Godlob: Jalan Mabuk Danarto
Judul: GodlobÔöéPenulis: DanartoÔöéPenerbit: Basabasi, 2017ÔöéTebal: 252 halamanÔöéISBN: 978-602-6651-15-0
Bagi saya yang paling ngangenin dari karya-karya Danarto adalah ketidakterkaannya. Penulis kelahiran Sragen ini mampu mengolah apa saja menjadi apa saja pula. Bunga-bunga yang pandai bercakap layaknya manusia, berkhutbah layaknya khatib yang cas cis cus di atas mimbar, atau seperti nabi yang pandai menjembatani rahasia Tuhan dengan alam akal manusia. Pembaca seakan diajak melepas raga, dan hanya menyediakan ruh untuk dapat menangkap sasmita-sasmita yang tergelar di alam mayapada. Bahkan, menurut saya, jangan pernah menyediakan “akal” untuk mencerna tulisannya Danarto. Gunakan akal budi, atau tingkatan akal ke sepuluh jika ingin mencecap hikmah yang terkandung dalam karya-karya sastranya.
Pertama kali saya bersinggungan dengan karya Danarto saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Karya Danarto yang pertama kali saya baca adalah kumpulan cerpen Berhala yang bahasa njlimet-nya belum begitu memusingkan kepala. Dalam kumpulan cerpen itu, Danarto masih berpijak di bumi. Coba bandingkan dengan karya-karya lain, misalnya Adam Ma’rifat atau Asmaraloka. Pada kedua karya itu, bahasa-bahasa “langit” Danarto kembali tergelar. Bagaimana ia mau menjaring malaikat, malaikat-malaikat yang kelayapan mengusung ruh seseorang, dan manusia yang ingin merebut kembali kekasihnya yang dibawa kabur oleh sosok malaikat. Semuanya tak bisa diterka, semua bisa dilakonkan. Asal “sesuatu” itu bisa diajak dialog dan bisa dipinjami bahasa maka “sesuatu” itu bisa bertingkah polah layaknya manusia yang lihai berbicara.
Semua ketidakterkaan itu menggambarkan Danarto ingin menyadarkan pembaca bahwa selain Tuhan itu kategorinya makhluk. Dan semua makhluk adalah wadah dari emanasi Tuhan yang memiliki akal, bahasa, dan sandi-sandi ilmu yang terkadang bagi manusia dinilai mustahil untuk terjadi. Namun bagi kalangan dunia mistik, atau kalangan sufi, semuanya mungkin terjadi. Semuanya bisa menjadi petanda. Dan petanda hanyalah bahasa yang susah dilisankan. Sebut saja peristiwa meloncatnya ikan bekal Nabi Musa ketika pas di pertemuan laut, berbicaranya sebuah batu giling yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad untuk membantu pekerjaan tangan putrinya, Fatimah az-Zahra, atau peristiwa-peristiwa mistik lainnya.
Semua itu hanya ingin menunjukkan bahwa selain yang tidak memiliki mulut pun bisa berbicara, mewejang sebuah ilmu, menyingkapkan rahasia-rahasia Tuhan. Dan Danarto, hemat saya, lihai dalam menangkap unek-unek dari gerombolan-gerombolan makhluk yang tak bermulut ini. Tak ayal jika Prof. A. Teeuw mengatakan bahwa cerpen-cerpen Danarto sebagai sastra yang memesona yang menyodorkan gambaran tentang eksistensi manusia dari sudut pandang dunia batin orang Jawa. Isi ceritanya banyak menyodorkan variabel-variabel religius. Meski ia ditilik dari sudut pandang batin orang Jawa, namun isinya melingkup pandangan umum, klasik sekaligus kontemporer, abstrak sekaligus berkelindan dengan yang konkret.
Seperti yang sudah singgung bahwa Danarto dapat melakokankan apa saja, maka dalam cerita-ceritanya ia bisa menyewa apa saja untuk menjadi tokoh ceritanya. Memang bukan tokoh yang menjadi punjer ceritanya, melainkan amanatnya. Danarto bagaikan elang yang ingin segera menukik ke dunia sehari-hari manusia, kemudian menyambar kesadaran kita untuk dibawa kembali terbang ke cakrawala tanpa batas.
Lahir dari rahim batin Jawa
Pergelutan-pergulatan batin yang intens, yang dilakukan Danarto inilah yang kemudian melahirkan Godlob: sebuah karya yang menekankan dialog-dialog batin, mistis sebagai subjeknya.
Dalam Godlob, pembaca akan disuguhi pertama kali sesuatu yang tidak bisa diterka. Sebuah cerita tentang seorang ayah yang menginginkan anaknya menjadi seorang pahlawan. Keinginan tersebut membuahkan kenekatan, yakni ia membunuh anaknya sendiri yang sebenarnya sudah sekarat karena perang. Sebenarnya pada cerita “Godlob” (hlm. 5) ada kritik yang dilontarkan oleh Danarto, yaitu tentang intrik politik, hanya para pemegang tampuk kekuasaan yang dapat menikmati jerih payah kekuasaan, dan gelar pahlawan hanyalah upaya untuk memonumenkan jasad agar tak lekas dilupakan. Selebihnya hanyalah sebuah kesepakatan-kesepakatan di atas meja.
