Hakikat Ilmu Pengetahuan Ibnu Tufail dalam Karya Hayy Ibn Yaqzan

slider
14 Agustus 2023
|
2512

Ibnu Tufail merupakan salah satu filosof dari Andalusia. Ibnu Tufail membahas epistemologi dengan emagination dari dua orang, Absal dan Salman dalam karya Hayy Ibn Yaqzan. Ibnu Tufail dilahirkan sekitar tahun 581 H/1185 M, di sebuah kota yang bernama Wadi Asy (Guadix) dekat Granada.[1]

Para sejarawan tidak menentukan tahun kelahiran secara pasti, hanya prediksi bahwa Ibn Tufail dilahirkan antara sepuluh tahun pertama pada abad ke-12. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abdillah. Secara geneologis, Ibnu Tufail mempunyai nasab yang nyambung pada kabilah Qis al-Arabiah.

Abduh Syimali tidak mempertegas nama-nama guru Ibnu Tufail, hanya sedikit referensi keterangan yang ditulis dari Lisan ad-Din ibn Khatib dalam buku Markazu al-Ihata bi Aduba’ Gharnatha, dan al-Marakasyi dalam buku Akhbar al-Magrib, dan Ibn Khalkan dalam bukun Wafiyat al-A’yan. Dari tiga referensi tersebut disebutkan bahwa Ibnu Tufail belajar pada komunitas ahli hikmah (filosof). Di antaranya adalah Abu Bakar ibn Shaigh atau yang dikenal dengan Ibnu Bajjah. Pada sebagian catatan menyebutkan bahwa Ibnu Tufail tidak berguru secara langsung (face to face) kepada Ibnu, tapi ia mengakui telah membaca karya-karya Ibnu Bajjah.[2]

Dalam sejarah disebutkan bahwa Ibnu Tufail bukan hanya ahli dalam ilmu psikologi, tapi juga dikenal sebagai seorang filosof, ahli matematika, dan penyair. Ia mempunyai karya yang sangat terkenal berjudul Hayy Ibn Yaqzan (The Living Son of the Vigilant). Karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan dipublikasikan Oxford pada 1671, dan diterjemahkan kembali dalam bahasa Inggris pada 1674 serta dalam berbagai bahasa Eropa lainnya.[3]

Pada catatan yang ditulis oleh Abdullah Saeed disebutkan bahwa Ibnu Tufail tinggal dan bekerja sebagai sekretaris untuk gubernur Granada-Spanyol di bawah kekuasaan Al-Muwahhidun. Karier yang ditekuninya sebagai dokter pribadi dari Abu Ya’qub Yusuf sekaligus perdana menterinya. Abdullah Saeed memaparkan bahwa Ibnu Tufail merupakn guru dari Ibnu Rusyd. Ibnu Tufail juga yang memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada Al-Muwahhidun. Dalam karya Hayy Ibn Yaqzan ditulis Ibnu Tufail dalam bentuk komparasi pemikirannya dengan Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Imam Al-Ghazali. Ibnu Tufail sering dianggap sebagai seorang figur yang terlupakan dari sejarah Andalusia.[4]

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Ibn Tufail tidak pernah berguru secara langsung kepada Ibnu Bajjah, akan tetapi budaya ilmiah yang dibangun oleh Ibnu Bajjah di Andalusia setidaknya telah diwariskan pada Ibnu Tufail. Porsi ilmu keagamaan dan politik lebih mendominasi pada masa Ibnu Bajjah. Sebaliknya, pada masa Ibnu Tufail, pemerintahan Al-Muwahhidun lebih mengembangkan filsafat dan keilmuan lainnya.

Selain itu, Mazhab al-Asy’ari dan pemikiran Imam Al-Ghazali diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Rekemondasi dari pemerintah untuk mengembangkan ilmu filsafat, kedokteran dan astrologi didukung secara penuh. Ditambah lagi dengan pendirian sekolah dan perpustakaan. Yang lebih menarik lagi, pada masa ini diperbolehkan untuk mengkonsumsi buku-buku yang dilarang oleh pemerintah sebelumnya. Kebebasan berpikir dan berekspresi mulai subur dimasa Al-Muwahhidun. Dengan adanya iklim demikian turut mempengaruhi cara berpikir Ibnu Tufail.[5]

Mahakarya Ibnu Tufail

Tidak seperti para filosof yang lainnya, karya Ibnu Tufail yang sampai pada kita hanya Hayy Ibn Yaqzan. Adapun karya yang hilang antara lain al-Kuliah, dan terdapat karya yang berbicara tentang geografi yang berjudul al-Biqa’ al-Ma’hulah wa Ghairu al-Ma’hulah. Ibnu Rusyd juga menyebutkan bahwa ia juga menulis tentang astrologi yang berjudul Fi Tarkibi al Ajram as-Samawiyah wa Harakatuha Nazariyatun Mufidatun dan qasidah yang berbicara tentang kedokteran dalam judul Arjuzah fi at-Thib.

Selain ilmu eksak, Ibnu Tufail juga menulis tentang ilmu tasawuf berjudul Qashaid Sufiah. Ibnu Tufail turut memberikan sumbangsih keilmuan dalam bidang ilmu jiwa yang dalam perkembangan disiplin keilmuan modern masuk pada psikologi.

Kisah dalam Hayy Ibn Yaqzan pada dasarnya adalah prinsip dari filsafat Ibnu Thufail yang tertuang dalam karya tersebut. Pada awal penulisan, Ibnu Thufail sebenarnya diminta oleh salah satu dari teman untuk menjelaskan dari karangan yang ditulis oleh Ibnu Sina yang telah dicetak beberapa kali di kawasan Islam Barat dan Timur. Karya tersebut berjudul Kitab Falsafi Shaghir.

Ketika itu, Ibnu Thufail terketuk hati untuk memberikan komentar atas buku tersebut. Namun rupanya Ibnu Thufail merasakan suatu hal yang tak pernah dialami sebelumnya (maqam musyahadah). Ibnu Thufail tak mampu menjelaskan dengan ucapan atau tulisan. Sama seperti halnya Al-Hallaj yang menuturkan, “laisa fi at-thaubi illa Allah” (tidak ada dalam baju kecuali Allah).[6] Hanya dengan bahasa simbol dan metafora pengalaman pribadi dapat disampaikan, bukan dengan media komunikasi khalayak umum.

Dalam Hayy Ibn Yaqzan juga tercatat tentang kritik Ibnu Thufail kepada para filosof sebelumnya. Bagi Ibnu Thufail, pada hasil pemikiran para filosof ada yang telah mempersulit seseorang atau bahkan tidak sampai pada kebenaran. Tujuan dari mereka mengantarkan pada kebahagian menuju Allah (al-Aql al-fa’al) dengan jalan logika. Sedangkan menurut Ibnu Tufail, untuk sampai pada sebuah kebahagian terada dua macam cara. Pertama, dengan cara intuisi yang ditawarkan oleh Imam Al-Ghazali. Kedua, menggunakan nalar yang dilakukan oleh Al-Farabi dan para pengikutnya.[7]

Epistimologi Ibnu Tufail

Sebelum lebih jauh membahas sistem untuk memperoleh pengetahuan dari Ibnu Tufail, terlebih dahulu akan diuraikan tentang pengertian dari epistemologi. Epistemologi merupakan serapan dari bahasa Belanda, “epistemologie”, cabang dari filsafat berkaitan dengan hakikat atau teori pengetahuan. Dalam pengetahuan menjadi penentuan pengetahuan manusia: berkaitan denga asal mula, sumber, dan kebenaran dari pengetahuan serta hakikat dari pengetahuan.[8]

Epistemologi merupakan sebuah sistem untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Pada setiap ilmu pengetahuan mempunyai objeknya masing-masing untuk dikaji. Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.

Lalu apakah yang disebut benar sedangkan dalam khazanah filsafat terdapat beberapa teori kebenaran? Di sisi yang lain, terdapat rumusan penting yaitu setiap jenis ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.

Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu mempunyai hubungan dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Bila ingin membicarakan epistemologi ilmu secara utuh, maka harus dikaitkan dengan ontolog ilmu dan aksiologi ilmu.[9]

Objek pembahasan dalam ilmu pengetahuan sangat penting dan akan mempengaruhi dalam kerangka berpikir. Semisal objek pengetahuan tentang bagaimana seseorang bermain gitar, maka seorang lainnya mungkin bertannya, apakah pengetahuan Anda itu merupakan ilmu? Tentu jawabannya bukanlah ilmu, melainkan seni.

Jujun Suriansumatri menambahkan bahwa sekiranya seseorang mengemukakan bahwa sesudah kematian semua manusia akan dibangkitkan kembali, akan timbul pertanyaan serupa: apakah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat transendental yang menjorok ke luar batas pengalaman manusia dapat disebut ilmu?[10] Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara Charles Darwin menemukan teori evolusinya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu memperhatikan objeknya. Pertama, soal kematian hanya mampu dijawab oleh agama. Kedua, teori evolusi yang telah ditemukan oleh Darwin didapatkan setelah proses pencarian standar kebenaran yang melewati ujian yang cukup ketat baik secara rasional maupun empiris. Lebih jauh, apakah kebenaran agama ataupun metafisika masuk dalam ketegori ilmu pengetahuan?

Ahmad Tafsir menggambarkan tentang klasifikasi ilmu pengetahuan. Secara umum, Tafsir membagi ilmu pengetahuan (epistemologi) menjadi tiga bagian: pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Dari ketiga bagian ini masing-masing mempunyai objek yang berbeda.

Pengetahuan sains diartikan sebagai semua objek empiris yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Pengalaman di sini ialah pengalan pancaindra, maka cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut harus terlibat dalam pengindraan manusia.[11]

Berikutnya adalah pengetahuan filsafat. Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat, dan ukuran kebenaran. Berbeda dengan pengetahuan sains, objek dari filsafat adalah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Bila hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut dengan sistematika filsafat.

Sistematika filsafat atau struktur filsafat dalam garis besar atas ontologi, epistemologi dan aksiologi. Objek penelitian dari filsafat lebih luas dari objek pengetahuan sains. Sains hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin ada.[12]

Selanjutnya, pengetahuan mistik. Pengetahuannya masih menjadi perdebatan dikalangan ilmuwan. Sebab pengetahuan mistik mempunyai objek yang abstrak. Standar kebenarannya pun masih terbilang relatif. Namun yang jelas, pengetahuan mistik bersifat intuitif. Atau dapat diukur melalui teks Tuhan dalam Al-Qur’an, misalanya, ketika berbicara tentang neraka itu ada, maka teks itulah yang menjadi bukti bahwa pernyataan itu benar.[13] Dari urian ini, dapat dipertegas bahwa pengetahuan manusia dengan cara intuisi merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, termasuk di dalamnya percaya kepada Tuhan.

Dalam Islam sendiri mempunyai teks agama yang berpotensi untuk ditafsirkan dari berbagai sisi. Hal ini disebabkan tidak sedikit dari teks suci agama Islam masih bersifat universal. Terkait dengan penafsiran yang berbeda-beda itu, para filosof, ahli tasawuf dan ahli fikih mempunyai standarisasi tersendiri dalam pengetahuan mengenai Tuhan.

Ibnu Tufail merupakan salah seorang filosof yang telah mengalami pengalaman pribadi untuk mengenali jalan menuju Tuhan. Proses mengetahui Tuhan tersebut ia tulis dalam karya Hayy Ibn Yaqzan. Ia telah mampu menggabungkan ketiga cara memperoleh pengetahuan sekaligus: rasional, empiris, dan intuisi.

Sarana Pencapaian Ilmu

Sarana seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan begitu penting, sebab dengan adanya sarana ini manusia akan mampu menangkap objek dari sesuatu yang ia pelajari dan amati. Ibnu Tufail mempunyai bangunan sarana epistemologi yang dikontribusikan pada dunia keilmuan. Ibnu Tufail telah menyatukan tiga sarana ilmu pengetahuan itu sendiri, antara lain, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya: rasional, pancaindera, dan intuisi.

Akal

Sebagai filosof yang hidup pada abad pertengahan, Ibnu Tufail tidak menanggalkan fungsi akal untuk memahami realitas alam semesta dan yang ada dibelakangnya. Ibnu Tufail saat bercerita tentang Hayy Ibn Yaqzan menjelaskan bahwa saat Hayy mulai dididik oleh rusa selama tujuh tahun ia mulai berpikir pada hewan yang mengitarinya. Dalam benaknya bertanya-tanya, kenapa terdapat suara yang berbeda-beda antara hewan yang satu dengan yang lainnya.

Hayy melihat pada bentuk hewan-hewan yang dibaluti dengan bulu dan rambut. Hayy juga melihat di antara mereka cepat bermusuhan dan mempunyai kekuatan untuk serangan. Hewan-hewan tersebut juga mempunyai senjata untuk membentengi diri mereka dari serangan seperti tanduk.

Kemudian Hayy mulai melihat pada dirinya yang telanjang dan tak mempunyai senjata dan tidak bermusuhan. Melihat yang telah mendidik dirinya adalah rusa, ia mulai bertanya-tanya kenapa ia tidak mempunyai tanduk? Ia mulai mencari sebab dari perbedaan spesies tersebut.

Dari cerita yang ditulis oleh Ibnu Tufail mengindikasikan bahwa peranan akal saat menelaah fenomena yang mengitari Hay sangat penting sebagai landasan berpikir secara ilmiah. Hayy mulai berpikir kenapa perbedaan antara dirinya dan hewan begitu tampak. Ia juga tidak mengerti sebab dari perbedaan tersebut. Menariknya lagi, saat hewan yang ia lihat ditutupi oleh bulu-bulunya, ia mengambil hikmah dari hewan tersebut untuk menutupi bagian badannya dengan daun-daunan.[14]

Pemikiran yang disampaikan oleh Ibnu Tufail ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan aliran teologi dalam Islam yang mencoba memahami Tuhan dengan cara melihat dan menganalisa pada dirinya.

Seperti telah diketahui salah satu syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu adalah dengan cara berpikir. Dengan kegiatan berpikir akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Dengan cara berpikir maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah: bersifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan.[15]

Dalam perspektif ilmu logika, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal manusia yang mampu berpikir secara mendalam dan dapat mengembangkan dari suatu teori pada tahapan teori berikutnya.

Dalam catatan Abdul Halim Mahmud atas pemikiran Ibnu Tufail tentang kedudukan akal dalam agama, bahwa akal manusia tidak mampu menembus pembahasan mengenai Tuhan. Keberadaannya hanya dilingkupi pada fenomena alam yang disekitarnya saja. Mahmud mengutip langsung pernyataan Ibnu Tufail tentang larangan untuk menganalisa secara nalar rasio tentang metafisika:

 يَرَي ابْنُ طُفَيْلِ اَنَّ الْمِلَّةَ احلَنَفِيَّةَ وَ الشَرِيْعَةَ املُحَمَّدِيَّةَ قَدْ مَنَعَتْ مِنْ الْبَحْثِ فِيْمَا وَرَاءَ الطَبِيْعَةِ عَلَى طَرِيْقَةِ اَهْلِ النَظَرَ وَحَذَرَت مِنْه.ُ

(Ibn Tufail melihat sesungguhnya agama hanifiah dan syariat muhammadiah telah melarang dan mencegah pembahasan tentang metafisika dengan cara analisa (nalar rasionalitas).[16]

Terkait dengan kontemplasi terciptanya alam semesta—baik mikro atau makro—tetap dianjurkan oleh agama dengan tujuan untuk menambah iman seseorang dan memperkuat keimanan. Adapun kebebasan berijtihad juga tidak lepas dari peran akal yang pada dasarnya tidak bertujuan pada penemuan hasil pemikiran secara bebas, melainkan untuk sampai pada maksud yang diinginkan para nabi yang telah meninggalkan teks suci keagamaan.[17]

Sederhananya, Mahmud ingin menyampaikan peranan akal sebagai sarana ilmu pengetahuan tidak dapat menembus objek pembahasan metafisika. Sejalan dengan Abdul Halim, Mushtafa Ghalib tidak memasukan peranan akal sebagai sarana ilmu pengetahuan dalam metode ilmiah Ibnu Tufail.[18]

Terlihat Ibnu Tufail masih ambigu dalam pernyataannya saat mendudukan posisi akal sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Terbukti saat melihat fenomena yang mengitarinya ia melanjutkan dengan cara berpikir dengan cukup mendalam agar sampai pada hakikat dibalik alam semesta. Namun dalam dialektika pemikiran yang terjadi, Ibnu Tufail telah mengalami jenjang rasionalitas yang cukup dalam untuk menggapai dunia transenden.

Pancaindra

Pancaindra merupakan salah sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Penggunaan pancaindra akan menentukan kesimpulan-kesimpulan dari putusan sebuah ilmu. Ketika objek dimulai dari fakta maka akan diakhiri dengan fakta. Sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik.[19] Bila salah satu dari pancaindra manusia hilang maka diwaktu yang sama ia akan kehilangan sisi pengetahuan yang seharusnya ia miliki.

Peletak dasar pengetahuan secara indrawi berawal dari konsep yang ditawarkan oleh Aristoteles. Ia memandang pengenalan indrawi tak lepas dari dua hal: potensi dan aktus. Keduanya mempunyai peranan penting.

Dalam proses pengenalan indrawi kita menerima bentuk benda tanpa materinya. Misalnya lemari. Lemari hanya menerima bentuk benda sebagai lemari, bukan karena materinya. Agar terhindar dari kesalahan pengamatan indra, maka seseorang harus mampu membedakan antara yang aktual dan yang potensial. Dan organ indra yang dimiliki oleh seseorang sudah mempunyai kualitas secara potensial. Dengan begitu manusia akan sampai pada intisari pengenalan indrawi menurut anggapan Aristoteles.[20]

Sejauh kisah yang mengawali Hayy saat menginjak umur tujuh tahun, ia mulai mengamati fakta-fakta yang mengitari dirinya dengan pancaindra yang ia miliki. Saat rusa yang mendidik Hayy sejak kecil mati, ia merasa sedih dan berduka atas kematiannya rusa. Hayy mulai melihat pada kedua telinga dan mata rusa itu. Dalam pengamatannya, ia tidak melihat penyakit yang tampak pada rusa.

Kurang puas, pengamatan selanjutnya diperluas pada seluruh badan Rusa. Karena tidak menghasilkan kesimpulan, Hayy mulai memahami anggapannya tentang penyakit yang diderita Rusa mulai ia lupakan. Ia memposisikan Rusa tersebut pada apa adanya. Bagi Hayy, bisa saja ketidakberfungsian tubuh Rusa disebabkan ada faktor penghalang disetiap organ tubuhnya.

 فَكَانَتْ يَنْظُرُ اِلَى اُذُنَيْهَا وَاِلَى عَيْنَيْهَا فَلَا يَرَي اَفَةً ظَاهِرَةً وًكَذَلِكَ كَانَ يَنْظُرُ اِلَى جَمِيْعِ اَعْضَائِهَا فَلَا يَرَي شَيْءٌ مِنْهَا اَفَة.ً وَكَانَتْ يَطْمَعُ اَنْ يَعْثُرَ عَلَي مَوْضِعِ الْاَفَةَ فَيَزِيْلُهَا عَنْهَا فَتَرْجِعُ اِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْه,ِ فَلَمْ يَتَأَتَّ لَهُ شَئٌ مِنْ ذَلِكَ وَلَا اِسْتِطَاعِهِ وَ كَانَ الَّذِيْ اَرْشَدَهُ لِهَذَا الرَأْيِ مَا كَانَ قَدْ اِعْتَبَرَهُ فِي نَفْسِهِ قَبْلَ ذَلِك.َ لِاَنَّهُ كَانَ يَرَي اِنَّهُ اَغْمَضُ عَيْنَيْهِ اَوْ حَجَبَهَا بِشَيْئٍ لَا يُبْصِرُ شَيْأً حَتَّي يَزُوْلُ ذَلِكَ العَائِقُ

(Hay melihat pada kedua telinga dan mata rusa, ia tidak melihat penyakit yang tampak. Dan seperti itu juga, ia melihat pada seluruh anggota tubuh rusa, Hay pun tidak menemukan penyakit. Dan ia mulai puas untuk memahami kedudukan penyakit tersebut dan mulai melupakannya, Hay tidak mempertanyakan kembali. Maka ia pun tidak mendapatkan apa-apa dan tidak mampu (untuk memahaminya). Hay mendapatkan petunjuk dalam penilitian ini melalui pengalaman dari dirinya sebelum itu (menganalisa rusa yang mati). Ia melihat buramnya mata atau tertutupnya mata disebabkan karena sesuatu, mata tidak akan melihat kecuali penghalang tersebut hilang).[21]

Hasil dari pengamatan, pengalaman, dan eksprimen sebagai prinsip empirisisme. Hal ini dimaksukan si penyelidik bahwa kesan-kesan dari pancaindranya dapat dipercaya dan bahwa ia dapat mengkaji kebenaran dengan menunjukkan fakta-fakta yang telah dialami.[22]

Sebagai seorang filosof muslim, Ibnu Tufail ternyata tidak berhenti pada taraf eksprimentasi yang visual. Tapi mampu menggabungkan antara pengalaman indrawi dan rasional. Tanpa digabungkan keduanya maka akan terjadi kepincangan dalam sarana ilmu pengetahuan.

Intuisi

Cara memperoleh pengetahuan mistik yakni dengan latihan yang disebut dengan riyadah. Dari riyadah itu manusia memperoleh pencerahan, memperoleh pengetahuan yang dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah.[23] Terdapat pula kemungkinan yang selanjutnya dengan cara pemberian langsung dari Tuhan atau disebut dengan ilmu mauhibah. Bila akal tidak mampu memahami area metafisika maka hanya dengan cara intuisi Tuhan dapat dipahami.

Ibnu Tufail sebelum mengenal Tuhan dengan cara intuitif terlebih dahulu ia mempelajari tentang diri sendiri tentang ruhaniah di dalam jism-nya untuk mengenal wujud pertama (Tuhan). Karakter ruh tidak sama dengan karakter badan (jism). Kemudian ia mulai berpikir dan berkontemplasi bahwasanya dzat yang ada dalam dirinya ini adalah hakikat Tuhan.

Bagi Ibnu Tufail, ruh tersebut kekal. Dan seperti itu pula yang terjadi pada kesempurnaan Tuhan, keberadaannya tidak ber-jism sehingga tidak dapat dipancaindra. Mengindra hanya dibatasi pada pengetahuan yang bersifat materi atau jism. Sedangkan Tuhan yang tidak bermateri hanya dapat diketahuai melalui mushahadah. [24]

At-Thusi memberikan pengertian yang dimaksud dengan mushahadah dengan makna hadirnya hati.[25] Saat hati telah hadir dalam pengetahuan Tuhan, maka pengetahuan tersebut dikategorikan pada intuisi. Menurut Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah diwaktu yang bersamaan setelah mengalami dimensi musyahadah, seseorang akan melihat sesuatu yang tak pernah dialaminya.

 فَلَمَّا فَنَيتْ نَفْسُهُ عَلَي هَذَا النَّحْوِ شَاهَدَ مَا لَا عَيْنَ رَأَت وَلَا اُذُنَ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَي قَلْبِ الْبَشَرِ وَعَجَزَ عَنْ وَصْفِ مَا رَأَي.

(Saat dirinya telah meleburkan diri pada tujuan ini, ia akan menyaksikan pada sesuatu yang tak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbersit oleh hati, dan tidak akan mampu mensifati apa yang ia lihat).[26]

Ibnu Tufail mendapatkan inspirasi berpikir dari para pendahulunya seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Apa yang membedakan antara Ibnu Tufail dan filosof sebelumnya adalah sarana ilmu pengetahuan yang dipakai untuk memahami Tuhan. Ibnu Tufail tidak mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan lewat akal tapi menggunakan nalar intuisi sebagai piranti.

Parameter dan Pengujian Kebenaran Ilmu

Kebenaran ilmu dapat diuji dengan cara standar objek pengetahuan yang dikaji. Kebenaran sains diukur dengan rasio dan bukti empiris. Bila teori sains rasional dan ada bukti empiris, maka teori itu benar. Ukuran kebenaran pengetahuan filsafat adalah logis, bila tidak masuk akal maka dapat disebut teori tersebut salah.[27]

Dalam dunia sains, misalnya, proses pengujian kebenaran ilmu dengan cara mengumpulkan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta-fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap secara langsung dengan pancaindra. Atau dibutuhkan alat teleskop dan mikroskop untuk mengukur kebenarannya.

Beda halnya dengan ilmu pengetahuan mistik atau agama, proses pengujiannya tidak sama dengan ilmu sains dan filsafat. Pengkajian ilmu pengetahuan mistik harus ditinjau dari berbagai aspek, seperti penalaran, perasaan, intuisi, imajinasi disamping juga pengalaman.[28]

Pengalaman yang telah dicapai oleh Ibnu Tufail dalam karya Hayy Ibn Yaqzan merupakan bagian ilmu pengetahuan yang mempunyai ukuran kebenaran sebagai ilmu. Selain dari intuisi dan pengalaman yang telah ia lewati, Ibnu Tufail juga tidak menanggalkan fungsi teks suci agama sebagai petunjuk bagi manusia. Teks agama yang ditampilkan Ibnu Tufail saat mendeskripsikan Tuhan yang mempunyai niscaya ada-Nya.

 وَ كَيْفَ يَكُوْنُ الْعَدَمُ تَعَلَّقَ اَوْ تَلَمَّسَ بِمَنْ هُوَ الْمَوْجُوْدُ املَحْضَ اَلْوَاجِبُ الْوُجًوْدُ بِذَاتِهِ اَلْمُعْطَي لِكُلِّ ذِيْ وُجُوْدٍ وُجُوْدُه,ُ فَلَا وُجُوْدَ اِلَّا هُوَ فَهُوَ الوُجُوْدُ وَهُوَ الْكَمَالُ وَهُوَ التَّمَامُ وَهُوَ الْحَسَنُ وَهُوَ الْبَهَاءُ وَهُوَ الْقُدْرَةُ وَهُوَ الْعِلْمُ وَهُوَ )وَهُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَه,ُ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ)

Artinya, “Bagaimana yang tidak ada mempunyai kaitan atau berhubungan dengan suatu dzat yang keberadaannya niscaya ada-Nya dengan dirinya sendiri yang mana keberadaannya tersebut memberikan keberadaan (bisa adanya), maka tidak ada yang ada (pada dasarnya) kecuali dia, dialah yang ada, sempurna, baik, indah, berkuasa, mengetahui (dan dia setiap sesuatu pasti akan musnahkecuali dzat-Nya, baginya hukum dan kepadanya tempat kembali.” (QS. Qashahs [28]: 88).

Proses pengujian secara intuitif bukan diartikan sebagai bentuk menghilangkan peran akal sebagaimana yang dilakukan oleh teolog untuk membentengi agama. Tapi akal punya porsi atau kedudukan sendiri dalam fungsinya. Akal hanya memperkuat keimanan tanpa bisa membantu untuk mengenal Tuhan lebih jauh, maka dibutuhkan nalar intuitif agar bisa memahami Tuhan lebih dekat.

Penutup

Sarana ilmu pengetahuan dalam pandangan Ibn Tufail tergantung pada objek material yang menjadi sorotan pembahasan. Bila objek kajian tersebut berpusat pada persoalan materi maka pancaindera manusia dianggap cukup untuk mengetahui hal tersebut. Sedangkan akal berfungsi sebagai pengembangan dari daya tangkap indra. Keduanya masih berpusat pada pembahasan duniawi. Namun demikian, untuk persoalan metafisika, perlu intuisi untuk memahami lebih mendalam agar mengenal sisi yang ada dibalik alam semesta.

 

[1] Abduh Shymali, Dirasat fi Tarikh al-Falsafah al-Islamiah (Beirut: Dar as-Shadir, 1979), hlm. 617

[2] Ibid.

[3] Abdullah Saeed, Islamic Thought an Introduction (Canada: Routledge, 2006), hlm. 101.

[4] Ibid.

[5] Abduh Shymali, Dirasat fi Tarikh al-Falsafah al-Islamiah (Beirut: Dar as-Shadir, 1979), hlm. 618.

[6] Ahmad Amin, Hay Ibn Yaqzan; li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa as-Suhrawardi (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2008), hlm. 42.

[7] Abduh Shymali, Dirasat fi Tarikh al-Falsafah al-Islamiah, hlm. 620.

[8] John Jey. Toohey, Notes on Epistemology (Washington: Georgetown, 1954), hlm. 5.

[9] Jujun S. Suriansumatri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Penebar Swadaya, 2010), hlm. 104.

[10] Ibid., hlm. 104.

[11] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 27.

[12] Ibid., hlm. 80-81.

[13] Ibid., hlm. 119-120.

[14] Ahmad Amin, Hay Ibn Yaqzan; li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa as-Suhrawardi (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2008), hlm. 53.

[15] Jujun S. Suriansumatri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, hlm. 120.

[16] Abdul Halim Mahmud, Falsafah Ibn Tufail (Mesir: Dar al-Kitab al-Mashry, 1990), hlm. 32.

[17] Ibid., hlm. 33-34

[18] Musthafa Ghalib, Fi Sabili Mausu’ah Falsafah (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1991), hlm. 18.

[19] Jujun S. Suriansumatri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, hlm. 123.

[20] Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 181-182.

[21] Ibid., hlm. 53.

[22] Ibid., hlm. 234.

[23] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hlm. 120.

[24] Ahmad Amin, Hay Ibn Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa as-Sahrawardi, hlm. 73.

[25] Ibid., hlm. 94.

[26] Ibid., hlm. 175.

[27] Ibid., hlm. 121.

[28] Jujun S. Suriansumatri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, hlm. 126-127.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Arfina Indahsari

Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya