Jilbab: Simbol dan Politik

slider
18 Maret 2020
|
1350

Si.Se.Sa (perusahan busana) membuat pagelaran busana muslimah bertajuk “The Journey” di The Tribrata Jakarta. Pagelaran itu menampilkan 90 busana muslimah ber-basic syar’i nan trendi. Busana muslimah beraneka ragam ditampilkan para artis demi memikat mata perempuan. Harian Kompas (26/5/2019) memuat berita sehalaman dalam rubik gaya hidup. Berita ini menjadi bukti bahwa busana muslimah berhasil menciptakan komoditas bisnis atas dalih agama. Budaya pop islamisme kian berkembang sejak 1990-an dan berhasil memberikan dampak konsumtif terhadap sosial-kultural masyarakat muslim urban di Indonesia.

Kita dapat menyimak bahasa iklan berdalih agama itu, “Maunya orang-orang yang datang ke fashion show terinspirasi. Ternyata baju syar’i bisa keren. Karena syar’i bukan sekadar tren, ini adalah lifestyle. Enggak perlu malu berbusana syar’i. Si.Se.Sa akan menjadi bagian perjalanan para muslimah sehingga mereka semakin kuat mendalami agamanya.” Bahasa iklan dapat kita tafsirkan secara simbolik, bahwa mendalami agama perlu busana muslimah trendi. Fenomana sosial ini menandakan bahwa merebaknya gerakan Islam simbolik berhasil menciptakan kepentingan secara massal lewat busana muslimah.

Doktrinasi Islam simbolik bergerak dan mempengaruhi perilaku seseorang melalui gaya hidup modern. Stigma dan narasi ini seringkali muncul dan berkembang di kalangan muslim urban-perkotaan. Mereka menyebarkan wacana globalisasi untuk meningkatkan eksistensi takwa melalui simbol agama sebagai tolak ukur keimanan. Jilbab merupakan instrumen yang mampu memberikan pengaruh dalam kontruksi paham keislaman. Kesejarahan jilbab yang berkembang di Indonesia pun tidak lepas dari misi politik identitas dan doktrin keagamaan.

Dalam majalah Madina No.05/Th I Mei 2018, memuat edisi khusus tentang kontestasi jilbab di masa rezim Orde Baru. Pada 1980-an, Soeharto merasa ketakutan dan membuat peraturan khusus tentang pelarangan jilbab yang dianggap merepresentasikan simbol Islam radikal. Jilbab seolah mampu menciptakan mobilisasi massa (umat Islam) untuk melawan dan melengserkan rezim Cendana. Kontestasi busana (jilbab) ini tampaknya dipengaruhi oleh gerakan revolusi politik Islam yang berkembang di Timur Tengah.

Busana (jilbab) seolah menjadi alat politik untuk melawan penguasa atas dalih membela agama. Pada masa itu, Soeharto sadar bahwa jilbab tidak boleh berkembang dan dikenakan dalam ranah pendidikan dan instansi pemerintah. Jilbab merupakan identitas busana yang dapat memunculkan sikap subvertif dan konservatif akibat pengaruh ideologi paham Islam eksklusif—tidak seturut perkembangan tren busana dan gaya hidup modern yang selalu bergerak dinamis. Sehingga pada 1982 larangan pengenaan jilbab pada ranah pendidikan diatur Departemen Pendidikan & Keilmuan yang mengeluarkan SK 052/C/Kep/D/ atau disebut SK 052.

Rezim Orde Baru sengaja menciptakan peraturan tersebut sebagai upaya untuk meminimalisir politik praktis dari gerakan Islam simbolik yang terus bermunculan di ruang pendidikan, birokrasi, dan universitas. Penekanan terus dilakukan Soeharto hingga tak dapat terbendung pasca Reformasi. Peristiwa sejarah gerakan Islam simbolik di Indonesia tidak lepas dari komodifikasi jilbab sebagai legitimasi politik Islam. Jilbab tidak sekadar berfungsi penutup aurat, tapi turut menjelaskan komoditas bisnis, politik identitas, dan simbol lifestyle kelompok tertentu.

Di beberapa negera tampaknya juga menerapkan peraturan-peraturan jilbab secara tegas demi menyingkirkan kepentingan politik Islam. Seperti yang dilakukan Presiden Tunisia Habib Burquibah yang berkuasa sejak 1957-1987. Meskipun mayoritas di negara Tunisia berpenduduk muslim, pemerintah memiliki kewenangan dalam mengatur berbagai kebijakan di masyarakat, terutama dalam hal berpakaian. Hal ini disebabkan kehadiran jilbab tampaknya tidak hanya sekadar sebagai busana untuk berpakaian, tapi juga kental membawa nuansa pertarungan ideologi, agama, dan politik.

Pergeseran paradigma semestinya perlu kita renungkan kembali dalam memahami hakikat jilbab. Persoalan perdebatan jilbab memang panjang dalam sejarah umat Islam, terutama di berbagai negera-negara muslim maupun sekuler. Perdebatan itu seringkali muncul dalam ranah sosial, pendidikan, budaya, agama, politik, dan ekonomi. Sejak kebangkitan politik Islam pada abad ke-20 di Timur Tengah, perilaku umat Islam terutama Indonesia ingin menampakkan eksistensi takwa dan akhlak melalui busana. Vedi R. Hadiz menyebut fenomena ini merupakan bentuk berkembangnya populisme Islam.

Dalam buku Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah (2019), Vedi R. Hadiz menulis perkembangan populisme Islam bergerak dari Timur Tengah ke Indonesia melalui jalur elektoral yang memainkan peran di parlemen. Mereka sering menyuarakan Peraturan Daerah (Perda) syariat Islam yang sering menimbulkan tindakan-tindakan intoleransi. Peraturan daerah terutama di Jawa barat banyak memuat konsep syariat Islam yang terkadang bertentangan terhadap nilai-nilai demokrasi. Persoalan ini juga sering menjadi perdebatan antar politisi, akademisi, ustaz, ormas, yang memihak antara syariat Islam dan demokrasi.

Fenomena merebaknya populisme Islam menciptakan kelas sosial yang tidak dapat terbendung akibat kebangkitan politik Islam. Gerakan ini bermula dari ruang perkotaan dan menyebarkan ideologi Islam eksklusif pada masyarakat kelas menengah pada kerangka mewujudkan kepentingan politik-praktis. Intrumen politisasi secara perlahan kini bergerak melalui busana muslimah. Busana (jilbab) merupakan sarana yang paling dominan dalam meyebarkan Islam simbolik nan konsumtif. Argumentasi tentang jilbab di media sosial oleh para warganet pada akhirnya hanya menjadi pengulangan perdebatan tidak teoritis akibat tidak didasarkan literatur-literatur babon tentang jilbab secara historis dan kontekstual.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Taufik Kustiawan

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga; Bergiat di Bilik Literasi Solo