Ikhtiar Mengenali Diri

slider
03 November 2021
|
2667

Kemajuan teknologi pada abad modern ini membuat manusia acap kali terjebak di dalamnya. Setiap kali membuka sosial media atau marketplace yang ada, manusia disuguhi dengan segala macam unggahan yang dapat memicu nafsu konsumtif, memberi komentar sinis, mendistribusikan kabar yang emboh kebenarannya, dan tindakan lain yang sebenarnya berjarak dengan nilai guna bagi hidupnya.

Dari situ, manusia kadang memperoleh kebahagiaan yang sifatnya sementara. Kebahagiaan yang didapatkan semacam itu bermuasal dari hal-hal di luar diri manusia itu sendiri. Bisa jadi saat membeli dengan diskon, ia bahagia. Bisa jadi juga ketika berhasil mengalahkan lawan debatnya di media sosial, ia bahagia.

Padahal di banyak literatur dan figur arif di masa silam, bahagia bisa ditemukan dari dalam diri. Seperti yang pernah ditulis oleh Imam Al-Ghazali bahwa, Ia yang mengenal dirinya sendiri adalah yang akan merasakan kebahagian sejati.” Jauh sebelum itu, pada abad sebelum masehi, Socrates juga pernah berucap; know your self.

Kuncinya ada pada pengenalan diri sendiri. Lantas yang menjadi persoalan, bagaimana cara untuk mengenali diri sendiri?

Pertama-tama, saya rasa setiap manusia mesti memilah hal-hal yang disukai dan tidak disukai. Mengklasifikasikan antara kebutuhan yang mendesak dengan keinginan yang sifatnya percuma. Seperti misal ada orang yang nyaman memiliki rambut pendek, maka ia tidak perlu memanjangkan rambut agar dinilai lebih keren. Bisa jadi penilaian keren itu diperoleh, namun tidak nyaman dalam beraktivitas di keseharian.

Dari situ, manusia kemungkinan dapat menyadari bahwa dirinya diciptakan oleh-Nya dengan wujud fisik maupun metafisik yang teramat sempurna. Melalui wujud fisik, manusia bisa melihat bagaimana Dia menciptakan organ-organ tubuh, serta tata kelolanya dengan sedetail-baik mungkin.

Coba bayangkan semisal telinga manusia mampu mendengarkan suara sejauh 10 kilometer, apakah itu tidak menyiksa manusia? Bayangkan juga, ketika rambut ketiak yang manusia miliki mempunyai fase pertumbuhan yang sama dengan rambut yang berada di bagian kepala, bukankah akan merepotkan karena harus selalu memotongnya?

Dari Al-Ghazali

Sementara penciptaan Tuhan atas manusia dalam wujud metafisika cukup kompleks. Merujuk pada penjabaran diri (jiwa) manusia dari Imam Al-Ghazali berisikan tiga karakter, yaitu karakter binatang, setan, dan juga malaikat.

Pada karakter binatang, manusia memiliki nafsu serta keinginan layaknya binatang seperti misalnya nafsu ingin mengejar kekayaan, pasangan, jabatan ataupun harta-benda. Karakter tersebut tidak sepenuhnya keliru. Lantaran manusia juga butuh semua itu, dengan catatan sesuai kadar dan takarannya.

Karena jika karakter binatang ini mendominasi dalam diri manusia, maka akan membahayakan manusia, baik secara individu maupun kelompok. Pada akhirnya manusia akan melanggengkan segala cara untuk memenuhi nafsunya tanpa mempertimbangkan kekacauan yang akan terjadi setelahnya.

Sementara itu, ada juga karakter setan yang melekat pada diri manusia. Melalui karakter ini, manusia terdorong untuk berbuat licik berdalih cerdik. Karakter ini bisa dikatakan lebih destruktif ketimbang karakter binatang yang dominan dalam diri manusia.

Terakhir, terdapat juga karakter malaikat dalam diri manusia. Karakater ini yang membuat manusia memiliki sikap tunduk sekaligus pasrah. Semisal ketika manusia dihadapkan dengan situasi terdesak yang membuatnya menyerah, atau tidak bisa melawan hal-hal di luar batas kemampuannya, ia akan bersikap tunduk dan pasrah pada jalan dari-Nya yang akan membawanya entah ke mana.

Bagi Al-Ghazali, manusia tidak harus menjadi salah satu dari ketiga karakter tersebut. Sebab ketiganya dapat dikelola dengan searif mungkin. Pun proses tarik ulur dari ketiganya, manusia lamat-lamat akan menjadi manusia secara utuh.

Imam Al-Ghazali juga menerangkan bahwa jiwa (nafs) manusia ibarat sebuah kota yang harus dikelola secara terus-menerus. Analogi yang digambarkan olehnya adalah dengan menempatkan hati sebagai raja, akal sebagai panglima, nafsu dan syahwat selaku wali kota, sedangkan gejolak amarah sebagai polisinya.

Lantas muncul pertanyaan, kenapa bukan akal yang menjadi rajanya? Menurut Imam Al-Ghazali, akal manusia memiliki kecenderungan untuk tunduk kepada perkataan hati. Pun ketika hati tertarik kepada hal-hal tertentu, akal yang kemudian berkerja untuk mencarikan pembenarannya.

Oleh karenanya, berbagai instrumen yang terdapat di dalam kota (diri manusia) jangan sampai memiliki tata kelola yang terbolak-balik. Misal akal sebagai raja, apalagi malah nafsunya sebagai raja. Jika begitu, kecil kemungkinan bagi manusia untuk meraih kebahagiaan yang sejati.

Dan saya rasa, tata kelola ini dapat dilakukan ketika manusia peroleh asupan ilmu pengetahuan disertai laku kontemplasi dan refleksi. Ilmu di sini cangkupannya amat luas. Manusia dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dari yang dasar sampai tingkat lanjut, dari ilmu umum sampai ilmu agama, mulai dari ilmu praktis hingga ilmu yang levelnya filosofis.

Dari ilmu pengetahuan itu manusia dapat mulai mengenal dirinya, baik fisik maupun metafisik. Lebih lanjut seperti sabdanya Kanjeng Nabi Muhammad bahwa, “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Saya rasa itu puncak kebahagiaan dari proses manusia untuk mengenal dirinya sendiri.

Tapi bagaimana jika ada orang yang kerap mengail ilmu pengetahuan namun urung untuk bahagia? Bisa jadi, ada hal-hal yang dilewatkan ketika dirinya mencari ilmu. Boleh jadi juga, orientasi pencarian tambah wawasannya kurang pas sehingga, ilmu yang diperoleh malah mendatangkan celaka bagi dirinya dan orang di sekitarnya.

Wallahu’alam


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Khoirul Atfifudin

Peserta kelas menulis menemui senja di MJS Jilid #5