Islam Rahmatan Lil Alamin, Dari Iqra Menuju Hijrah
Kota Makkah merupakan kota tempat dilahirkannya Nabi Muhammad Saw. Selain itu, kota Makkah juga merupakan tempat pertama Nabi Saw memulai misi sucinya sebelum diperintahkan oleh Allah untuk melakukan hijrah ke Kota Madinah. Nabi Muhammad dilahirkan dalam keluarga yang sederhana, kemudian beliau harus bekerja saat masih muda sebagai seorang pengembala bersama paman beliau di tengah kota Makkah yang dikuasi oleh suku yang serakah.
Di kota Makkah, Nabi Muhammad membawa ajaran tauhid, dan menyerukan pada amar ma‘ruf nahi munkar. Ajaran yang dibawa beliau adalah sebagai kewajibannya sebagai Nabi, dan juga merupakan sebuah misi untuk menentang berbagai bentuk ketidakadilan. Nabi Muhammad seperti juga nabi-nabi lainnya, didatangkan oleh Allah untuk memimpin dan berpihak kepada kaum lemah, untuk melawan kaum yang melemahkan.
Kota Makkah sebelum datangnya Nabi Muhammad adalah kota ladangnya pemujaan berhala. Selain itu, Makkah yang merupakan kota pusat perdagangan dan tempat dipraktikkannya riba telah memunculkan jurang pemisah yang sangat lebar antara kelas bawah dan kelas atas masyarakat kota Makkah. Suku Quraisy merupakan suku penguasa (aristokrat) di tanah Makkah pada saat itu, yang melindungi Ka’bah, yang merupakan pusat ibadah haji di tanah Arabia.
Suku Quraisy merupakan suku yang sangat makmur di kota Makkah, dan keberadaan Ka’bah telah meningkatkan prestise kehidupan mereka. Sebelum lahirnya nabi Muhammad, Kota Makkah merupakan kotanya masyarakat kelas atas dengan harta dan kuasa yang melimpah ruah. Masyarakat kelas bawah disengsarakan oleh Suku Quraisy yang berkuasa atas tanah Makkah.
Dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi kedudukan kabilah-kabilah yang ada di Makkah sangat menentukan. Quraisy sebagai kabilah atau suku yang sangat menentukan seluruh kehidupan masyarakat Makkah, jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Daerah Makkah oleh adat Arab setempat tak boleh diganggu dan dirusak oleh perang atau permusuhan pribadi sekalipun. Kedudukan suku-suku yang ada di Makkah mendatangkan kehormatan dan keuntungan karena kedudukan mereka sebagai pemelihara tempat suci Ka’bah (Ali Audah, 2011: 616-617). Akan tetapi, terhadap kalangan masyarakat bawah, apalagi dari kalangan rendahan secara nasab maupun nenek moyangnya, menimpa kemalangan.
Nabi Muhammad sebagaimana nabi-nabi sebelumnya, sangat menentang ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi. Kehadiran Nabi Muhammad di Kota Makkah tidak lain membawa misi dan ajaran ideal tentang keadilan, kebersamaan, dan persaudaraan. Untuk mewujudkan misi tersebut, selain menggunakan pemikiran, wahyu, dan mukjizat yang diberikan oleh Allah, Nabi Muhammad juga menggunakan bahasa puisi dan retorika yang mampu menggugah kesadaran.
Sebagaimana dikatakan oleh Reynold A. Nicholson (1907), pada zaman Nabi Muhammad, puisi dan retorika merupakan aspek kehidupan yang sangat berpengaruh dan terbaik di bangsa Arab, sebab puisi telah berakar dalam kehidupan orang-orang Arab dan membentuk pemikiran dan watak mereka. Lalu, di tangan Nabi Muhammad, bahasa puisi dan retorika dijadikan alat yang ampuh dalam menjalankan misi suci untuk menumpas ketidakadilan di kota Makkah. Bunga-bunga puisi dan retorika selalu mewarnai argumentasi-argumentasi dakwah Nabi Muhammad, dan hal itu sangat membantu Nabi Muhammad mensyiarkan ajaran Islam.
