Dialektika Filsafat dalam Kumparan Sejarah Islam

slider
slider
03 Maret 2020
|
1839

Judul: History of Philosophy in Islam | Penulis: T.J De Boer | Penerbit: Forum, 2019 | Tebal: xviii + 312 halaman | ISBN: 978-602-0753-07-2

Sejarah filsafat dalam Islam banyak mengalami problematika baik dari dalam tubuh umat Islam sendiri maupun dari luar. Filsafat yang berasal dari Yunani sudah barang tentu memunculkan penilaian, kecaman, bahkan penolakan dari sebagian kalangan Islam. Kecaman muncul lantaran filsafat dianggap sebagai ilmu yang mengarahkan manusia menjadi bersifat zindiq dan keluar dari agama (Islam). Kecaman dan penolakan ini tidak serta merta murni bersifat keilmuan lantaran juga terkandung muatan politis.

Filsafat dalam tubuh Islam dimulai ketika masa Daulah Abbasiyah yang diprakarsai oleh Khalifah al-Manshur (717-755 M), Harun ar-Rasyid (766-803 M), Khalifah al-Makmun (786-833 M). Para masanya masing-masing khalifah memerintahkan kepada para warraq agar supaya karya-karya dari para filosof Yunani seperti Plato, Aristoteles, Galen, dan lainnya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan ini menjadi titik awal filsafat masuk ke dalam tubuh umat muslim. Banyak penerjemah yang andal pada waktu itu, antara lain Abd al-Masih Abdullah Naiman al-Himsi, Abu Zaid Hunain bin Ishaq (809-873 M), Ishaq bin Hunain, Hubaisy bin al-Hasan, dan lainnya.

Dalam buku History of Philosophy in Islam (Sejarah Filsafat dalam Islam) T.J De Boer (1866-1942 M) menulis bagaimana sejarah filsafat dalam Islam yang menjadi bahan acuan kerangka filsafat Islam berdasar pada segi periodisasi waktu. Dalam buku ini juga menceritakan bagaimana problematika dan perpindahan dari pemikiran satu ke pemikiran yang lain para filosof. Buku ini pertama kali diterbitkan London Luzac pada 1903 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2019 penerbit Forum.

Sebagai seorang orientalis, De Boer menghabiskan banyak waktunya untuk mempelajari kesejarahan Islam khusunya filsafat dalam Islam, tentunya sangat piawai dalam membuat alur sejarah filsafat yang ada di dalam Islam itu. Terbukti dengan karyanya ini, ia menulis dialektika pemikiran dari Al-Kandi sampai Ibn Khaldun sebagai penutup era pemikiran dalam Islam. Buku ini tidak hanya menceritakan pemikiran dan problematika filsafat dalam Islam, tetapi juga menceritakan bagaimana agama ikut andil dalam membentuk pola pikir seorang filosof dan masyarakatnya sehingga muncullah hikmah yang menjadi ciri khas dari filsafat Islam.

Filsafat di dalam Islam kerap berhadapan dengan praktik agama atau spiritual. Namun, justru praktik keagamaan ini yang mempengaruhi pola pikir para filosof muslim dan bahkan tidak jarang praktik keagamaan ini yang memberikan inspirasi bagi mereka dalam menuliskan pemikiran-pemikirannya (hlm. 88). Berbeda dengan dunia Barat, agama dan hasil pemikiran filsafat yang muncul terkadang dipertentangan atau bertentangan satu sama lain. Kaum agamawan dan para filosof berbeda dasar dan cara pandang, seperti contoh Galileo Galilei yang dihukum mati oleh gereja, dan masih banyak lagi. Dalam Islam keduanya saling melengkapi satu sama lain dan bahkan para pemikir Islam menemukan teori-teori baru dari praktik keagamaan mereka sehari-hari.

Dialektika yang terjadi di dalam filsafat Islam terjadi antara filosof satu dengan yang lain bukan antara agamawan dengan filosof. Salah satu contoh kasus dialektika antara Imam al-Ghazali dengan Ibn Rusyd yang masing-masing menghasilkan buah karya besar, yakni Tahafut al-Falasifah dan Thahafut at-Tahafut yang sampai sekarang masih dapat kita baca dan pelajari.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali (w. 1111) berupaya membangun filsafat atas hikmah yang berorientasi pada agama. Al-Ghazali juga ‘menyerang’ filsafat yang telah dibangun di Timur dengan landasan secara filosofis. Upaya Al-Ghazali merupakan bentuk dialektika yang berusaha menjadikan doktrin-doktrin tentang iman bisa dipahami, atau bahkan memberikan landasan rasional atas doktrin-doktrin dalam agama. Tidak juga dinafikan, bahwa mistisisme dalam Islam yang menekankan pada kedalaman perasaan dan kepasrahan (hlm. 215) membawa angin segar bagi Al-Ghazali sebagai filosof Timur Islam di mana mistisisme ini sendiri tidak lepas dari tradisi Persia Islam.

Kritikan yang dilontarkan oleh Al-Ghazali terhadap filsafat tidak bisa lepas dari kerangkan filosofis, mengambil pemahaman dan penjelasan dari filsafat Barat, dan karena inilah Al-Ghazali dianggap sebagai ‘inovasi bid’ah’ oleh sebagian kalangan muslim di Barat. Sekalipun demikian, Al-Ghazali merupakan salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah Islam, karya-karyanya mempengaruhi banyak negeri Islam, termasuk perhatian pada bidang yang tadinya bercorak keilmuan, filsafat, dan sains ke tasawuf.

Seiring merebaknya tasawuf dalam dunia Timur Islam, muncul perhatian kembali di dunia Barat Islam, yakni di wilayah Magribi (Andalusia), Spanyol sekarang. Perhatian ini ingin membantah penilaian Al-Ghazali yang akhirnya dikatakan menyebabkan filsafat menjadi stagnan bahkan mati di dunia Timur Islam. Perhatian ini diprakarsai oleh Abu al-Walid bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (1126-1198). Di dunia Barat ia dikenal sebagai Avveroes.

Sebagai filosof juga ahli pada bidang fikih, Ibn Rusyd dapat dikatakan sosok yang membalikkan perhatian kembali pada filsafat Islam. Karyanya yang berjudul Tahafut at-Tahafut membantah apa yang sampaikan Al-Ghazali. Ia juga memotong tali keagamaan yang dibawa para filosof atau fuqaha dari dunia Timur. Ibn Rusyd menganggap bahwa agama yang dibawa atau diajarkan oleh para fuqaha Islam Timur tidak murni lagi, tetapi sudah dicampuradukan dengan mistisisme Persia, dan hal ini tidak seperti apa yang Nabi Saw ajarkan.

Selain memutuskan mata rantai filsafat Islam Ibn Sina dan penerusnya, Ibn Rusyd juga memberikan inovasi baru terhadap agama dan filsafat. Baginya, antara agama dan filsafat saling sejalan satu sama lain, justru karena keduanya tidak mencari hal yang sama. Keduanya dihubungkan pada praktik dan teori. Bagaimanapun, filsafat adalah bentuk kebenaran yang paling luhur, dan pada saat yang sama merupakan ‘agama’ yang paling sublim (hlm. 280).

Membaca buku History of Philosophy in Islam para pembaca diajak untuk menyelami kearifan filsafat di dalam Islam serta dialektika pemikiran dari satu filosof ke filosof lain. Dari membaca buku ini kita juga dapat membedakan paradigma berpikir antara orang-orang Timur dan Barat, yakni adanya kekuatan Ilahiah yang ikut campur dalam kerangka epistemologi Islam berupa hikmah. Buku ini layak menjadi referensi dalam kajian filsafat Islam.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam