi sempurna, cukup menjadi manusia sajalah maka kita akan sempurna dan menyempurnakan.
Category : kolom
SHARE THIS POST