Dilema Berita

slider
17 Januari 2022
|
3285

Judul: Stop Membaca Berita | Penulis: Rolf Dobelli | Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia | Tahun: Cetakan Pertama, Mei 2021 | Tebal: xiii + 145 halaman | 978-602-481-590-5

Barangkali, buku ini bukanlah karya Dobelli pertama yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, setelah yang sebelumnya The Art of Thinking Clearly dan The Art of The Good Life, kini Stop Reading News ( Stop Membaca Berita )-buku ketiga- sudah dapat dibaca oleh pembaca Indonesia. Artinya penulis satu ini mendapat perhatian yang cukup banyak dari pembaca tanah air. Masih berkutat pada topik yang sama: pengembangan diri. Tetapi saya rasa, disimilaritas dari buku yang satu ini cukup kuat dan berani. Dengan membawakan tiga puluh lima alasan agar pembaca meninggalkan berita di tengah-tengah masyarakat dengan konektivitas informasinya begitu kuat,  membuat kemelitan saya ataupun mungkin pembaca lainnya terasa tergelitik untuk membacanya.

Berita dan Dampaknya

Hadirnya pelbagai produk teknologi hari ini mengakibatkan lalu-lalang informasi nyaris mustahil untuk dibendung. Entah itu informasi penting ataupun tak penting, dibutuhkan ataupun tak dibutuhkan, kesemuanya terjun bebas mengambil ruang kosong di kepala kita. Tentu hal tersebut berdampak kepada kita. Katakanlah seperti rasa was-was yang tak semestinya, emosi yang tak terkendali, ingin selalu mengomentari ini dan itu, atau hal-hal lain yang mengganggu ketenangan jiwa kita.

Jika hal tersebut bersumber dari informasi pemberitaan yang ada, menurut Dobelli sudah waktunya kita untuk meninggalkan berita. Alasannya? Menurut Dobelli, dengan mengutip Jodie Jackson, peneliti media Inggris bahwa, “Ketika kita memperhatikan semua berita, kita terus menerus dihadapkan dengan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dan narasinya tidak memberikan cukup harapan bahwa semua itu akan dapat diselesaikan.” Karena itu, lanjut Dobelli, tidak mengejutkan kalau kita merasa depresi ketika mengonsumsi berita yang menghadapkan masalah-masalah yang hampir semuanya tidak mungkin diatasi (hlm, 83).

Dunia dengan konektivitas internet yang ditunjang oleh beragam media pemberitaan hari ini memang dapat menyuburkan beragam bias. Menurut Dobelli, berita dengan laporan-laporannya itu tidak lain adalah titik-titik yang tidak saling terhubung dan simplifikasi dari sebab-akibat. Karena itu, berita tersebut mengakibatkan bias ketersediaan (availability bias) atau hanya memikirkan apa yang ada di depan mata kita dan atau yang sudah tertanam dalam kepala kita (hlm, 59).

Oleh karena itu, semakin sering mengonsumsi berita, terutama berita dengan judul ataupun gambar yang “mengerikan”, akan semakin melekat pengaruh berita di kepala kita sekaligus menyuburkan bias ketersediaan yang berakibat pada pengambilan keputusan yang kurang baik.

Selain itu, Nassim Thaleb pernah menulis bahwa, pikiran kita mempunyai tiga hal yang serba kabur (triplet of opacity). Pertama, ilusi pemahaman atau kecenderungan merasa dirinya mengetahui apa yang terjadi di dunia ternyata lebih rumit dari yang disadari. Kedua, distorsi retrospektif atau bagaimana kita menilai masalah sesudah fakta tersedia. Ketiga, valuasi berlebihan terhadap informasi faktual.

Ketiga unsur tersebut menjerumuskan kita kepada pola pikir keliru yang seolah-olah membuat kita mampu memahami dan meramalkan apa yang sedang terjadi dan akan terjadi di masa depan, atau biasa disebut sebagai bias kilas balik (hindsight bias) (hlm, 57). Berita (industri berita) kontemporer memberi sumbangan besar dalam menghadirkan bias kilas balik tersebut dengan penyajian beragam kejadian fakta pendek, yang seolah terlihat saling terkait dan kompleks, tapi sejatinya berkebalikan.

Berita dan Dunia Pembaca

Masih dengan alasan yang sama, menurut Dobelli, simplifikasi sebab-akibat dan titik-titik tak saling terhubung dari berita memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi pembaca, atau kalau boleh yang disebut kutu buku. Sejak koran muncul pertama kali pada abad ke-17, seperti Relation Furnemmen und gedenckwurdigen Historien di Strasbourg (1605) sebagai koran mingguan, atau Einkommende Zeitungen di Leipzig (1650) hingga beberapa dasawarsa kemudian, terdapat ratusan koran yang muncul untuk wilayah Eropa, berita di koran lantas bergeser menjadi bisnis.

Selain itu, ditambah lagi dewasa ini rambahan berita ke dunia internet yang menurut Dobelli membiasakan cara membaca sepintas, pemikiran yang terburu-buru, terbagi-bagi, pembelajaran dangkal, dan hal tersebut yang juga mengubah struktur otak pembacanya. “Saya akan selalu memperhatikan bahwa konsumen berita yang paling bersemangat—bahkan yang sebelumnya adalah kutu buku—tidak lagi memiliki kemampuan untuk membaca artikel yang lebih panjang atau buku. Setelah empat atau lima halaman, mereka merasa lelah, perhatian memudar, dan gelisah.” (hlm, 72).

Sebagai pembaca buku Stop Membaca Berita ini, saya merasa puas. Setidaknya buku ini bisa dijadikan refleksi dan pertahanan diri terhadap informasi-informasi yang tersebar di dunia maya. Saya mendapat secerca pencerahan untuk mengatur kapan dan saat kondisi seperti apa saya harus membaca berita serta berita-berita apa saja yang harus saya baca dan tinggalkan, karena memang Dobelli sendiri sedikit kurang konsisten terhadap karya yang satu ini. Pada bab-bab awal ia membuat pantangan secara radikal untuk total berhenti mengonsumsi berita, tetapi bab-bab berikutnya juga menyarankan membaca berita atau rangkuman berita mingguan maupun bulanan.

Fenomena berita hari ini jika menurut pada apa yang menjadi tujuan lahirnya buku ini, yaitu berhenti mengonsumsi berita bisa menjadi seperti Phaedrus dalam karyanya Plato. Dalam karya tersebut, cerita Thamus sang raja kota besar Mesir Hulu bercakap-cakap dengan Dewa Theuth si penemu tulisan. Theuth mengungkapkan bahwa penemuan tersebut merupakan pencapaian yang akan meningkatkan kearifan dan ingatan orang-orang Mesir. Tetapi Thamus membantah dengan sebaliknya bahwa, orang yang mempelajari tulisan akan berhenti mengandalkan ingatan dan berpaku pada tanda-tanda. Hal tersebut dianggap menyebabkan kebodohan, bukan kearifan.

Pandangan kedua tokoh legenda tersebut sama-sama ada baiknya. Thamus sangat berhati-hati terhadap penciptaan tulisan, dan Theuth telah menciptakan hal yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Intinya, kebijaksanaan dalam menilai dan menggunakan apa yang ada, termasuk berita, mungkin cocok ditinggalkan oleh orang-orang yang kecanduan berita. Jika hal tersebut sulit dilakukan, maka memilah berita mana yang penting dan tidak adalah keniscayaan.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahmad Kurnia Sidik

Penulis menjadi bagian dari telapaksimak.com.