Kampanye Kebudayaan
Menggali kembali lewat latar belakang sejarah dan sosialnya, keberadaan masyarakat Hindu Bali saat ini tidak terlepas dari hadirnya kaum pendatang ketika Kerajaan Hindu Majapahit memperluas wilayah untuk memenuhi Sumpah Palapa Gajah Mada. Masyarakat asli Pulau Bali (sering disebut dengan Bali Aga) memiliki struktur sosial dan adat istiadat yang berbeda dari kaum pendatang. Dan kehadiran kaum pendatang tersebut telah mendorong terjadinya proses akulturasi antara nilai-nilai ajaran Hindu Majapahit dengan budaya asli masyarakat Bali. Hingga pada akhirnya terbentuk masyarakat baru dengan struktur sosial dan adat istiadat yang sedikit berbeda dari masyarakat Bali Aga, yaitu masyarakat Bali dewasa ini. Proses tersebut jugalah yang menyebabkan tumbuhnya perbedaan corak antara umat Hindu Bali dengan umat Hindu di India, dan umat Hindu di daerah lainnya. Selanjutnya, kebudayaan yang bernilai tinggi yang lahir dari proses akulturasi di Bali itu kini telah menjadi salah satu identitas Bangsa Indonesia.
Tak berbeda dengan masyarakat Hindu Bali, kehadiran Islam di Nusantara lewat hubungan dagang dengan masyarakat Timur Tengah pada awalnya juga mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Islam datang ke Nusantara untuk menyebarkan rahmatnya, untuk menjadi rahmatan lil alamin. Maka pendekatan damai yang digunakan para saudagar dari Timur Tengah memberikan ruang bagi masyarakat lokal untuk mencerna ajaran Islam. Secara luwes para saudagar ini menggunakan budaya lokal dalam metode dakwahnya. Karena yang disebarkan oleh para saudagar dan ulama tersebut di Nusantara adalah nilai-nilai dan semangat ajaran Islam, bukan kebudayaan Arabnya.
Di Jawa, Wali Songo terutama Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai media dakwahnya. Arsitektur masjid ketika itu pun menggunakan cita rasa lokal, bahkan ada usaha memadukan simbol-simbol Islam dengan arsitektur Hindu. Ini bisa dilihat dari masjid tua di Kota Gede, Yogyakarta. Tahlilan 7 malam dalam rangka menghibur hati keluarga yang sedang berduka, parade bedug ketika malam Idul Fitri atau lebaran ketupat, Sekaten ketika maulud Nabi SAW, ini semua adalah hasil akulturasi Islam dengan budaya setempat.
Harus dibedakan bahwa proses adaptasi kehadiran Islam di Nusantara adalah sebuah proses akulturasi, bukan proses sinkretisme. Sinkretisme merupakan proses padu padan dengan mencampuradukan dua kebudayaan sehingga output yang dihasilkan terasa abstrak. Tidak dapat dibedakan dalam proses padu padan tersebut antara nilai dan kebudayaan dari kedua unsur yang bercampur. Sedangkan pada proses akulturasi Islam dan kebudayaan setempat, yang terjadi adalah perwujudan nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam ajaran Islam melalui kebudayaan lokal. Apakah melalui media sastra, seni, ataupun struktur sosial. Bisa dikatakan nilai-nilai ajaran Islam adalah ruhnya, sedangkan kebudayaan setempat adalah baju yang dipakainya. Dan masuknya nilai-nilai itulah yang membuat sebuah kebudayaan semakin adiluhung. Sehingga mewarnai dalam sikap dan perilaku bangsanya.
Pada akhirnya, akulturasi Islam dengan kebudayaan setempat telah melahirkan kebudayaan yang tinggi di berbagai daerah di Indonesia. Di Sumatera sebagai kebudayaan Melayu, di Jawa Barat sebagai kebudayaan Sunda, di Yogyakarta sebagai kebudayaan Jawa, di Sulawesi sebagai kebudayaan Bugis, di Kalimantan sebagai kebudayaan Banjar. Kebudayaan yang bernilai tinggi ini penting artinya bagi Bangsa Indonesia. Mengapa? Kebudayaan suatu bangsa adalah perwujudan identitas bangsa itu. Identitas bangsa itulah yang akan dijadikan pondasi dalam perumusan tujuan bangsa serta bagaimana sebuah negara mengelola potensi-potensinya untuk mencapai tujuan tersebut. Begitu pentingnya identitas bangsa yang disarikan dari kebudayaan setempat, sehingga tak heran negara tetangga kita Malaysia begitu gigih menggali identitas kebudayaannya. Tak segan-segan pula negara tersebut mengklaim kebudayaan Indonesia. Bahkan di Kerinci Malaysia mensponsori penelitian mengenai keterkaitan budaya daerah dengan nenek moyang bangsa Malaysia. Semua itu dilakukan karena Malaysia menyadari pentingnya identitas sebuah bangsa.
Sayangnya di Indonesia kesadaran akan kebudayaan nasional dan identitas kebangsaan itu sendiri semakin hari semakin terkikis. Teknologi dan agama yang seharusnya bisa mendorong kebudayaan bangsa seringkali disalahgunakan sehingga mengancam identitas dan kebudayaan nasional. Bahwa Indonesia berdiri di atas berbagai kebudayaan daerah, bahwa Indonesia berdiri di atas pondasi Bhineka Tunggal Ika seharusnya menjadi sebuah potensi yang luar biasa untuk memperkaya kebudayaan nasional.
Teknologi memberikan ruang yang sangat besar untuk masuknya budaya asing ke Indonesia. Lemahnya ketahanan budaya telah membuat nilai-nilai budaya asing tersebut terserap dengan mudah tanpa saringan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Maka nilai-nilai yang menjadi ruh kebudayaan bangsa semakin lama semakin tenggelam. Bagaimana cara berpakaian, pergaulan sehari-hari dalam masyarakat, hingga nilai-nilai dalam seni dan hiburan telah mengalami kemunduran dari hari ke hari. Teknologi seharusnya bisa menjadi alat untuk menyelami nilai-nilai luhur bangsa, menjadi alat untuk memproduksi karya budaya dan menjadi media untuk mensosialisasikannya.
Agama juga seharusnya bisa lebih mendorong kekayaan budaya bangsa. Namun akibat ketidakpahaman sebagian masyarakat Indonesia untuk membedakan antara agama dan budaya membuat masyarakat salah menerjemahkan dan menyaring apa yang seharusnya diserap oleh bangsa ini. Bukan nilai dan semangat yang terkandung dalam ajaran agama itu, tetapi sebaliknya justru kebudayaan bangsa asing tempat lahirnya agama tersebutlah yang diadaptasi di negeri ini.
Umat Islam Indonesia termasuk yang sangat sering salah membedakan antara agama dan budaya. Pakaian yang merupakan produk kebudayaan Arab di import secara keseluruhan. Jubah, sorban, burqa. Sementara semangat dan nilai dari bagaimana Rasulullah menjunjung tinggi kebudayaan bangsanya sendiri tidak diadaptasi. Sebagian umat Islam melarang tahlilan karena dinilai bid’ah dan merupakan warisan masyarakat Hindu. Tetapi spirit tahlilan untuk menghibur keluarga yang sedang berduka tidak dipahami sebagai sebuah nilai yang luhur dalam Islam.
Di balik kesalahpahaman itu semua ada angin segar yang dihembuskan dari Yogyakarta. Sebuah contoh menarik bisa kita lihat di Masjid Jendral Sudirman. Sebuah masjid yang menyiarkan nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam ajaran Islam dengan menggunakan media yang diambil dari budaya setempat: Jawa. Lewat tarian, tembang macapat, karawitan, puisi nilai-nilai tersebut disiarkan kepada masyarakat umum. “Masjid-masjid di Jawa seharusnya punya tim kampanye kebudayaan. Bukan tim anti kebudayaan”. Pernyataan ini menggambarkan sebuah kesadaran bahwa Islam sama sekali tidak pernah bersifat mematikan kebudayaan setempat. Sebaliknya, Islam sangat mampu mendorong masyarakat untuk menggali kebudayaan sehingga memperkaya peradaban bangsanya. Islam dan kebudayaan lokal ibarat dua akar pohon yang harus saling menopang untuk memperkokoh tegaknya pohon berdiri. Jika salah satu membusuk, tegaknya pohon akan timpang.
Kini masyarakat Indonesia harus lebih bisa memilah-milah dan memahami perbedaan antara budaya dan agama. Jangan sampai karena ketidakmampuan kita tersebut membuat kita mematikan kebudayaan bangsa sendiri. Seraplah nilai-nilai dan semangat yang luhur dari agama itu, lalu wujudkanlah, tuangkanlah dalam karya produktif sehingga kelak bangsa kita akan dikenal sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan dan peradaban yang tinggi.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST