Farag Foda dan Tragedi Intelektual

slider
27 Januari 2020
|
1570

Sejarah telah menjadi saksi atas kekejaman para penguasa atau sebaliknya kekejaman para penganut ideologi keagamaan konservatif dengan cara melenyapkan mereka yang tidak sejalan dengan pemikiran golongan mereka sendiri melalui cara apa pun. Legitimasi kekuasaan atau legitimasi keagamaan, sering kali memakan korban baik dari masyarakat umum atau para intelektual yang tidak sejalan. Sejarah Islam bisa disebut sebagai sejarah mengenai pertumpahan darah—dalam rentang era tertentu—dikarenakan terjadi pembunuhan hanya karena tidak sejalan dengan kebijakan penguasa, keras pandangan keislamannya, ingin kekuasaan atau ingin melanggengankan kekuasaaan semata. Seperti yang terjadi pada era Khulafaur Rasyidin, era Kekhalifahan Umayyah, era Kekhalifahan Abbasiyah, dan era muslim modern.

Tampaknya umat muslim tidak mau belajar dengan dirinya sendiri, dengan sejarahnya. Sebagian dari mereka hanya mementingkan ego, jalan berpikir kelompok, dan politik kekuasaan semata dengan menggunakan dalih agama atau sebaliknya. Farag Foda adalah salah satu korban dari hal tersebut. Ia seorang sejarawan yang lahir di Danietta dekat Delta Niel, Mesir, pada 20 Agustus 1945. Sebagai seorang sejarawan, Foda membuka tabir kelam sejarah umat Islam, membuka sejarah yang hilang, membuka lembaran-lembaran kelam umat muslim yang selama ini tidak dibuka oleh para ulama atau cendekiawan muslim. Pembukaan tabir ini yang menyebabkan Foda ditembak pada 8 Juni 1992. Kematian Foda menambah lembar dalam sejarah umat Islam atas pembunuhan yang terjadi hanya karena pandangan kelompok atau politik kekuasaan semata.

Air susu dibalas air tuba”, mungkin peribahasa ini tepat disematkan kepada Foda sebagai salah satu intelektual muslim, yang mendapatkan balasan dari para kalangan ulama beraliran garis keras mengenai pemikiran dan karya intelektualnya. Kematian Foda mengulangi kembali sejarah mengenai pemikiran dan karya intelektual yang dihadapkan pada dalih agama. Sewaktu dulu, ada Imam Ahmad ibn Hambal terkait peristiwa mihnah, dan Ibn Rusyd terkait peristiwa nakbah. Imam Ahmad sebagai ulama hadis dan fikih, menentang keras ideologi yang dianut oleh kekhalifahan pada saat itu yaitu al-Makmun dan al-Mu’tashim berupa ideologi Muktazilah. Ia dipaksa untuk mengakui bahwa Al-Quran adalah mahluq yang jelas berbeda dengan pandangan Imam Ahmad sendiri (Al-Jabiri, 2003).

Baca juga: Iqbal dan Citra Diri Umat Islam

Pemaksaan pandangan ideologi pada peristiwa mihnah bukan masalah keagamaan, melainkan karena faktor politik kekuasaan yang dipaksakan oleh pemerintah Abbasiyah pada waktu itu. Padahal, soal mode beragama dalam hidup tidak ada suatu paksaan apalagi sampai terjadi pembunuhan dan penyiksaan semacam mihnah. Dalam sejarah Islam memang tak luput dari sejarah pertumpahan darah hanya demi melanggengkan kekuasaan, seperti yang terjadi pada Ibn Rusyd. Peristiwa yang menimpa Ibn Rusyd disebut sebagai peristiwa nakbah dan justru peristiwa ini kebalikan dari mihnah. Pada peristiwa mihnah mengharuskan masyarakat berpikir secara rasional mengikuti teologi Muktazilah, sedangkan pada peristiwa nakbah di mana penguasa kebanyakan para agamawan yang enggan berpikir secara rasional, mengadili seorang tokoh yang tidak kenal lelah mengkampanyekan cara berpikir kepada umat muslim dengan metode burhani, demonstrasi logis atau filsafat.

Ketika pada peristiwa mihnah memaksakan cara berpikir rasional telah melahirkan penolakan, perlawanan yang berakhir dengan penjara atau eksekusi. Sedangkan pada peristiwa nakbah usaha intelektual untuk melengkapi pertimbangan dengan cara berpikir filosofis melahirkan penghakiman yang mematikan. Dua peristiwa yang berbeda berakhir dengan akibat yang hampir sama, yakni kemenangan dengan cara berpikir non-rasional. Dari dua peristiwa ini seolah umat Islam enggan untuk belajar, enggan mengambil hikmah, dan seperti itu terulang pada era modern abad ke-20.

