Ibn Khaldun dan Dekonstruksi Filsafat

slider
slider
09 Februari 2020
|
1645

Sebagai seorang filosof muslim yang mengalami pergantian suatu zaman dari era Abbasiyah sampai serangan bangsa Mongol pada 1401, tentunya Ibn Khaldun mengetahui secara langsung kondisi sosio-historis dan psikologis umat muslim pada saat gempuran bangsa Mongol terjadi. Ibn Khaldun dikenal sebagai Bapak Sosiologi karena pemikiran dan intrepretasinya mengenai masyarakat. Ibn Khaldun yang lahir di Tunisia pada 1332, merupakan salah satu tokoh filosof muslim akhir sebelum intelektual dan peradaban Islam berbalik arah dari pengkajian keilmuan seperti filsafat dan sains ke tasawuf.

Masa kecil Ibn Khaldun dihabiskan dengan belajar menghapal Al-Quran, ilmu fikih, belajar filsafat, sains, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Setelah menamatkan pendidikan dari satu bidang keilmuan ke keilmuan yang lain, dari satu guru ke guru yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain lagi, kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintahan sambil melakukan perjalanan ke berbagai wilayah, mengamati kehidupan masyarakat, dan bangsa-bangsa. Tak mengherankan apabila Ibn Khaldun menjadi sebagai pengamat yang luar biasa. Selain itu, Ibn Khaldun menjadi sebagai juru tulis banyak penguasa atau pangeran sesuai kapasitasnya sebagai pemikir Islam.

Berkat kepiawaian dalam menulis dan berdialektika, Ibn Khaldun sampai ditunjuk sebagai duta besar di Castilla (Spanyol) oleh Sultan Bani Ahmar. Hingga pada akhirnya Ibn Khaldun mengunjungi kerajaan Kristen milik Petrus di Sevilla, dan sempat bertemu Timur Lenk di Damaskus. Dari kiprah Ibn Khaldun dan pengalaman langsung yang didapat dari belahan dunia, masa, mewariskan pengetahuan yang amat luar biasa dalam bidang filsafat sejarah yang sampai saat ini masih dapat kita baca dan pelajari. Ibn Khaldun meninggal pada 1406 dan dimakamkan di Kairo, Mesir.

Ibn Khaldun menuliskan pemikirannya mengenai filsafat sejarah dalam kitabnya yang berjudul Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wal-Khabar fi Ayyamil-Arab wal-Ajam al-Barbar wa man Asarahum min Zawis-Sultan al-Akbar. Kitab ini terdiri dari tujuh jilid besar. Pada bagian pertama Kitab al-‘Ibar membahas tentang Ulum al-Umran atau sosiologi adalah Muqaddimah. Ibn Khaldun sendiri merasa tidak puas dengan filsafat setelah ia benar-benar memahaminya. Bagi Ibn Khaldun, memahami seisi dunia ini terlalu berat dan terlalu besar, sementara akal manusia tidak mampu menjangkau ke sana, beberapa para filosof pun hanya berargumentasi yang sifatnya spekulatif.

Ada banyak materi-fisik maupun hal metafisik di dunia ini dan tak terbilang jumlahnya. Dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, Tuhan menciptakan segala hal yang mustahil semuanya dapat diketahui oleh manusia. Dari sini, Ibn Khaldun mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua yang ada di dunia ini bisa dipelajari oleh manusia dengan kemampuan yang dimilikinya, sebab dengan sendirinya manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dan tidak bisa menjangkau seluruh alam semesta yang material-fisik maupun yang hal metafisik.

Ibn Khaldun merupakan salah seorang pemikir yang bijak, ia tidak membela salah satu bidang keilmuan tertentu. Ketika dalam bidang keilmuan terdapat sesuatu yang tidak sesuai dengan jiwa-jiwa kemanusiaan yang bersifat rasional, ia kritisi. Ibn Khaldun juga tidak condong atau memihak pada salah satu discourse dan melumpuhkan yang lain. Dalam melihat kenyataan, Ibn Khaldun mengetengahkan pengamatan secara objektif dan bukan secara subjektif, serta membela keilmuan sesuai dengan kegunaan yang ada di dalam masyarakat. Dalam soal beragama, Ibn Khaldun kerap menggunakan dalil aqliyah untuk menentang doktrin-doktrin sederhana dari agama yang cenderung dipahami secara taqlid buta.