Selanjutnya disusul “Rintrik” (hlm. 19). Pada cerita ini diberi judul dengan simbol hati yang tertusuk. Entah mengapa diberi judul seperti itu, apakah itu cukup untuk mengatakan bahwa untuk menemukan kedalaman, kemenepan batin, orang harus rela menanggung perihnya kehidupan? Tak ada yang tahu. Yang jelas pada cerita “Rintrik” ini dikisahkan seorang perempuan yang buta yang mengabdikan diri bagi kehidupan manusia dengan cara memungut bayi-bayi yang telah mati yang dibuang di sebuah jurang.
Pernah saya tanyakan kisah ini kepada teman, “Apakah ini ada kaitannya dengan Gunung Kemukus yang dijadikan pesugihan itu?” Sayangnya, teman saya itu pun tak tahu. Ia hanya mengatakan bahwa Gunung Kemukus berada di sekitar Sragen, dan Danarto berasal dari daerah itu pula. Namun, dunia yang dibidik oleh Danarto lebih luas dari sekadar Kemukus.
“Rintrik” hanyalah simbol pengabdian manusia yang suka menolong, manusia yang sudah bisa melepaskan indra-indranya untuk tidak menilik ihwal pangkat dan asal yang ingin ditolongnya. Meski akhirnya, perempuan buta itu pun tumbang dikangkangi oleh tangan pemburu. Sebelum rebah, keinginan tokoh Rintrik adalah melihat wajah Tuhan. Keinginan yang mengingatkan kita pada cita-cita seorang salik, yakni cita utama seorang perindu Wajah Kekasih, bukan tamannya atau yang lain. Dari sini, sudah cukup mengabarkan bahwa Danarto menggebrak kembali kesadaran relung batin pembaca bahwa tugas mulia hanyalah untuk Tuhan semata, bukan yang lain.
Sastra sebagai jalan “pulang”
Dalam dunia mistik orang Jawa kita mengenal konsep manunggaling kawulo Gusti. Kalau dibahasakan bersatunya kawula dengan “Gusti”. Sengaja saya mengapit Gusti dengan tanda kutip karena kata itu bisa saja merujuk pada penguasa dunia (raja) bisa juga mengacu kepada “Tuhan”. Yang pasti, yang ingin dijumbuhkan kawula ialah “Penguasa”. Pada karya “Rintrik” banyak sekali nilai-nilai ketuhanan yang disodorkan oleh Danarto. Misalnya saja, mengenai ketidakberdayaan manusia, tentang hakikat haquallah. Simak ungkapan berikut:
“Alam semesta dan isinya adalah kematian abadi karena bergerak hanya karena digerakkan. Bukan bergerak sendiri ...” (hlm. 47).
Ungkapan tersebut seakan mencerabut eksistensi manusia, menafikan akal gerak dan energi yang dihasilkan dari ragam proses biokimiawi dalam tubuh manusia. Namun, benarkah begitu? Ternyata tidak, justru yang dikatakan itu adalah hakikat kekuatan yang dimiliki manusia yang bersifat nisbi. Coba simak lagi bantahan berikut:
“... Kau lihat, ketika engkau membidik, wahai para pemburu, bukan engkau sendiri yang melakukan. Ada kekuatan lain yang lebih besar yang menguasai kita dan kekuatan besar ini sendirilah yang sepenuhnya melakukannya ...” (hlm. 47).
Kalau kita menyimak ayat Al-Quran, ungkapan tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Yang membuat baru adalah karena hati kita yang tidak atau jarang menyadari di balik proses pergerakan. Yang kita awasi hanya sebatas pada peristiwa-peristiwa besar. “… Wa maa ramaita idz ramaita wa lakinnallaha ramaaa …” (Bukan kamu yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar).
Selain nilai-nilai ketuhanan yang bersifat manunggal, Danarto juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk ke puncak tertinggi terkadang kita harus berani mengorbankan diri atau sesuatu yang kita sayangi. Pengorbanan inilah yang sering kali tidak bisa diterima oleh khalayak karena berlawanan dengan logika. Sebab lainnya karena terlalu memanjakan hawa nafsu yang berakibat tumpulnya batin dan sikap bodoh alias durung ngerti.
Sikap ini banyak terlihat pada “Godlob” (Sang ayah yang membunuh anaknya hanya demi sebuah gelar), “Rintrik” (Pemburu yang membunuh Rintrik hanya demi melihat Tuhan), “Sandiwara atas Sandiwara” (Penonton yang menuntut agar dipentaskan Popok Wewe), “Armageddon” (Sang ibu membunuh anak gadisnya hanya karena cemburu), “Asmaradana” (Salome yang memenggal kepala Yahya Pembatis hanya karena ingin melihat wajah Tuhan), dan “Abracadabra” (Hamlet yang ingin menguasai kebijakan Timur, tetapi sekaligus memberangus kebiasaan Timur).
Semua cerita-cerita pendek yang terangkum pada Godlob, bahkan kebanyakan pada karya-karya Danarto seakan ditulis ditengah kemabukannya. Jalannya bisa melompat, ceritanya bisa apa saja. Namun, semua yang diungkapkan seakan berasal dari alam ketidaksadaran. Lantas begitu, apakah kita perlu “mabuk” untuk sekadar menangkap maknanya? Hanya pribadi masing-masing yang sanggup menjawabnya.
Selamat membaca!
Category : resensi
SHARE THIS POST