Langkah Nabi Muhammad dalam menjalankan dan mendakwahkan misi Islam tidaklah mudah, Nabi Muhammad menghadapi manusia yang bertipe emosional. Kecenderungan pemikiran masyarakat Arab yang kuat dengan kerasionalan kesukuan menjadi penghambat nabi Muhammad dalam menjalankan misi dan dakwah Islam. Nabi Muhammad berdakwah dengan penuh semangat selama tiga belas tahun. Dalam periode Makkah, bahasa puisi-puisi dan retorika yang didakwahkan saat itu oleh Nabi Muhammad tertuju kepada msayarakat kelas yang tertindas di kota Makkah.
Dari sini, dapat kita pahami bahwa kehadiran Nabi Muhammad bukan saja membawa misi atau ajaran tentang shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya dalam agama Islam dengan bahasa yang santun, halus budi, dan tanpa pemaksaan. Akan tetapi, Nabi Muhammad juga membawa misi yang paling utama dan misi yang sangat mulia untuk kehidupan manusia di muka bumi, ialah misi kemanusiaan yang mengajak kita semua untuk memperlakukan manusia sebagai manusia, dan memuliakan Tuhan sebagaimana kita harus memuliakan Tuhan dalam setiap sudut kehidupan dengan selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
Al-Quran, sastra Arab, dan hijrah
Sejarah agama Islam tidak bisa kita lepaskan dari tradisi kebahasan Arab (sastra Arab). Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam merupakan wahyu yang berupa surat-surat dan ayat-ayat dengan tipologi bahasa ialah bahasa Arab. Al-Quran merupakan kitab suci agama Islam yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril, yang diyakini oleh umat Islam sebagai Nabi terakhir.
Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT, yang diyakini oleh seluruh kalangan umat Islam (muslim) di berbagai penjuru dunia sebagai Tuhan semesta alam, Tuhan yang telah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Al-Quran diturunkan dalam tradisi bangsa Arab, yang pada saat itu masyarakat Arab sangat membangga-banggakan sastra mereka (sastra Arab). Akan tetapi, bagaimana pun kualitas dari sastra Arab (syair-syair dengan bahasa dan sastra Arab), tidak akan bisa menandingin Al-Quran sebagai kitab suci yang berbahasa Arab. Apa yang menjadi titik fokus kita di sini, ialah misi Al-Quran diturunkan bukan sebagai pesaing bagi para sastrawan dan sastra Arab, namun misi diturunkannya Al-Quran ialah sebagai pedoman hidup abadi bagi kehidupan manusia, yang kita kenal dengan nama rahmatan lil alamin.
Perintah pertama Al-Quran diturunkan adalah perintah membaca yang disebutkan dari lafal surah al-‘Alaq. Dalam artian ini, agama Islam pada dasarnya menganjurkan kepada umatnya untuk membaca. Perintah untuk membaca yang diserukan oleh Al-Quran bukan hanya membaca kitab-kitab atau buku-buku. Akan tetapi juga membaca tanda-tanda kebesaran Allah, sunnatullah yang bersifat tetap, kenyataan, dan juga membaca alam sekitar. Karena hal tersebut merupakan suatu cara untuk lebih dalam lagi mengenal Allah, Sang Pencipta.
Selain dari beberapa hal yang telah dijabarkan di atas, sejarah agama Islam juga tidak bisa kita lepaskan dari peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dari Kota Makkah menuju Kota Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib. Madinah merupakan sebuah peradaban yang dicita-citakan oleh Nabi Muhammad Saw. Madinah adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, ialah kota makmur yang direstui oleh Allah, yang secara sosiologis-geografis, masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang bertipe agraris yang kemungkinan di antara mereka dapat terjalin hubungan yang solid dan harmonis, dan hal tersebut sesuai dengan ajaran dan misi agama Islam. Sebab, masyarakat Madinah sangat menghargai kebhinekan.
Hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan sebuah perubahan sosial dari berbagai hal yang negatif menuju hal yang positif, dan hijrah merupakan perjalanan yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan menuju keberhasilan dan kemajuan peradaban Islam. Oleh sebab itulah, mari kita maknai hijrah sebagaimana hijrah tersebut, hijrah yang dilakukan oleh sang Nabi, janganlah kita menggunakan kata hijrah untuk memperbodoh dan memecah belah umat.
*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-19 Jumat, 7 Februari 2020/12 Jumadilakhir 1441
Category : buletin
SHARE THIS POST