Hampir sama kenyataan yang diterima oleh Foda, oleh Ibn Rusyd, Ibn Hambal. Mereka sama-sama melakukan perlawan atas dominasi yang dilakukan oleh penguasa, dan Foda menerima akibat dari apa yang ia lakukan. Faouda menginginkan umat Islam agar berpikir secara rasional dengan melihat sejarah yang telah terjadi di masa silam. Jangan sampai mencampuradukkan urusan agama dengan urusan politik yang justru membawa pada pertumpahan darah sesama muslim. Sesungguhnya keadilan tidak akan terwujud dengan kebajikan penguasa semata-mata dan juga tidak akan bersemi dengan kabajikan rakyat dan penerapan syariat. Namun, keadilan akan terwujud ketika itu dikontrol dengan suatu sistem ketatanegaraan.

Lima bulan sebelum dibunuh, Foda sempat mengikuti perdebatan pada Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon dihadiri lebih dari 30.000 orang ini, Foda menghadapi para ulama ortodoks. Perdebatan berkisar tentang masalah agama dan politik, negara dan agama, syariat Islam dan khilafah. Dalam perdebatan itu, Foda telah membuka tabir kelam sejarah umat Islam pada era Khulafaur Rasyidin mengenai pembunuhan terhadap Sayyidina Usman yang begitu kejam dan jasadnya terkatung-katung selama dua hari.

Sementara itu, kaum “islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui akan adanya peristiwa itu (Goenawan Muhammad, 2008) dalam sejarah Islam. Mereka justru hanya memuja masa silam era Khulafaur Rasyidin sebagai era keemasan Islam yang penuh kedamaian dan kejayaan sebagai negara Islam dengan sistem pemerintahan berupa khilafah—tanpa melihat sisi kelam yang terjadi. Para kaum “islamis” membaca sejarah Islam tetapi dengan menyingkirkan unsur politis yang terjadi di dalamnya untuk agar tidak kalah dengan paparan Foda.

Foda menjelaskan, Islam sesungguhnya sedang berada pada persimpangan jalan. Satu jalan mengarahkan kita pada disharmoni dan konflik berdarah akibat kelalaian dan sempitnya wawasan, dan di atasnya tidak ada suatu pencerahan. Sementara jalan yang lain adalah jalan yang mempertemukan Islam dengan dunia modern. Jalan ini sesungguhnya sangat ramah dan rute satunya adalah upaya-upaya pencerahan menyikapi terobosan-terobosan baru, dan memperluas cakrawala pemikiran (Foda, 2003). Begitulah Foda menjelaskan perihal keadaan umat Islam saat ini, di suatu sisi mereka yang terlalu fanatik terhadap golongan dan ideologi justru membuat umat Islam semakin terpuruk dan tertinggal dari negeri Barat. Di sisi lain, muncul dari kalangan intelektual Islam yang berjuang bersungguh-sungguh membangkitkan kembali Islam yang ramah, Islam yang memiliki visi ke depan dan membawa pembaharuan.

Intelektual seperti Foda, seperti yang dijelaskan oleh al-Jabiri, adalah intelektual yang memiliki suatu prinsip keimanan untuk meredam kekacauan (fitnah) dengan cahaya akal. Lebih dari itu, mereka telah meninggalkan pendapat pribadi dan ideologis kepartaian demi kemaslahatan umat (Al-Jabiri, 2003). Seorang intelektual tentunya dalam menyampaikan kebenaran yang diperoleh tanpa embel-embel untuk suatu jabatan, mencari nama atau mencari kekayaan pribadi. Tetapi menyampaikan kebenaran seobjektif mungkin sesuai fakta yang terjadi di masa lampau.

Problem umat mengenai sejarah, politik, dan pemikiran seringkali berakhir tragis. Pertalian ketiga problem ini bukan mengenai masalah agama, keimanan atau keyakinan, melainkan mengenai umat Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid, bahwa peristiwa saling membunuh dalam sejarah Islam tidak mengganggu kesucian Islam. Maka, sekali lagi ditegaskan, dalam kondisi apa pun, umat Islam agar tidak mencampuradukkan urusan agama dengan kepentingan politik, membawa misi politik dengan menunggangi agama, dan memasukkan agama ke dalam urusan politik.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam