Islam dalam Sorotan Wilfred Cantwell Smith

slider
04 September 2024
|
850

Persinggungan antara Timur dan Barat atau antara Islam dan orientalisme tidak terlepas dari agenda politik yang mengitarinya. Cukup panjang jika harus mempreteli apa saja faktor yang memengaruhi, namun efek kolonialisme menjadi penyebab utama kala itu. Kebutuhan dagang negara Barat, tentunya dengan memonopoli perekonomian dunia dan memperluas pangsa pasar, mengharuskan mereka mempelajari berbagai Agama—salah satunya Islam—di Timur, adat istiadat, kebudayaan, sampai ranah pendidikan, untuk mencapai tujuan kolonisasi.

Orientalisme sendiri dapat dimaknai berbeda bergantung pada masa, namun jika merujuk pada definisi Edward Said, setidaknya dimaknai kajian Barat—baik pengalaman, pemikiran, maupun metodologi—tentang dunia Timur. Memasuki abad ke-20, muncul tokoh-tokoh orientalis yang berupaya melihat dunia Islam secara ilmiah dan objektif, salah satunya Wilfred Cantwell Smith yang juga pendiri Institut Studi Islam di Universitas McGill Kanada.

Persinggungan Wilfred Cantwell Smith dan Islam

Sebelum masuk kepembahasan, sekiranya penting untuk mengenal tokoh yang akan kita ulas pandangannya mengenai Islam. Wilfred Cantwell Smith adalah seorang tokoh orientalis yang pakar dalam bidang studi perbandingan agama. Smith lahir pada 21 Juli 1916 M di Toronto, Kanada, dari orang tua yang seorang misionaris Kristen. Dari sini sedikit-banyak memengaruhi minat Smith dalam mempelajari agama.

Ketertarikan Smith dengan agama lain selain yang dianutnya, kemungkinan dari perjalananya ke Timur yang diawali pada 1933 ke Mesir bersama ibunya. Bahkan ia pernah melakukan perjalanan ke India-Pakistan dan menetap di sana untuk mengajarkan sejarah India dan Islam di Perguruan Tinggi Kristen Forman, tepatnya di Lahore pada 1941 sampai 1945.

Beberapa tahun kemudian, Smith kembali ke Kanada dan mengajar di Universitas McGill. Smith mendirikan institut Studi Islam pada 1952. Setelah itu, pada 1964 Smith dipilih sebagai Direktur Pusat Studi Agama-Agama Dunia di Universitas Harvard.[1]

Keidentikan program-program Smith ketika mengajar ialah kepeduliannya dalam memfasilitasi dialog antar mahasiswa dengan staf Barat dan non-Barat, serta aturan bahwa separuh staf dan mahasiswa haruslah muslim.

Sulit dimungkiri Smith yang hidup dalam lingkungan yang plural mempengaruhi konsepnya tentang iman, terlebih persentuhannya dengan Islam seperti dalam pengakuannya, “Jika saya bisa mendapatkan pengetahuan yang valid tentang iman, disebabkan karena saya melengkapi bacaan dengan percakapan tanpa henti bersama orang-orang muslim, yang dengan murah hati dan penuh kesabaran bersedia berbicara dengan saya, terkait Islam, terkait peristiwa kontemporer, terkait kehidupan secara umum dan khusus”.[2]

Sepanjang hidupnya, Smith banyak menghasilkan karya tulis, terkhusus pada karnyanya yang menjadikan Islam sebagai bagian dari objek pembahasannya seperti Islam in Modern History, Modern Islam in India, What Is Scripture?: A Comparative Approach, On Understanding Islam (1957) dan The Meaning and End of Religion (1963). Pada 7 Februari 2000 di Toronto, Kanada, Smith menghembuskan napas terakhir.

Islam sebagai Agama

Setelah sekilas perkenalan tentang Smith dan persinggungannya dengan Islam, selanjutnya tentang Islam dan Barat dalam sorotan Smith. Tampaknya tidak berlebihan jika kita mengatakan posisi Smith mengkaji Islam sebagai antitesis dari studi Barat yang cenderung subjektif dan antagonistik dalam menilai Islam. Bila menyelami berbagai karya Smith menyoal Islam, acapkali ditemukan penegasan Smith, bahwa Islam adalah suatu agama. Untuk itu, upaya pengkajian tentangnya haruslah berlandaskan pemahaman.

Misalnya dalam Islam in Modern History yang menyatakan bahwa untuk memahami kondisi modernitas dalam dunia muslim, kita perlu tahu apa itu Islam? Islam adalah sebuah agama, dan menyatakan hal ini berarti menyatakan banyak hal yang mungkin bisa dipahami oleh setiap orang.[3] Argumen tersebut secara implisit menjelaskan ketidakterbatasan dalam mengkaji suatu Agama, mengingat banyak hal yang tidak hanya dapat dikaji melalui perspektif eksternal.

Lebih lanjut Smith menerangkan bahwa terkait Islam, tidak hanya sekadar mengetahui tentang lembaga, pola dan sejarahnya, tetapi juga memahami apa arti semua itu bagi mereka yang memeluknya.[4] Berbagai argumen tersebut bukanlah tanpa sebab, pada masa Smith—bahkan sebelumnya—kecanderungan pemahaman Barat melihat Islam, bukan sebagai suatu agama seperti Kristen atau Yahudi, melainkan sebagai suatu ajaran yang berpusat pada pandangan Muhammad (Muhammadisme).

Al-Qur’an sebagai Kitab Suci

Kecenderungan kajian Barat kala itu yang memosisikan Islam bukan sebagai agama, akan berdampak pada Al-Qur’an sebagai kitab biasa atau sebatas karangan Muhammad, yang tentunya menghilangkan dimensi kesakralannya sebagai wahyu Tuhan. Hal ini dikuatkan dari analisis Smith bahwa reaksi akademisi Barat terhadap Al-Qur’an menunjukkan mereka percaya Al-Qur’an berasal dari pemikiran Muhammad serta lingkungan sekitarnya, dan menentang bahwa Al-Qur’an bersumber dari wahyu Tuhan.[5]

Upaya tersebut dapat dibaca sebagai respons untuk menciptakan suatu hirarki agama atau minimal nuansa hegemonik. Menurut Smith, sungguh tidak relevan jika seseorang tidak menganggap Al-Qur’an sebagai firman Tuhan apalagi menganggapnya tidak penting. Terlebih dari pengamatan Smith tentang Al-Qur’an dan sejarah Islam secara signifikan menjadi kekuatan besar dalam kehidupan seorang Muslim yang mencangkup dalam segala aspek dan segala macam fluktuasi diberbagai macam konteks.[6]

Sebagai seorang Muslim, tentunya kita menyadari bagaimana Al-Qur’an menjadi sentral dari Islam—di samping hadis sebagai sumber kedua—yang menjadi pedoman hidup muslim. Penegasan dalam surah An-Nahl yang berbunyi “…Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim (QS. An-Nahl [16]: 89)” dapat dirasakan secara empiris dan diimani oleh seorang muslim.

Smith sendiri memikirkan ketidakmungkian Al-Qur’an hanya sebatas dokumen yang muncul pada abad ke-7 atau hanya sebatas karangan Muhammad. Sedangkan teksnya Al-Qur’an dari masa ke masa tidak mengalami perubahan dan bagi pemeluknya mampu menjawab segala persoalan serta memelihara keshalehan pada ratusan juta orang yang tersebar luas dalam rentetan zaman dan tempat yang berbeda-beda. Dari penjabaran Smith tentang bagaimana seharusnya memandang Islam, mengantarkan kita tentang bagaimana Islam dalam sorotan Smith.

Antitesis Smith, tentang Islam yang Disalahpahami

Tak terelakan lagi, Smith memiliki peran penting dalam merubah cara pandang Barat menilai Islam. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Smith menghadirkan antitesis dari kecenderungan penelitian Barat yang terkesan subjektif dalam menilai Islam. Smith membangun tesis terkait bagaimana seharusnya menilai Islam, seperti memosisikan sebagai suatu agama layaknya Kristen dan Yahudi, sampai Al-Qur’an yang diposisikan sebagai kitab suci, bukan sebagai dokumen sejarah, menjadi angin segar dalam kajian orientalis tentang Islam.

Di sisi lain, dedikasi Smith agar Islam tidak disalahpahami, terlihat dalam upayanya memfasilitasi dialog antar muslim dan non-muslim, mendirikan institusi studi Islam, menulis tentang Islam, serta anjuran untuk pentingnya saling memahami antar umat beragama.

Berbagai kontribusi Smith tersebut telah merubah kajian Barat menilai Islam pada yang lebih objektif. Di masa ini, dapat kita jumpai berbagi kampus-kampus di Barat menjadikan studi Islam sebagai jurusan, dan tidak sedikit cendikiawan Barat yang mendalami islam.

Bagaimana Islam menurut Smith? Setidaknya tergambar dari kesimpulan pada buku Islam in Modern History. “Islam yang diberikan Allah bukanlah uraian yang panjang lebar tentang praktik ibadah, doktrin dan bentuk-bentuk yang dinamakan Islam oleh orang luar, tetapi seruan yang penuh semangat dan lebih bersifat pribadi untuk senantiasa melakukan hidup dalam kehadiran Tuhan dan memperlakukan sesama manusia di bawah pertimbangan-Nya”.[7]

Referensi:

Smith, S. Wilfred Cantwell Smith: Love, Science, and the Study of Religion. Journal of the American Academy of Religion 81, No. 3, September 1, 2013.

Smith, Wilfred Cantwell. 1957. Islam in Modern History. Amerika Serikat: Princeton University Press.

———. 1957. Islam in Modern History. London: Oxford University Press.

———. 2005. Kitab Suci Agama Agama. Translated by Dede Iswadi. Jakarta: Teraju.

 

[1] S. Smith, “Wilfred Cantwell Smith: Love, Science, and the Study of Religion,” Journal of the American Academy of Religion 81, No. 3 (September 1, 2013): 2–4.

[2] Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History (Amerika Serikat: Princeton University Press, 1957), vii.

[3] Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History (London: Oxford University Press, 1957), 7.

[4] Ibid., 8.

[5] Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama Agama, trans. Dede Iswadi (Jakarta: Teraju, 2005), 129–130.

[6] Ibid., 133–134.

[7] Smith, Islam in Modern History, 416.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Anugrah Eran Batu

Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga