Hening

slider
15 September 2017
|
1215

Seribu tujuh ratusan meter di atas permukaan air laut. Aku kembali menziarahi ekosistem gunung. Kunjungan keempat kalinya di tempat yang sama. Kotak ingatanku pun memutar satu demi satu bayangan pemandangan yang pernah kusaksikan. Bayangan-bayangan yang masih terekam jelas di dalam benak.

Namun, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Rentetan pertanyaan yang belum pernah muncul pada perjalanan-perjalanan sebelumnya, spontan melesat di jaringan sel syaraf. Pertanyaan yang mengetuk pintu otak kiriku bertubi-tubi. Pertanyaan tentang makhluk, baik yang berstatus hidup maupun yang dinyatakan mati oleh ilmu pengetahuan alam.

“Benarkah tanah yang kupijak saat ini adalah tanah yang sama seperti yang kuinjak pada waktu lampau?

Sungguhkah tetumbuhan yang kulihat saat ini adalah tetumbuhan yang sama seperti yang kusaksikan pada saat itu?

Masihkah bebatuan yang kupaut saat ini adalah bebatuan yang sama seperti yang kucengkeram pada masa dulu?”

Tiga pertanyaan itu terus mengiang sepanjang perjalanan menuju puncak. Tiga pertanyaan yang membuatku berpikir (ulang) tentang proses tumbuh dan berkembangnya suatu makhluk. Tiga pertanyaan yang kemudian mempertemukanku dengan QS An-Naml [27]: 88, “Dan engkau melihat gunung-gunung, engkau menyangkanya tetap di tempatnya, padahal ia berjalan bagaikan jalannya awan....” Tiga pertanyaan yang juga mengingatkanku tentang gunung sebagai pasak bumi pada QS An-Naba’ [78]: 6—7, “... telah menjadikan bumi dan gunung-gunung sebagai pasak?”

Sekilas, keduanya seperti firman yang bertolak belakang. Ayat pertama menyatakan bahwa gunung “bergerak”. Sementara ayat kedua, menegaskan bahwa gunung “berdiam”. Walaupun tampak bertentangan, hubungan kedua ayat tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah dalam ilmu pengetahuan modern.

Bergerak dalam Diam

Teori Pergeseran Benua yang diperkenalkan Alfred Wegener memaparkan bahwa kulit terluar bumi terdiri atas lempengan-lempengan. Lempengan tersebut berada dalam posisi mengapung dan bergerak. Akibatnya, benua dan dasar lautan ikut bergerak sekitar 1—5 cm per tahun. Penemuan ini membuat kita mafhum tentang adanya satu benua pada masa lampau yang kemudian memecah sebagaimana kita saksikan sekarang. Maka, tafsir ilmiah dari QS An-Naml [27]: 88 yang menyebutkan bahwa gunung (sebagai bagian dari benua) itu “bergerak” seperti jalannya awan, kiranya juga dapat dimengerti.

Di sisi lain, Teori Isostacy yang kemunculannya dipicu dari penemuan G.B. Airy, memperlihatkan bahwa gunung (sebagai bagian dari benua) itu juga “berdiam” bagaikan pasak. Menurut teori ini, benua menempel pada lempengan kulit bumi layaknya rakit kayu yang mengapung di atas bubur. Benua sebagai rakit kayu dan lempengan kulit bumi sebagai permukaan buburnya. Agar tidak tenggelam, rakit kayu harus memiliki jangkar di bawah permukaan bubur dan benua harus memiliki pemberat di bawah lempeng kulit bumi.

Hasil penelitian membuktikan bahwa gunung memiliki tonjolan yang menghunjam ke bawah kulit bumi yang disebut sebagai akar gunung. Fungsinya, menjaga keseimbangan. Seperti jangkar yang membuat rakit kayu tidak oleng dan tetap tegak di permukaan bubur, akar gunung juga berperan menstabilkan benua agar berdiam dan tidak tumbang di permukaan lempengan kulit bumi.

Ketika QS An-Naml [27]: 88 dan QS An-Naba’ [78]: 6—7 digabungkan dan diinterpretasikan secara ilmiah melalui kedua teori tersebut, kita menjadi paham bahwa gunung itu “bergerak” sekaligus “berdiam” di tempatnya. Keadaan ini menyiratkan bahwa kondisi geografis bumi pun terus mengalami perubahan akibat pergeseran lempengan kulit bumi.