Ibn Khaldun tampil sebagai pioner baru dalam kajian disiplin filsafat. Berbeda dengan para pendahulunya yang terpangaruh dengan gaya filsafat Aristoteles, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Thufail dan lebih-lebih Ibn Rusyd, Ibn Khaldun memutuskan diri dari aliran filsafat Aristotelian. Ia mengatakan filsafat adalah sains ihwal apa yang eksis, yang berkembang dari nalar-nalarnya sendiri. Namun demikian, apa yang disampaikan oleh para filosof terdahulu mengenai ruh yang luhur dan esensi Ilahi tidak relevan dengan prinsip dan nalar ini—mereka mengatakan hal-hal yang tidak mampu dibuktikan (De Boer, 2019: 287). Seharusnya filsafat berbicara mengenai hal-hal yang bersifat nyata yang bisa dijangkau oleh rasio dan manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat bukan berbicara mengenai hal yang bersifat abstrak.

Ibn Khaldun berusaha menemukan sistem filsafat baru yang bahkan tidak pernah didapatkan dari Aristoteles. Ia berusaha menciptakan sistem filsafat dari sejarah. Sistem ini, tidak lain kecuali kehidupan sosial, semua yang ada di dalam masyarakat dan budaya intelektualnya. Tugas sejarah adalah menjelaskan bagaimana orang-orang bekerja, bagaimana mereka mendapatkan penghasilan, bagaimana mereka menghimpun penghasilan guna menghidupi dan akhirnya bagaimana mereka terdorong untuk mendapatkan budaya, seni, dan sains yang tinggi serta menjelaskan bagaimana mereka membangun peradaban. Hal-hal semacam ini yang tidak terjadi dalam pembahasan filsafat (yang berfokus pada ranah akal dan bersifat abstraksi).

Filsafat sebagai ibu ilmu, sejatinya harus memberikan sumbangsih yang paling besar terhadap kehidupan manusia. Sumbangsih tersebut bukan hanya merubah pola pikir dan perilaku individu, tetapi harus menyeluruh ke dalam lapisan masyarakat. Filsafat seharusnya berbicara soal hal-hal yang praksis tidak hanya berbicara masalah yang bersifat abstraksi. Karena sejatinya filsafat sebagai ilmu yang membawahi segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat eksakta ataupun non-eksakta seperti contohnya fisika sosial.

Ketika menelisik ke belakang dalam tubuh Islam, filsafat banyak mengalami gelombang serangan dari berbagai pihak terutama para ulama. Di antaranya menganggap bahwa filsafat adalah suatu kajian keilmuan yang tidak ada gunanya, bersifat zindik, dan menyimpang dari ajaran agama. Hal ini dapat kita lihat sendiri dan kita baca dalam karya Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah. Tuduhan-tudahan semacam ini di satu sisi bermuatan politis, di sisi yang lain memang filsafat tidak bisa memberikan kontribusi yang besar dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu.

Kontribusi yang diberikan oleh para tokoh muslim—ada di antaranya Jabbir ibn Hayyan, Al-Khawarizm, Al-Battani, Abu Qasim Khalaf Al-Abbas—memang tidak dikategorikan sebagai filosof muslim dalam penemuannya yang nyata untuk umat. Walaupun pada dasarnya mereka belajar keilmuan tersebut tidak lepas dari yang namanya ilmu filsafat. Dalam literatur manapun tidak ada yang menggolongkan mereka sebagai filosof, tetapi sebagai tokoh saintis Islam. Hal ini artinya filsafat dan para filosofnya tidak berkontibusi banyak bagi kehidupan nyata masyarakat, walaupun ada—seperti halnya Ibn Sina yang menemukan ilmu kedokteran—tetapi pada umumnya hanya berkecimpung dalam urusan hal yang bersifat abstraksi dan rasio.

Ibn Khaldun memberikan solusi terhadap disiplin ilmu filsafat yang tidak mengambang dan bersifat abstrak dalam bidang sejarah yang berdasarkan pada kajian secara filosofis. Sejarah adalah jawaban dari itu semua, karena subjek kajian sejarah adalah kehidupan sosial, budaya masyarakat yang bersifat kolektif, material, ataupun intelektual. Sejarah tidak akan bercerita mengenai sesuatu yang bersifat angan-angan, yang tidak rasional dan tidak nyata. Tetapi sejarah berbicara mengenai hal-hal yang bersifat kongkret dalam memahami karakter perkembangan peradaban masyarakat (‘umran). Ilmu bantu salah satunya adalah filsafat.

“Mungkin sarjana lain yang datang kemudian, yang mendapat anugerah Tuhan berupa pikiran yang besar dan kesarjanaan yang kokoh, ada yang ingin memasuki persoalan-persoalan ini secara lebih mendetail daripada yang telah kami lakukan… Para generasi selanjutnyalah yang secara bertahap dapat menjawab persoalan-persoalan itu, sehingga disiplin ini dapat disuguhkan dengan sempurna…”


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam