Iqbal dan Citra Diri Umat Islam

11 Januari 2020
|
1433

Muhammad Iqbal yang lahir pada 22 Februari 1873 di Sialkot, daerah Punjab, dan tutup usia pada 21 April 1938 sering disapa sebagai alamah Iqbal. Julukan alamah ini sangat representatif kepada dirinya sebagai tokoh abad modern yang mengusai berbagai bidang keilmuan. Sang alamah disamping sebagai filosof, juga sebagai penulis prosa, ahli hukum, politisi, guru, ahli bahasa, dan penyair. Begitulah sang genius Iqbal, tepat jika dunia mengenalnya sebagai alamah (orang yang berilmu) karena keilmuanya yang begitu berlimpah menjadikan dirinya sebagai bapak filsafat Islam modern.

Perjalanan intelektual alamah Iqbal, menapaki dua dunia yang berbeda. Hal ini yang menjadikannya sebagai pemikir Islam yang paling progresif pada masanya. Di Lahore, ia berkenalan dengan Sir Thomas Arnold yang kemudian banyak mempengaruhi dirinya. Bila Maulana Mir Hasan mengajarkan esensi-esensi kebudayaan Islam, Sir Thomas mengenalkannya pada kesusastraan dan pemikiran Barat (Claude Maitre, 1989). Dari dua orang tersebut membuka cakrawala keilmuan sang genius Iqbal pada masa-masa pembelajarannya terhadap ilmu pengetahuan sebelum ia pergi ke negeri Barat (Eropa).

Pada 1905 Iqbal pergi ke Eropa dan di sana ia belajar selama tiga tahun—masa waktu yang memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran seorang Iqbal. Masa-masa ini sering disebut sebagai masa persiapan untuk alamah, bukan sebagai pemantapan dalam bidang keilmuan. Di Eropa, Iqbal asyik mengunjungi perpustakaan Cambridge, London, dan Berlin. Ia sering melakukan diskusi-diskusi dengan para pemikir dan sarjana Eropa. Alamah belajar filsafat di bawah bimbingan Profesor Mac Taggart di Cambridge dan meraih gelar doktor dalam filsafat di Universitas Ludwig-Maximilians Munich.

Barat sangat mempengaruhi pola pikir Iqbal, namun tidak menenggelamkan pada cita-cita untuk mengubah kondisi umat Islam secara menyeluruh dan negeri tempat asalnya. Alamah menyadari kondisi dan keadaan tersebut akibat ajaran-ajaran negatif dari mistik yang berlaku di India, dan perlunya memberantas kecenderungan-kecenderungan konservatisme yang melemahkan energi umat. Ia memantapkan diri dalam memikul tanggung jawab dalam membangunkan kesadaran umat yang selama berabad-abad tertidur pulas dalam ajaran mistik konservatif yang tanpa mereka sadari hal itu membuat umat Islam tertinggal jauh dari peradaban. Caranya dengan membangunkan jiwa dalam diri umat muslim.

Risalah Iqbal Asrar-i-Khudi (Rahasia Diri) dan Rumuz-i-Bekhudi (Misteri Peniadaan Diri) masing-masing terbit pada 1915 dan 1918 ditulis dalam bahasa Persi. Dari Asrar-i-Khudi memberikan gambaran filsafat Iqbal terkait proses pencarian potensi luar biasa dalam diri yang seharusnya menggerakan dan memperkuat diri secara progresif, aktif, dan inovatif dalam menghadapi perkembangan zaman.

Sebagian besar umat Islam pada masa Iqbal—bahkan sampai sekarang kebanyakan—seolah hanya menyerahkan segala sesuatu pada takdir Tuhan tanpa berusaha dan berjuang sama sekali. Romantisme umat Islam akan kejayaan Islam pada masa silam sering membius dan sebaliknya hanya melihat dan merenung atas capaian kemajuan Barat tanpa mau merubah keadaan mereka sendiri. Padahal, mengutip dari Sayidina Umar r.a, setiap muslim bisa pindah dari takdir satu ke takdir yang lain. Artinya kita sebagai umat Islam harus progres, bergerak maju, jangan malah terus-menerus terpuruk dengan berpangku tangan, bersikap pasrah pada keadaan.

