Jalan Spiritual Sebagai Solusi Kehampaan
Judul: The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf | Penulis: Seyyed Hossein Nasr | Penerjemah: Yuliani Liputo | Penerbit: Mizan Pustaka | Cetakan: Januari 2010 | Tebal: 302 Halaman | ISBN: 978-979-433-582-6
Memasuki era kontemporer, kian ke mari manusia nian mengalami kehampaan spiritual. Kenyang akan informasi, tetapi mengalami kemiskinan arti. Berlimpah secara materi, tetapi mengalami kemerosotan ruhani. Akibatnya, manusia rentan kalah secara mental, mudah untuk bunuh diri, terapi self-help ke psikiater, hingga menguak kembali buku-buku psikologi trans-personalitas akibat gagal menguasai diri.
Dalam buku Islam dan Nestapa Manusia Modern (1983), Seyyed Hossein Nasr melukis sketsa posisi manusia (saat ini). Ia menggambarkan sebuah lingkaran sebagai kehidupan, sedangkan diameternya adalah jalan sufi, dan titik koordinatnya merupakan realitas Ilahi. Menurutnya, saat ini manusia tengah berdiri (mungkin dengan bangga) di luar lingkaran, dan karena itu ia berjauhan dan semakin bertolak menjauhi realitas ilahi.
Sebagai akibatnya, manusia kontemporer mengalami degradasi kemanusiaan. Selain dilanda krisis spiritual, manusia semakin terasing dari kodrat-fitrahnya. Bagai hidup di zaman Yunani, kita seolah-olah terpaksa kembali mempertanyakan asal-muasal, identitas, tujuan, serta makna hidup. Semakin dalam kita memelajari keilmuan (Barat), justru kita semakin terlempar pada keraguan, dan berujung terasing di tengah masyarakat sendiri.
Sementara itu, beragam permasalahan eksistensial tak cukup dijawab dengan semata terapi ke psikiater, alih-alih memakai tesmak materialisme atau logika ilmiah sebagai pisau bedah. Bagai tersesat di dalam ruang, untuk menakar gelap diperlukan intensitas cahaya. Begitu pun dalam mengatasi gelapnya jiwa (batin), kita perlu menyalakan cahaya (ruh).
Maka sebagai sebuah tawaran, tak lain adalah menghidupkan kembali cahaya tradisi sufisme, spiritualitas, dan ajaran-ajaran esoterik. Buku The Garden of Truth, Mereguk Sari Tasawuf ini merupakan ikhtiar oleh Seyyed Hossein Nasr dalam upayanya menjamah ajaran lampau guru spiritual di tengah kecamuk modernitas.
Gnosis Teoretis
Sebagai pelaku jalan sufi, melalui buku ini Nasr menuntun kita memahami pokok tasawuf yang ia sebut sebagai “gnosis teoretis”. Diambil dari bahasa Yunani “theoria”, gnosis teoretis merupakan visi tasawuf (tashawuf ilmi) atau pengetahuan tentang kebenaran. Secara sederhana hal ini bisa dimaknai sebagai teori tasawuf.
Dalam menapaki jalan spiritual, sebagai langkah mula seseorang disarankan memahami pengetahuan tentang kebenaran. Dimulai dari aspek terdasarnya, yakni terkait titik mula dan ujung kehidupan (sangkan paran). Dalam metafisika sufi, hidup ini disinyalir sebagai sebuah pendakian (vertikal) ke gunung kebenaran dengan mengerahkan segenap usaha untuk menaiki maqomat (tingkatan) (hlm. 19).
Hidup bukanlah semata bersenda-gurau, melainkan merupakan perjalanan menuju wilayah Ilahi. Inilah kesadaran yang diperoleh manakala tuntas memahami sangkan paran, membawa diri pada pemenuhan makna hidup. Lebih dari itu, Nasr memberi umpama—seperti para sufi—bahwa hidup hanyalah tidur panjang, dan manusia baru terbangun manakala malaikat Izrail mencabut nyawanya (hlm. 39).
Apabila dengan perenungan sangkan paran masih belum cukup sadar, langkah keselanjutnya adalah mereguk pengetahuan sufisme secara rinci, yang penjelasan lebih lanjutnya dapat kita telisik di sekian doktrin sufi. Misalnya dalam gagasan tokoh seperti Ibnu ‘Arabi, Imam Al-Ghazali, Al-Hallaj, Abdul Karim al-Jilli, atau Jalaluddin Rumi.
Jadi, di satu sisi gnosis teoretis merupakan konsep awal (teori), dan sisi lain merupakan buah puncak taman kebenaran. Dikatakan awal lantaran pengetahuan ini diibaratkan sebagai peta bagi pesalik agar tidak taklid buta. Dan dikatakan akhir, karena gnosis teoretis merupakan makrifah, pengetahuan (wahyu) yang didapatnya adalah dengan memuncaki maqom tertinggi.
Mengenai hal itu, kita bisa melihat diri Ibnu ‘Arabi, misalnya. Kita tahu, Ibnu ‘Arabi memeroleh pengetahuan wahdat al-wujud melalui segenap usahanya memuncaki tangga spiritual. Lalu, ia menulis doktrin pengetahuan itu dan mewariskannya kepada pengikut-pengikutnya di kemudian hari. Maka demikianlah doktrin gnosis teoretis bekerja: dimulai dari pikiran, dan untuk dapat memahaminya secara penuh-seluruh membutuhkan pengalaman dengan menjalankannya.