Bertumbuh dalam Sunyi

Kembali pada tiga pertanyaan yang menggaung sepanjang pendakian. Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut justru kudapati setelah turun gunung. Usai bertemu dengan Teori Pergeseran Benua dan Teori Isostacy, aku baru mendapatan jawaban untuk diriku sendiri.

“Mustahil, tanah yang kupijak saat itu bukanlah tanah yang sama seperti yang kuinjak pada waktu lampau.

Sungguh, tetumbuhan yang kulihat saat itu bukanlah tetumbuhan yang sama seperti yang kusaksikan pada saat dulu.

Tidak, bebatuan yang kupaut saat itu bukanlah bebatuan yang sama seperti yang kucengkeram pada masa dulu.”

Meskipun berada di jalur yang sama, tanah yang kupijak untuk keempat kalinya ternyata selalu mengalami perubahan. Ada tanah yang berkurang karena pengikisan. Ada pula tanah yang mengalami perluasan karena pelapukan batu, pembusukan tanaman, mendapat guguran dari tanah yang lebih tinggi, atau mendapat kiriman debu dari embusan angin.

Meskipun berada di jalur yang sama, tetumbuhan yang kulihat untuk keempat kalinya ternyata juga selalu mengalami perubahan. Batang-batang pohon yang mati melapuk setiap detik. Daun-daun berguguran setiap hari. Pohon-pohon bertambah tinggi setiap saat. Rumput, lumut, jamur, dan semak belukar muda bermunculan setiap waktu. Biji, bunga, serta buah bergantian menampakkan diri dan beberapa di antaranya menghilang ke dalam perut burung-burung.

Meskipun berada di jalur yang sama, bebatuan yang kupaut untuk keempat kalinya pun ternyata selalu mengalami perubahan. Batu-batu itu terus-menerus mengalami penggerusan. Injakan kaki pendaki memungkinkan batuan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menyebabkan jumlahnya di satu tempat tidak mesti tetap. Fosil pepohonan atau binatang mati juga dapat menambah jumlah bebatuan di jalur pendakian.

Tiga jawaban yang sejauh ini kuanggap sebagai kebenaran itu lalu mengantarku pada sebuah kesimpulan: Gunung mengajarkanku bahwa keheningan senantiasa membuat setiap makhluk dapat bertumbuh dalam keikhlasan. Kesimpulan tersebut aku dapatkan setelah berminggu-minggu mencoba menempatkan diri sebagai tanah, tetumbuhan, dan batuan.

Aku membayangkan menjadi tanah yang selain mengalami pengkisian, juga berkembang sehingga dapat menjadi pijakan bagi pendaki yang ingin menikmati keelokan ciptaan Sang Mahaindah; atau menjadi tempat tumbuhnya rumput yang membuat burung-burung memiliki rumah. Aku membayangkan menjadi tetumbuhan yang terus bertumbuh untuk menyuplai oksigen dan memberikan keteduhan bagi pendaki; atau menjadi tempat menjemput rizki bagi burung-burung. Aku membayangkan menjadi bebatuan yang mengokohkan tanah di kemiringinan tebing sehingga menjamin keamanan perjalanan bagi pendaki; sekaligus memberikan perlindungan bagi sarang tempat burung-burung mengasuh anaknya dari bahaya longsor.

Aku—dalam posisi sebagai tanah, pepohonan, dan bebatuan—telah memberikan banyak manfaat kepada makhluk di sekitarku. Ketika mereka menuai beragam kebaikan dariku, aku tak pernah menuntut balasan. Apalagi, berteriak-teriak meminta pengakuan atas keberadaan dan peran jasaku terhadap mereka.

Karena itu, aku tak pernah mempermasalahkan anggapan yang melihatku sebagai diri yang hanya mampu berdiam di tempat yang sama. Karena tanpa mereka perhatikan pun, aku adalah makhluk yang selalu berproses. Terus beregenerasi. Terus tumbuh. Terus memberi. Dalam diam. Dalam sunyi. Dalam hening.

Lalu, bagaimana A-k-u ketika kembali memosisikan diri sebagai manusia yang memiliki akal?

(Al fatihah untuk setiap makhluk yang berperan atas terbit dan sampainya buku Membaca Gerak Alam [LIPI Press, 2007] ke tanganku sehingga aku mengenal Teori Pergeseran Benua dan Teori Isostacy)

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi - 46 Jumat, 15 September 2017/24 Dzulhijjah 1438 H


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ainia Prihantini

Penyuka Sastra dan Penikmat Perjalanan