John Duns Scotus dan Kata Dungu dalam Lintas Sejarah
Tempo hari saya diskusi dengan kawan mengenai kata “dungu” yang menjadi olok-olok partisan oposisi. Rocky Gerung pada banyak kesempatan menyebut “dungu” bagi pro pemerintah. Akan tetapi, bagaimana kata ini dibentuk dalam lintasan sejarah? Benarkah kata “dungu” berkonotasi kebebalan otak? Inilah yang akan kita diskusikan dalam tulisan ini. Saya mengembangkan ide tulisan ini dari hipotesis kawan saya tadi, bahwa rocky tak mengerti betul akar sejarah pembentukan kata “dungu” itu. Mungkin, seandainya ia membaca lebih serius sebagai seorang ‘filsuf’ (?)—lebih tepat untuk menyebutnya orang latah—ia tak akan latah menyebut oposannya sebagai “dungu”.
Rupa-rupa makna “dungu” hari ini
Rocky mengatakan ia terbiasa menggunakan kosa kata “dungu” untuk menggambarkan seseorang yang menjawab pertanyaan tanpa berpikir sistematis. Arti lain “dungu”, menurut Rocky, “‘Koherensi antara dua premis yang tidak memiliki kesimpulan. Bayangin kalimat panjang gitu di Twitter coba? Gak muat, kan? Mending gue bilang dungu aja.’”
Mungkin jika bacaan kita terbatas pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan sedikit bumbu retorika akan mengiyakan pendapat Rocky dan sekutunya tersebut. KBBI memaknai kata “dungu” dengan: “dungu (du.ngu) a sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh; (ke.du.ngu.an) n kebodohan; kebebalan”. Namun benarkah demikian? Jika kita melacak lebih jauh, kita akan mendapati kata “dungu” merupakan bentuk serapan dari kata Inggris “dunce”.
Dalam kamus Oxford kata “dunce” bermakna, “(dunce) /dîns/ noun a person who is slow at learning; a stupid person: he was baffled by arithmetic and they called him a dunce at school”. Kata “dunce” mengalami perubahan prefik ‘nc’ menjadi ‘ng’ dengan tambahan prefik ‘u’ di akhir menjadi “dungu”.
Baik KBBI maupun kamus Oxford memaknai “dungu” hampir senada yaitu bodoh/stupid. Maka tidak aneh jika Rocky mengeksploitasi makna ini dengan imajinasi rasionalnya. Hal yang mengejutkan ialah jika kita membaca keterangan tambahan dalam kamus Oxford berikut:
“Origin early 16th century: originally an epithet for a follower of John Duns Scotus (see Duns Scotus, John), whose followers were ridiculed by 16th-century humanists and reformers as enemies of learning.”
Kata “dunce” sejak awal memang ditujukan untuk mengolok-olok suatu kelompok yang dianggap oposisi. Dalam hal ini, kata “dunce” bermakna pengikut John Duns Scotus. Bisa dikatakan awal abad ke-16 adalah kelahiran kata “dunce” yang diserap menjadi “dungu”. Namun dalam konteks ini tidak bermakna kebodohan/stupidity, melainkan pengikut mazhab pemikiran John Duns Scotus. Lantas siapakah ia?
John Duns Scotus, seorang filsuf teolog Fransiskan
Kita akan terkejut jika mengetahui bahwa kata “dungu” berasal dari sebuah julukan bagi penganut mazhab pemikiran teologi. Kata “dunce” alih-alih bermakna stupidity, justru merujuk pada sekumpulan orang-orang cerdas.
Tak banyak jurnal berbahasa Indonesia yang mengkaji pemikiran John Duns Scotus. Namun karena pemikirannya bersifat teologis, kita hanya akan mendiskusikan hal-hal umum untuk membuktikan bahwa kata “dungu” lahir berlatar intelektual dengan bumbu filsafat di sana-sini.
Dalam kamus Oxford dijelaskan, bahwa:
“Duns Scotus, John /dînz êskèts/ (c. 1265–1308), Scottish theologian and scholar. A profoundly influential figure in the Middle Ages, he was the first major theologian to defend the theory of the Immaculate Conception, and opposed St Thomas Aquinas in arguing that faith was a matter of will rather than something dependent on logical proofs.”
John Duns Scotus ialah seorang teolog besar yang sekaligus anti-tesis St. Thomas Aquinas. Aquinas sepertinya lebih masyhur di kalangan akademisi Indonesia dibanding Scotus. Scotus lahir pada 1265 di Skotlandia, sebelah utara Inggris. Semasa remaja ia menjadi biarawan Fransiskan. Adapula yang berpendapat Yohanes Duns Scotus lahir pada musim dingin 1266 di sebuah kampung kecil bernama Duns, di Berwickshire, Skotlandia. Pada usia yang sangat muda, sekitar 13 tahun, ia mulai diperkenalkan dengan Ordo Fransiskan oleh pamannya, Elias. Ketertarikan Scotus begitu besar pada Ordo Fransiskan.
Scotus mendapat gelar master dari Fakultas Teologi Oxford, sekaligus menjadi dosen di sana. Pada 1302 ia melanjutkan studi teologi di Universitas Paris, Prancis. Pada 1305 ia mendapat gelar doktor di Universitas Paris serta mendapat promosi Profesor. Setelah di Paris, pengembaraan akademiknya tidak berhenti, ia melancong ke Jerman untuk mengajar di Koeln. Dan di sanalah ia meninggal pada 8 November 1308.
Scotus fasih menerangkan filsafat Aristoteles, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Bahkan ia adalah seorang anti-tesis mengenai pemikiran tentang ‘kehendak’ Aquinas. Sebagai filsuf, ia juga memikirkan tentang sains, terutama masalah matter. Salah satu pemikiran Scotus yang terkenal adalah pendapatnya mengenai matter pada science dalam Quaestiones subtilissimae de metaphysicam Aristotelis, as translated in: William A. Frank, Allan Bernard Wolter (1995) Duns Scotus, metaphysician. p. 20-21 (dari plato.stanford.edu), bahwa:
“We speak of the matter [of this science] in the sense of its being what the science is about. This is called by some the subject of the science, but more properly it should be called its object, just as we say of a virtue that what it is about is its object, not its subject. As for the object of the science in this sense, we have indicated above that this science is about the transcendentals. And it was shown to be about the highest causes. But there are various opinions about which of these ought to be considered its proper object or subject. Therefor, we inquire about the first. Is the proper subject of metaphysics being as being, as Avicenna claims, or God and the Intelligences, as the commentator, Averroes, assumes.”
Scotus mempertanyakan apakah yang seharusnya menjadi objek dalam sains. Kemudian ia jawab sendiri bahwa objek sains adalah ‘tentang yang transendental’ sebagai penyebab tertinggi. Pertanyaan berlanjut, lantas siapakah yang menjadi subjek dan objeknya? Apakah transendental metafisik itu sendiri sebagai subjek seperti pendapat Ibnu Sina ataukah Tuhan dan intelegensi sebagaimana pendapat Ibnu Rusyd? Diskusi ini dilanjutkan Scotus dalam pemikirannya mengenai ‘kehendak’.
Awalnya Duns, diolok "dunce", dan berakhir “dungu”
Duns adalah seorang alim teolog Fransiskan, pemikirannya merambah ke berbagai aspek seperti voluntarisma, haecceitas, kontingen sinkronis, dan lain-lain. Ia orang cerdas yang tentu diikuti banyak umat. Hal lumrah lainnya adalah setiap mazhab pasti memiliki oposannya, begitu pula pengikut Duns yang disebut pengoloknya sebagai “dunce”.
Entah sebab apa, kata “dunce” berubah makna menjadi sesuatu yang berkenaan dengan stupidity. Dengan latah KBBI menyerap kata “dunce” menjadi “dungu” dengan makna yang sama. Dan akhirnya orang-orang latah dengan cupu-nya menyebut oposan sekutu sebagai dungu. Sebuah kelucuan!
Category : keilmuan
SHARE THIS POST