Selain itu, pendaki spiritual juga disarankan agar mensiasati cinta dan keindahan. Keindahan di sini dipahami sebagai pemusatan agar pesuluk tidak berpaling. Logikanya, karena sifat dasar manusia itu cenderung menyukai hal yang indah-indah, maka memahami keindahan ini adalah penting. Sebab, keindahan dalam estetika tasawuf merupakan Allah sebagai Yang Maha Indah dan sekaligus tujuan puncak (hlm. 102).
Sedangkan cinta pada gilirannya memegang peranan inti dalam diri. Jiwa akan terdorong untuk mengalami “penyatuan”, hanya dengan cinta. Sebagaimana puisi “Aku Ingin” ala Sapardi Djoko Damono, orang harus menjadi seperti kayu yang terbakar oleh api (cinta) agar ia lebur menjadi abu (bersatu). Kelak dorongan api cinta melahirkan etika ruhani sufi paling utama, di mana mereka sehari-harinya hanya berzikir dan bermunajat kepada-Nya (hlm. 59).
Setidaknya dengan gnosis teoretis mendasar itulah, selanjutnya disatu-padu dengan cinta, keindahan, lalu dibaurkan dengan hukum, norma, dan etika yang termaktub dalam syariah, maka diri mulai matang secara olah pikir; sebelum akhirnya diri tertatih-tatih menyusuri kesementaraan dunia menuju kekekalan abadi (Allah) di jalan spiritual.
Menapaki Jalan Sufi
Dalam pepatah Arab terdapat istilah “Ilmu tanpa amal tak ubahnya pohon tanpa buah”, yang bermakna bahwa bertumpuk-tumpuk pengetahuan di kepala tidak akan bernilai tanpa diamalkan. Hal sama juga berlaku dalam sufisme, jalan ruhani yang tidak mengabaikan perbuatan. Itu artinya, tasawuf pun membutuhkan realisasi (hlm. 120).
Dalam merealisasi, Nasr mengajak calon pesuluk agar terlebih dahulu mencari seorang guru yang bukan ala kadarnya, melainkan guru yang autentik. Spesifikasi “autentik” merupakan guru yang mempunyai sanad (walayah) hingga ke Nabi Muhammad Saw. Ia lebih dari sekadar mursyid, sebab selain memegang kunci dan peranan utama dalam mengarahkan murid, ia juga berwawasan mendalam sepanjang menyangkut tradisi sufi (hlm. 141).
Peranan seorang mursyid autentik bagi pesuluk tidak bisa diganggu gugat. Kontrasnya dengan orang awam adalah bagai langit dan bumi. Apabila orang biasa berjalan menuju arah horizontal, sesungguhnya pejalan sufi itu ibarat mendaki bukit (vertikal). Maka dari itu, terbayanglah bagaimana bila pejalan sufi mendaki sebuah gunung tanpa pawang (guru) dan peta (hlm. 147).
Selain paparan realisasi spiritual dan gnosis teoretis, The Garden of Truth yang berketebalan 302 halaman ini memuat lebih dari dua puluh sub-tema persoalan. Barang tentu isi buku tak seluruhnya dibabar lewat tulisan ini. Namun, dalam buku ini kita dapat menilik betapa sosok Nasr tak pernah melewatkan kritiknya terhadap modernitas, seperti terlihat pada sub-tema Dapatkah Manusia Kontemporer Memetik Manfaat dari Warisan Tasawuf? (hlm. 194).
Dalam esainya tersebut, Nasr menjabarkan bahwa manusia bukanlah makhluk yang cuma lahir, hidup, lalu mati tanpa membawa pemaknaan dan kepenuhan jiwa selama hidup. Sejak mulanya manusia memiliki dimensi batin. Sewaktu-waktu aspek ruhani bukan hanya butuh pemenuhan, malahan bahkan akan memberontak dan merindukan asal-muasalnya. Dan justru dengan dimensi batin, manusia berpotensi menemukan kesejatiannya melalui tangga jalan vertikal.
Terutama lagi aspek batin, merupakan dimensi yang dikesampingkan oleh pemikir Barat yang pengaruhnya terasa di hari ini. Seiring kemajuan zaman, cepat atau lambat kita akan menyadari keterbelakangan aspek spiritualitas, di mana industrialisasi dan materialisasi sedemikian akut menggempur cara berkehidupan kita. Karena itu, pada titik tertentu kita perlu turut berdiri di samping Nasr dan berkata “ya” terhadap spiritualitas.
Sebagai pemikir profilik, Nasr telah menyadari berbagai krisis yang melanda umat manusia kontemporer. Kita dapat menengarai bahwa Nasr sudah lebih dulu membabat rumput modernitas, melalui karyanya yang terbit lebih dini seperti Science and Civilization in Islam (1968), Islam and The Plight of Modern Man (1976), dan Sufi Essays (1972).
Membaca The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf ibarat sedang berjalan di atas kekacau-balauan modernitas, tetapi jebakannya baru saja “dibereskan” oleh Nasr, dan karenanya kita patut berucap salam kepada Seyyed Hossein Nasr.
Category : resensi
SHARE THIS POST