Ikhwan As-Shafa: Jiwa, Moral, dan Pengendalian Nafsu

slider
12 Maret 2020
|
2217

Ikhwan As-Shafa merupakan sebuah nama organisasi rahasia yang bisa dibilang aneh karena memiliki anggota dari kalangan para filsuf Arab. Kelompok ini lahir ditengah-tengah komunitas Sunni yang berasal dari sekte Syi’ah sekitar abad ke-10 Masehi di Bashrah. Ikhwan As-Shafa mengembangkan ajarannya melalui gerakan bawah tanah yang sampai saat ini tidak diketahui secara pasti kapan kelompok ini berdiri, kenapa dirahasiakan dan kenapa diberi nama Ikhwan As-Shafa. Akan tetapi, kemunculan kelompok yang bergerak dalam bidang keilmuaan ini bisa ditilik dari situasi dan kondisi politik Islam di masa itu.

Menurut Prof. Sirajuddin Zar dalam bukunya Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya menerangkan bahwa semenjak pembatalan teologi rasional Mu’tazilah sebagai mahzab negara oleh Al-Mutawakkil, kaum rasionalis akhirnya dicopot dari jabatan pemerintah, lalu mereka di usir dari Baghdad. Sejak itulah penguasa melarang mengajarkan kesusilaan, ilmu dan filsafat. Kondisi yang tak kondusif ini berlanjut ke khalifah-khalifah berikutnya. Dari momen ini dimulailah babakan baru, yakni cara berfikir tradisional yang semakin tumbuh sumbur dibanding cara berfikir rasional. Di lain sisi, kalangan pembesar negara lebih menyukai kehidupan yang mewah. Sehingga banyak dari golongan yang berusaha untuk mendekati khalifah untuk menanamkan pengaruhnya. Akhirnya  timbul persaingan tidak sehat yang menjurus pada dekadensi moral.

Dari persoalan tersebut, muncullah Ikhwan As-Shafa yang berniat ingin menyelamatkan masyarakat melalui ajarannya tentang jiwa dan moralitas. Menurut kelompok mereka, jiwa manusia berkembang dari jiwa universal. Dalam perkembangannya, jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.

Ditulis oleh Prof. Sirajudin Zar, bahwa Ikhwan As-Shafa menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh melalui proses berfikir. Anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih itu akan tertulis dengan adanya tanggapan pancaindera yang menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari sini meningkat ke daya pikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkatan ini manusia sanggup membedakan antara yang benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu disalurkan ke daya ingatan (al-quwwat  al-hafizhat) yang terdapat pada otak bagiaan belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal abstrak yang diterima daya berfikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.

Adapun ajaran moral versi Ikhwan As-Shafa lebih bersifat rasional. Menurutnya manusia akan suci jika terlepas dari ketergantungan materi. Jika dilihat pada zaman sekarang ilmu pengetahuan semakin berkembang, teknologi semakin maju, kecintaan manusia pada dunia semakin menjadi-jadi, bahkan banyak yang menjalani hidup serba individualis dengan mementingkan dirinya sendiri. Mulai dari segi pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan lainnya dalam memenuhi kebutuhan ini manusia berpacu dalam kemewahan. Bahkan demi mendapatkan materi dunia, bagaimanapun caranya semua jalan dihalalkan. Akibat dari gaya hidup yang serba materialis dan individualis, banyak manusia yang tak sadar akan tergesernya peran agama dari kepentingan duniawi.

Ketika manusia masih belum bisa melepaskan rasa cintanya pada materi maka kesucian hatinya masih perlu dipertanyakan. Untuk itu menurut Ikhwan As-Shafa perlu upaya melatih jiwa supaya bersih dan terjaga dari kotoran-kotoran materi. Maka moralitas menjadi jalan penentunya. Jiwa yang bersih dinilai mampu menangkap kilatan-kilatan cahaya ilahi. Jiwa manusia dapat dikatakan bersih atau suci jika ia mampu menjalani hidup ini dengan penuh kesabaran, kelembutan, kasih sayang, keadilan, memiliki rasa syukur, gemar berkorban, tidak menebar berita palsu (hoax) dan melalukan atau mengutamakan kebajikan lainnya.

Meski manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna, namun di sisi lain manusia juga bisa menjadi makhluk yang rendah, yaitu ketika manusia keluar dari trotoar-Nya dan berperilaku tidak seperti manusia yang semestinya. Untuk mencapai tataran tersebut, manusia perlu melakukan upaya pengendalian nafsu.

Dalam ajaran tasawuf pembinaan nafsu terbagi menjadi 3 tahapan. Ketiga hal ini persis seperti anjuran Imam Al-Ghazali, pertama takhalli yang dimaknai sebagai upaya untuk mengosongkan dan membersihkan diri dari sifat-sifat keduniaan, termasuk di dalamnya segala bentuk kemungkaran dan maksiat. Tahapan pertama ini dilalui agar manusia mengetahui dan menyadari betapa tercelanya sifat-sifat buruk yang mengotori hati. Sifat-sifat yang harus diberantas dan dihilangkan dari diri manusia. Sifat yang dimaksud menurut Al-Ghazali antara lain  hasud, al-hirs, al-takabbur, al-ghadab, riya’, ujub, syirik.

Kedua tahalli yakni kembali mengisi dan menghiasi jiwa dengan jalan membiasakan diri dengan sifat, sikap dan perbuatan yang baik. Langkah-langkah yang diperlukan dalam tahap ini  adalah membina pribadi agar memiliki akhlak al-kharimah dengan menyinari  hati melalui sifat-sifat terpuji semisal tauhid, taubat, zuhud, sabar, faqr, wara’, ridha dan sebagainya.

Ketiga tajalli diartikan sebagai hati manusia yang telah bersih, kemudian berdampak pada lenyapnya hijab dari sifat kemanusiaan dan tersembulnya sinar Ilahi dalam pribadi seseorang, sehingga segalanya yang dilakukan pada dasarnya merupakan manifestasi dari Tuhan. Dengan mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela dan terbiasa menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji maka seseorang akan mudah merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya dan timbulnya rasa tenang, rasa senang, rasa rindu, rasa cinta. Biasanya dalam ajaran tasawuf ini juga disebut dengan al-ahwal. Al-ahwal itu akan muncul dengan sendirinya atas izin Allah tanpa harus diminta. Semakin bersih jiwa manusia maka ia akan semakin dekat dengan pemahaman dan makna-makna yang terkandung dalam ayat suci. Melalui pemahaman tersebut manusia bisa mengakui keselarasan antara agama dan tindakan rasional.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fatimah

Squad #4 literasi masjid, suka bermain