Maka amat tepat jika alamah Iqbal menggaungkan agar setiap muslim dan seluruh umat Islam memperkuat pribadi atau kemuslimannya dengan sebulat-bulatnya. Seperti syair alamah Iqbal berikut, “Mengapa tidak mengelora sungai hatimu? // Dan kenapa pribadimu tidak memancar muslim hakiki? // Apa gunanya bermura, durja, dan mengeluhi takdir Ilahi? // Mengapa tidak kau sendiri menjadi pencipta takdirmu?” (Mohammad Iqbal, 1976). Dari syair ini, alamah Iqbal memberi pesan kepada umat Islam agar berusaha sekuat jiwa menghilangkan kelemahan dan kerapuhan jiwa, gali semua yang ada di dalam potensi jiwa diri sebagai seorang muslim yang hakiki.

Dalam diri seorang muslim sesungguhnya memiliki citra diri yang amat besar jika ia mau menggali potensi apa yang ada dalam dirinya. Namun akibat kepasrahan dan mengeluhi takdir, menyebabkan ia tidak bisa menggali jati diri sendiri dan seolah-olah kalah dan tunduk begitu saja. Alamah Iqbal memberi pekikan kepada kita sebagai seorang muslim, jangan tunduk kepada sesuatu apa pun kecuali dengan Kebenaran.

Pribadi seorang muslim adalah pribadi yang seharusnya kuat, tidak mudah tunduk, karena ajaran Islam sendiri mengajarkan untuk memperkuat pribadi dan memberikan cinta kasih kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Keberanian dan cinta kasih adalah elemen-elemen yang dapat memperkuat pribadi seorang muslim yang taat seperti alamah Iqbal. Muslim yang taat tentunya memiliki keberanian untuk menghadapi problem hidup dan kehidupan serta menebarkan cinta kasih kepada semua makhluk hidup di alam semesta.

Bagi seorang muslim yang terpelajar, ketika menghadapi problem serta dalam menyelesaikan masalah, tentunya menggunakan cara-cara yang terpelajar pula, dan kritis. Karena sifat kritis itu adalah citra diri umat muslim seperti yang diperintahkan Tuhan dalam kalam suci-Nya. Sifat kritis ini harus dipergunakan oleh setiap muslim dalam menghadapi persoalan, terutama terkait dengan persoalan keagamaan. Bagi Iqbal, semua agama harusnya dipahami dengan didahului bersifat kritis, tidak boleh taklid semata pada ajaran agama—terlebih Islam sebagai agama muda dan yang terakhir (Iqbal, 1977).

Citra diri umat Islam menjadi menghilang ketika dalam persoalan agama saja malah taklid buta mengikuti dogma-dogma tanpa proses penyelidikan atau sifat kritis sama sekali. Padahal kondisi demikian pada dasarnya muncul dari sifat keragu-raguan. Seperti yang digaungkan oleh Iqbal, citra diri umat Islam yaitu bersifat kritis dan selalu berpikiran rasional, tidak taklid buta terhadap sesuatu yang sudah mapan di masyarakat umum.

Dari sini kita dapat mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Iqbal kepada masayarkat era post-truth seperti sekarang ini. Dalam beragama dan dalam memahami ajaran agama seharusnya dengan menggunakan akal sehat. Ketika akal sudah tidak lagi dipergunakan, lalu apa bedanya dengan makhluk Tuhan selain manusia?

Rapuhnya keadaan umat Islam sekarang ialah karena tidak memiliki keberanian untuk menghadapi perkembangan zaman, alpa tidak mendayagunakan kemampuan akal dan berpikir rasional sebagai wujud eksistensi kediriannya. Ditambah luruhnya cinta kasih kepada semua makhluk hidup lainnya. Bahkan sesama muslim sendiri pun terjadi saling menyalahkan, mengkafirkan, dan kejelekan lainnya. Citra umat Islam dan pribadi seorang muslim tentunya berani menghadapi zaman, berani dalam melawan kebatilan, menyongsong masa depan dengan ilmu pengetahuan secara gilang-gemilang, dan melihat makhluk hidup dengan cinta kasih seperti Tuhan mengasihi setiap ciptaan-Nya.


Category : kolom,keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam