Integritas dalam Islam: Perjuangan Sepanjang Hayat

slider
08 Desember 2020
|
9208

Bagi seorang muslim, iman merupakan landasan penting dalam menjalankan kehidupan. Orang beriman selalu bisa menghadapi semua keadaan, ketika ditimpa kebahagiaan atau nikmat ia bersyukur, dan ketika ditimpa penderitaan atau musibah ia bersabar.

Memang menerima keadaan hidup itu tidaklah mudah. Banyak orang tidak bisa mempertahankan integritasnya karena tidak tahan terhadap ujian kehidupan. Ketika berhadapan dengan godaan bertekuk lutut merelakan integritasnya hancur. Padahal telah dipertahankan sekian lama, dan banyak orang menilainya sebagai orang bersih atau baik.

Semua itu terjadi karena potensi baik dan buruk ada pada setiap orang. Seperti firman Allah dalam Al-Qur`an surah Asy-Syams ayat 8, “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya”.

Berintegritas itu berpihak pada kebenaran, jujur, dan mutlak dimiliki setiap orang apalagi mereka yang memegang amanah atau dipercaya sebagai pemimpin. Kita wajib berjuang mempertahankan integritas atau moralitas sepanjang hayat, karena ketika lengah sedikit saja bisa jadi terjerumus dalam kesalahan dan baru menyadarinya ketika telah terperosok dalam penderitaan dan penyesalan. Untuk itu, kita perlu menghayati sikap di antaranya:

Pertama, mu’ahadah. Mu’ahadah adalah perjanjian dengan Allah Swt sebelum manusia dilahirkan. Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi (badan jasmani) (QS Al-A’raf [7]: 172).

Setelah kelahirannya ke dunia, ikrar janji kepada Allah itu dinyatakan dalam kalimah tauhid tiada tuhan selain Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari semalam, ketika melaksanakan shalat fardu dalam surah Al-Fatihah ayat 5 yang berbunyi, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.

Hanya kepada Allahlah beribadah dan memohon pertolongan. Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan akidah. Mengakui tidak ada yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata.

Selain itu, ketika mengucapkan kalimat dalam shalat, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam”. Dengan mengahayati mu’ahadah, maka akan melahirkan integritas diri yang berpegang teguh terhadap kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

Kedua, mujahadah. Arti “mujahadah” menurut bahasa adalah perang. Menurut syara’ adalah perang melawan musuh-musuh Allah. Menurut istilah ahli hakikat adalah memerangi nafsu amarah bis-suu’ dan memberi beban kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syariat agama.

Firman Allah taala, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS Al-Ankabut [29]: 69). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan berjihadlah (bersungguh-sungguhlah) kamu menuju pada Allah dengan sebenar-benarnya jihad” (QS Al-Hajj [22]: 78).

Nabi bersabda, “Kita baru kembali dari perang kecil akan menghadapi perang besar. Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah gerangan apakah perang besar itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Perang melawan Nafsu’” (HR Baihaqi).

Hadis lain menyatakan, “Orang yang berjihad (bermujahadah) adalah orang yang memerangi nafsunya dalam (pendekatan dirinya kepada) Allah” (HR At-Tirmidzi, At-Thabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari Fadlolah bin Ubaid).

Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh mengerjakan amal saleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah taala yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya hamba yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Allah.

Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal saleh, dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (rida) Allah Swt tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan setan yang terus menggoda.

Ketiga, muraqabah. Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah Swt. Sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah Swt senantiasa melihat dirinya.

Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur atau berintegritas.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani berkata, “Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apa pun dan di mana pun engkau berada. Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri. Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah Swt Maha Mengetahui segala hal di dalam batin”.

Lanjut, “Seharusnya engkau malu kepada Allah Swt dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah Swt menjadi pegangan dalam keseharianmu. Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan setan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya dan nifak. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa. Engkau berdusta, padahal Allah Swt mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama. Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (bertaqarrub) dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya”.

Keempat, muhasabah. Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.

Dengan melakasanakan muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya. Allah Swt memerintahkan hamba-Nya untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Swt. Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya.

Ulama Malik bin Nabi berkata, “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, ‘Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat’”.

Kelima, muaqabah. Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfak dan sebagainya.

Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan. Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju rida dan ampunan Allah.

Dalam Islam orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke jalan Allah, dan berniat serta berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya lagi.

Demikian, mudah-mudahan dengan menghayati sikap di atas kita mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan dengan baik dan diselamatkan oleh Allah Swt, sehingga integritas kita tetap dapat terjaga sampai akhir hayat.

Wallahu alam.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Faiz Badridduja

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Penikmat Sejarah, Sastra dan Studi-studi Keislaman