Diogenes
Apakah membeli mobil, rumah dan barang-barang mewah lainnya masih dalam angan? Melihat pernikahan artis yang habis sekian milyar membuat kita hanya melongo? Menyadari betapa miskinnya dibanding dengan mereka yang bermewah ria? Atau jangan-jangan kita sengaja dimiskinkan oleh sistem ekonomi yang serakah? Sistem kapitalis? Atau gaya hidup yang kita anut dan dijadikan pedomanlah yang membuat hidup ini terasa kian miskin? Tenang, saya akan mengisahkan seseorang yang bernama Diogenes.
Diogenes hidup semasa dengan Alexandre The Great yang dalam catatan sejarah menguasai sepertiga dunia dan mati di angka 300-an sebelum masehi. Diogenes semacam wali yang sangat disukai oleh The Great. Namun, ia hidupnya meminta-minta. Tidur di dalam tong tengah kota dan selalu di kelilingi anjing-anjing. Sebenarnya jika ia mau mengandalkan kedekatannya dengan penguasa tak perlu kiranya hidup berkalang susah demikian. Namun jika ia memanfaatkan kedekatannya itu, buat apa saya ceritakan. Bukankah terlalu banyak penjilat di sekitar kita.
Diogenes ini hidupnya meminta-minta. Ya, meminta-minta. Namun ia dihormati. Ia tipikal orang yang cara hidupnya semaunya namun memiliki kedalaman spiritual dan pengetahuan kehidupan yang dahsyat. Uniknya, sekalipun ia makan dengan cara meminta, ia akan selalu bertanya kepada orang yang akan memberinya, apakah cuma saya yang kamu kasih makan? Adakah orang lain yang belum makan? Jika ada, pastikan aku yang paling terakhir saja mendapatkan bantuanmu.
Nah, zaman sekarang ada orang sepertu itu? Kebanyakan tentu lebih mengutamakan perutnya sendiri sekalipun dirinya sudah serba kecukupan. Diogenes melakukan laku hidup demikian gunanya menguji orang sekitar jiwa-jiwa memberi, berbagi dan ikhlas. Kita beramal sebenarnya bukan kebutuhan si peminta, tapi kebutuhan jiwa kita, kesehatan nurani kita.
Diogenes tidak memiliki barang apapun kecuali sehelai pakaian yang menempel di tubuhnya. Pernah ia memiliki cangkir untuk minum. Di kemudian hari ia melihat anak kecil minum menggunakan tangan, ia langsung membuang cangkir tersebut. Baginya, peradaban manusialah yang membuat rumitnya hidup. Dengan memiliki cangkir, Diogenes harus repot memikirkan cara untuk menyimpan dan juga membersihkannya. Sama halnya kita juga terkadang memperumit hidup. Misal handphone harus dengan seri dan kapasitas bla bla bla. Kamar harus ada tivi, wifi dan segala macam lainnya. Padahal rumus peradaban manusialah yang membuat persoalan hidup menjadi rumit.
Jika diresapi betul, sebenarnya kita hanya membutuhkan baju tiga potong saja. Satu untuk dipakai, yang kotor sehabis dikenakan kemarin hari, itu dicuci, dan satu potong lagi disimpan. Begitu alur seterusnya. Jujur saja, berapa banyak baju yang kita miliki dan jarang juga dipakai? Kita harus repot dengan aturan sendiri, kalau mau kondangan harus pakai batik, kalau lebaran beda lagi dan begitu seterusnya. Lelah sendiri.
Maka, menurut Diogenes, kehidupan kita ini sudah tidak alami. Menuju kehancuran dan kerumitan. Lantas apa? Tenang. Saya bocorkan beberapa jalan hidup yang baik menurut Diogenes tentu saja, kalau menurut calon mertua ya minimal PNS, eh, ups.
Pertama, alamiah. Baginya, dengan adanya adat istiadat, kebudayaan, gaya hidup justru menjauhkan manusia dari proses kehidupan yang alami. Misalnya adalah gawai yang saban hari kita pegang. Sekalinya saja handphone kita ketinggalan atau hilang, apa yang terjadi pada kita? Resah tentu saja. Merasa bingung dan manja.
Padahal hal tersebut justru membuat kita tidak bisa membaca kehidupan. Orang terdahulu santai saja ketika berlayar di tengah lautan, pasti bisa menepi dan pulang. Sekarang harus menggunakan kompas. Menentukan waktu saja kita berpatri dengan yang namanya jam. Dulu kita mudah saja cukup melihat tinggi matahari dan sudah bisa menentukan kapan salat dan sebagainya.
Hidup yang alami itu bagaimana? Lihatlah hewan. Ya, hewan. Mereka tidak perlu repot dengan hidup. Ketika saatnya makan akan makan. Tidur pun demikian. Tidak perlu hidup berkalang ambisi dan mendengarkan perkataan orang lain. Karena ambisi, kita dipusingkan dengan ingin menjadi ini itu, ingin dilihat seperti ini itu, padahal pada titik ini kemanusiaan kita tergadai.
Diogenes sudah melihat itu pada masanya, lalu di tengah keramaian kota ia berteriak "I AM LOOKING FOR A HUMAN!!!". Karena ia tidak melihat manusia di sekitarnya yang belum tergadai jiwanya oleh ambisi.
Kedua, pengendalian diri. Jabatan, kekayaan dan reputasi adalah ornamen perbuatan jahat menurut Diogones. Karena ketiga itulah manusia tega menyakiti sesamanya dan juga dirinya. Misalnya bermimpi menjadi orang kaya? Sebenarnya keharus-kepentingan yang mendesak dari itu apa? Hanya bikin repot hidup saja. Mengapa tidak memilih sederhana saja. Padahal menjadi orang kaya banyak tanggung jawab yang berkelindan dengan kekayaannya. Termasuk harta orang miskin yang diamanahkan. Lagipula semakin banyak memiliki barang di rumah, akan semakin banyak tempat bersembunyi bagi tikus. Sama halnya semakin banyak makan dan apapun masuk ke dalam diri kita, tentu saja semakin banyak penyakit menyertainya.
Kaya membuat kita rentan akan sikapĀ sombong dan jumawa. Bukankah tidak akan masuk surga orang yang memiliki kesombongan sekecil apapun? Karena ambisi berdiri sejajar dengan kekecewaan, kegagagalan, dan juga keberhasilan.
Ketiga, hidup prihatin/tirakat. Menjalani hidup tidak tergantung dengan apa-apa yang ada selain dalam diri sendiri. Maka kita diajarkan puasa. Puasanya dalam arti yang sangat luas. Menahan diri dalam semua hal. Agar tidak jatuh cinta dan terjerumus dalam jurang dunia. Misalnya puasa makan minum yang biasa dilakukan di bulan Ramadhan.
Sebenarnya, kita direpotkan dengan teori, konsep dan aturan yang kita bikin. Nyatanya sahur secukupnya atau kadang malah tidak bisa saja puasa sehari penuh dan buka dengan nikmat. Tapi kita kadung meyakini makan harus tiga kali sehari. Dan waktunya harus diatur pagi, siang dan malam. Ketika menjelang sore kita lapar, dengan sendirinya akan menunda sekalian menunggu waktu makan malam. Padahal kan bisa langsung saja makan ketika lapar. Itu contoh sederhana saja. Bahwa konsep dan aturan hidup yang kita buat justru merepotkan saja.
"Orang yang kaya adalah orang yang nyaman memiliki barang sedikit. Daripada kaya namun selalu ingin banyak hal, lebih baik memiliki barang sedikit dan bersyukur karenanya saat itu jugalah kita menjadi kaya".
Category : catatan santri
SHARE THIS POST