Humor, Komedi, dan Tragedi Menurut Aristoteles
Humor adalah salah satu bagian manusia yang tak terpisahkan, hampir semua manusia menyukai humor, karena humor sendiri memberikan tawa dan tawa inilah yang membuat manusia merasa nyaman, merasa senang dan mengurangi stress yang dialaminya. Humor tidak hanya memberikan tawa, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk mengatasi berbagai situasi sulit dalam kehidupan.
Dalam banyak budaya, humor dianggap sebagai mekanisme untuk meredakan ketegangan sosial dan menciptakan kedekatan antar individu. Humor adalah fenomena atau kualitas yang membuat sesuatu dianggap lucu, biasanya melibatkan kejadian, pernyataan, atau karakter yang mengandung kebodohan, kejutan, ironi, atau absurditas.
Humor bekerja dengan cara membangkitkan tawa, kegembiraan, atau rasa terhibur pada penikmatnya, berbentuk verbal, seperti lelucon, situasi yang konyol, atau perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang diharapkan.
Secara umum, humor dapat dikaitkan dengan pandangan yang menyenangkan atau positif tentang kelemahan atau absurditas manusia.
Komedi, di sisi lain, merupakan bentuk seni yang lebih terstruktur. Dalam seni pertunjukan, komedi adalah genre yang bertujuan untuk menghibur audiens melalui representasi situasi yang lucu atau karakter yang konyol.
Secara tradisional, komedi melibatkan cerita dengan akhir yang bahagia dan tidak mencakup penderitaan yang tragis. Komedi berfokus pada elemen-elemen seperti ironi, kebodohan, kesalahan persepsi, atau ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan.
Perbedaan di antara keduanya ialah humor lebih luas dan bisa muncul dalam konteks apa pun, baik formal maupun informal: sebuah mekanisme untuk membuat sesuatu menjadi lucu. Sedangkan komedi adalah genre seni yang menggunakan humor sebagai alat utamanya untuk mencapai tujuan naratif tertentu. Komedi membangun situasi dan karakter dalam format yang terstruktur.
Stand-Up Comedy merupakan contoh paling sederhana dimana seorang bercerita dengan format dan struktur yang rapi untuk menimbulkan gelak tawa para penonton. Selain Stand-Up Comedy, pada era digital ini banyak tersedia akun-akun hiburan yang biasanya menampilkan hal-hal lucu dan menghibur. Istilah meme pun muncul dimana seseorang mengunggah foto atau video yang disertai kata-kata guna menimbulkan kelucuan. Baik humor maupun komedi, keduanya menghasilkan satu hal yang sama yaitu kelucuan yang membuat orang tertawa.
Lalu apa itu sebenarnya lucu? Sesuatu yang lucu itu seperti apa? Mengapa sebagian orang dapat menikmati komedi dan sebagian lagi tidak dapat menikmatinya pada waktu dan tempat yang sama?
Apa itu Lucu?
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata “lucu” memiliki arti “menggelikan hati, menimbulkan tertawa dan jenaka”. Dari sini kita setidaknya dapat menyimpulkan bahwa kelucuan selalu berhubungan dengan tawa. Sedangkan tawa itu sendiri ialah ungkapan rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan, sedang, keras) melalui alat ucap (mulut).
Lucu adalah pengalaman yang memicu tawa atau perasaan gembira. Lalu apa yang menyebabkan sesuatu itu menjadi lucu?
Filsuf besar Yunani kuno Aristoteles sudah membahas ini sejak 2.400 tahun yang lalu. Aristoteles merupakan salah satu filsuf yang paling terkenal dimana ia dianggap sebagai bapak filsafat logika dan pelopor dalam banyak bidang pengetahuan, mulai dari logika, etika, politik, hingga seni. Di antara karya tersebut Aristoteles menulis sebuah risalah mengenai seni yang berjudul Poetics. Dalam karya ini, Aristoteles setidaknya menjelaskan dan merumuskan unsur-unsur dari seni dan drama.
Aristoteles memulai dengan penjelasan bahwa hakikat dari seni ialah mimesis (meniru) atau merepresantisakan objek. Maksudnya, para seniman meniru apa yang mereka lihat di dunia nyata. Misalnya para pemahat patung dewa. Mereka memahat patung tersebut dengan meniru bentuk fisik dan sturktur anatomi tubuh manusia atau para pelukis yang meniru objek nyata yang kemudian dilukiskannya ke dalam kanvas.
Lalu apa bedanya jika hanya meniru objek nyata? Menurut Aristoteles, manusia lebih suka karya-karya representasi sesuatu daripada melihat hal itu secara langsung. Manusia lebih suka melihat gambaran-gambaran detail mengenai sesuatu daripada harus melihatnya secara langsung. Hal ini dapat kita rasakan sekarang dimana orang lebih suka melihat lukisan sungai atau pegunungan daripada harus melihat sungai atau pegunungan itu secara langsung.
Sama seperti seni, komedi menurut Aristoteles ialah bentuk mimesis. Jika pelukis meniru gunung atau sungai untuk dilukis, maka komedian meniru orang yang lebih rendah. Bagi Aristoteles, komedi ialah tempat dimana seseorang meniru manusia, namun ia meniru sifat-sifat manusia yang buruk daripada aslinya. Perlu digarisbawahi bahwa keburukan di sini bukanlah keburukan yang berbahaya atau mengancam, melainkan kesalahan dan ketidaksempurnaan manusia.
Anehnya kesalahan atau ketidaksempurnaan manusia inilah yang menimbulkan kelucuan. Seseorang dapat dengan mudahnya tertawa ketika melihat orang lain terpeleset atau terjatuh. Menurut Aristoteles, tujuan dari komedi adalah untuk membangkitkan tawa melalui penggambaran situasi atau karakter yang konyol. Komedi sebagai bentuk seni yang menggambarkan orang-orang “lebih rendah” atau situasi yang menggelikan, tetapi yang pada dasarnya tidak menghasilkan penderitaan serius. Tertawa adalah reaksi yang wajar terhadap kelemahan atau absurditas manusia.
Katarsis
Selain itu, Aristoteles juga menjelaskan mengenai komedi dan tragedi. Hampir mirip dengan komedi, tragedi adalah tiruan dari tindakan yang agung dan serius, biasanya melibatkan tokoh-tokoh dengan kedudukan sosial tinggi (pahlawan tragis) yang terjerumus ke dalam penderitaan karena kelemahan atau nasib buruk. Dalam tragedi, tindakan-tindakan besar dan emosional menyebabkan penderitaan yang mendalam, yang tujuan akhirnya adalah menghasilkan katarsis bagi penonton.
Sedangkan komedi adalah tiruan tindakan yang lebih rendah atau situasi yang lebih biasa. Karakter-karakter dalam komedi bukanlah pahlawan besar atau tragis, melainkan orang-orang konyol atau penuh kelemahan yang memancing tawa karena kebodohan atau kesalahan mereka. Baik komedi maupun tragedi keduanya menghasilkan katarsis bagi penonton. Katarsis adalah konsep penting yang diperkenalkan oleh Aristoteles untuk menjelaskan efek emosional dari tragedi.
Tragedi membangkitkan rasa takut dan belas kasihan (fear and pity) pada penonton. Ketika penonton menyaksikan penderitaan protagonis tragis, mereka merasakan ketakutan akan nasib serupa yang dapat menimpa siapa pun saja, serta belas kasihan terhadap penderitaan tokoh tersebut. Namun, pada akhirnya, tragedi memungkinkan penonton untuk mengalami pelepasan emosional (katarsis), sebuah pembersihan atau penguatan kembali, yang membawa kedamaian batin setelah ketegangan yang mendalam. Mirip dengan tragedi, katarsis yang dilepaskan oleh penonton bukanlah lauapan emosional melainkan tawa.
Kembali ke masa sekarang, kita dapat melihat komedian seperti Raditya Dika dan Pandji Pragiwaksono yang sering menggunakan pengalaman pribadi mereka dalam hidup sehari-hari sebagai bahan komedi, yang menciptakan keterhubungan emosional dengan audiens. Teknik ini sejalan dengan prinsip Aristoteles yang menunjukkan bahwa komedi muncul dari penggambaran karakter yang “lebih rendah” tetapi relatable, sehingga lebih mengena kepada audiens dan menimbulkan gelak tawa.
Referensi:
Aristoteles. 2017. Puitika: Seni Puisi. Penj. Richard Janko dan Cep Subhan, Yogyakarta: Basa Basi.
Category : filsafat
SHARE THIS POST