Dewa Ruci (Simbol Perjalanan Mencari Hakikat Hidup)

06 April 2018
|
4518

Saya berjalan dari pertigaan dekat Pasar Demak, mengikuti petunjuk arah yang bertuliskan “Makam Kadilangu: 0,5 km”. Pada perjalan kembali ke Yogyakarta kali ini, saya menyempatkan diri untuk singgah di Kadilangu. Tujuan saya adalah berziarah ke makam Sunan Kalijaga, salah satu Walisongo yang berjasa menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Jalan utama pintu masuk menuju makam dipenuhi pedagang. Mulai dari penjual beraneka makanan, pakaian, hiasan, hingga barang-barang khas kota wali berjejer di sana. Saya teringat perkataan Ayah ketika dulu kami menyusuri jalan ini. “Para Wali itu, bahkan sesudah mereka meninggal, masih tetap memberikan manfaat bagi orang sekitarnya. Lihatlah, Nduk, berapa banyak pedagang dan pengemis yang menggantungkan hidupnya dari makam Sunan Kalijaga ini,” tutur Ayah.

Orang Jawa, terutama muslim, memang tidak bisa lepas dari cerita-cerita Walisongo. Teman saya dari Amerika yang belajar di Yogyakarta pernah berkata bahwa ideologi orang Jawa itu Walisongoisme. Pernyataan tersebut sepertinya tidak berlebihan karena jasa para wali-lah Islam berjaya di tanah Jawa. Apabila dirunut sejarahnya, Islam sebenarnya sudah masuk ke Nusantara pada abad ke-7, tetapi perkembangannya tidak begitu ke arah kemajuan. Islam baru dikenal secara masif pada abad ke-12 sampai abad ke-14 atau pada masa-masa kehadiran Walisongo. Maka, dapat dikatakan bahwa jasa terbesar mereka adalah “meng-Islam-kan” Pulau Jawa, termasuk Kota Demak.

Islam hadir di masyarakat Jawa sebagai agama baru setelah kepercayaan-kepercayaan lokal dan agama Hindu-Buddha tumbuh. Maka, Sunan Kalijaga memakai pendekatan kultural untuk menarik masyarakat, yakni melalui hal-hal yang disukai orang Jawa. Salah satunya lewat seni dengan media wayang dan tembang-tembang Jawa. Media semacam itu menumbuhkan pandangan di mata masyarakat Jawa bahwa Islam sebagai agama baru juga merangkul budaya mereka sehingga mereka tidak merasa asing dengan Islam. Karena itu, Sunan Kalijaga menjadi seorang dalang.

Sunan Kalijaga dan lakon Dewa Ruci

Dewa Ruci merupakan salah satu cerita yang dibabar oleh Sunan Kalijaga untuk menyampaikan ajaran agama Islam. Cerita ini mengisahkan perjalanan Raden Werkudara (Bima) dalam mencari Tirta Prawita Sari atau air suci. Resi Durna, gurunyalah yang memerintahkan.

“Anakku tercinta, air suci itu berada di tengah Hutan Tikbrasara. Di dalam hutan lebat itu terdapat Gunung Reksamuka. Air suci terletak di dalam gua gunung itu,” tutur Resi Durna kepada Bima.

Empat Pandawa lain sebagai saudara Bima menyangsikan perintah Resi Durna. Mereka mencurigainya sebagai siasat licik Kurawa untuk memusnahkan keluarganya. Namun, Bima sama sekali tidak mengindahkannya. Baginya, menaati perintah Sang Guru adalah tidak boleh tidak. Bima sendiri yakin bahwa ia tidak mungkin dapat dibunuh karena keinginannya suci, yaitu mencapai kesempurnaan hidup. Restu Sang Dewata pasti bersamanya.

Sesampainya di gua Gunung Reksamuka, Bima justru menemui dua raksasa, Rukmuka dan Rukmakala. Mereka pun bertarung. Bima mampu mengalahkan keduanya. Akan tetapi, ia kecewa karena tidak dapat menemukan air suci. Kemudian, ia kembali kepada gurunya untuk meminta petunjuk. Resi Durna terkaget-kaget melihat kedatangan Bima yang ia kira kalah melawan kedua raksasa itu.

“Wahai putraku yang sedang kuuji, kini terbukti bahwa engkau adalah muridku yang setia. Maka, kutunjukkan keberadaan air suci itu yang sebenarnya. Ia ada di tengah samudra, seberangilah dengan berjalan kaki,” titah Sang Guru.

Tanpa ragu, Bima mematuhi petunjuk gurunya. Di tengah samudra ia mencari-cari air suci. Namun, ia tetap tidak menemukannya. Ia justru diserang seekor naga. Tubuh Bima terlilit. Ia kemudian menancapkan kukunya dan naga itu pun mati. Ia kembali menang.

Bima bingung. Di manakah letak Tirta Prawita Sari? Dalam kebingungannya, ia bertemu dengan manusia yang sangat kecil. Ukurannya hanya sejari kelingking. Sosok manusia itu menyerupai dirinya. Ia adalah Dewa Ruci.

“Masuklah ke dalam diriku!” perintah Dewa Ruci.

Bima kebingungan mendengar perintah itu. Bagaimana bisa dirinya yang tinggi besar masuk ke dalam sosok Dewa Ruci yang kecil?

“Masuklah lewat telinga kiriku!” tutur Dewa Ruci.

Oleh Sunan Kalijaga, Bima diceritakan merasakan pengalaman mistis luar biasa ketika memasuki tubuh Dewa Ruci. Sunan Kalijaga membuat dialog antarkeduanya mirip dengan dialog Sunan Kalijaga ketika berguru dengan Nabi Khidir. Kisah Dewa Ruci tersebut sebenarnya merupakan bentuk penyampaian ajaran tasawuf Sunan Kalijaga kepada masyarakat berdasarkan pengalaman spiritual yang ia alami sendiri.

Simbol-simbol dalam cerita Dewa Ruci

Metode dakwah Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam adalah Tut Wuri Handayani dan Tut Wuri Hangiseni. Melalui adat budaya, beliau mengajarkan Islam sedikit demi sedikit kepada masyarakat. Maka, tidak mengherankan jika banyak simbol adat budaya dan cerita di Jawa yang mengandung ajaran Islam di dalamnya.

Cerita Dewa Ruci juga mengandung simbol-simbol. Setiap bagian cerita sarat dengan ajaran agama. Pencarian Bima atas Tirta Prawita Sari adalah simbolisme perjalanan mencari ilmu tentang inti kehidupan: awal dan akhir. Tirta bermakna air, prawita adalah permulaan, dan sari merupakan inti. Sementara air, dalam dunia tasawuf, merupakan simbol ilmu. Bima yang menjadi tokoh utama adalah simbolisme diri kita sendiri. Manusia yang sejatinya selalu mencari inti kehidupan.

Jalan yang ditempuh untuk mencapai hakikat (intisari atau dasar) disimbolkan oleh (hutan) Tikbra (rasa prihatin) sara (tajam), yaitu dengan mempertajam rasa: olah rasa. (Gunung) Reksa (memelihara) muka (wajah) menjadi lambang dari semadi: kesunyian.

Rukmuka (kamukten) dan Rukmakala (kamulyan) adalah simbol rintangan-rintangan yang menghadang pencari hakikat. Kamukten menjadi simbol kekayaan. Kamulyan simbol tingginya status sosial atau pencapaian spiritual seseorang. Sering kali, seorang pencari hakikat berhenti ketika mendapatkan keduanya. Naga adalah simbol hasrat dan ego. Rintangan-rintangan tersebut harus ditaklukkan.

Ketika halangan berhasil dilalui, Bima bertemu dengan Dewa Ruci dan masuk ke dalam tubuhnya. Sebelum Bima masuk, Dewa Ruci berkata bahwa air suci yang ia cari tidak ada. Hal itu bermakna bahwa sia-sia saja ia mencari hakikat di dunia atau sesuatu dari hal-hal yang tampak. Sementara ketika masuk dalam diri Dewa Ruci yang amat kecil, Bima justru merasakan pengalaman spiritual yang luar biasa. Hal itu merupakan simbol bahwa penemuan hakikat hidup ada di dalam diri. Dalam diri tercakup alam semesta yang luas. Dewa Ruci adalah perlambangan dari hakikat diri yang sejalan dengan pemahaman atas hakikat hidup. Dalam Serat Dewa Ruci tertulis:

“Ketahuilah bahwa asal-usulmu sama dengan dunia. Penglihatan dan pendengarannya sudah ada pada dirimu, yaitu penglihatan Suksma Sejati. Penglihatannya tidak dengan mata, pendengarannya tidak pada telinga. Maka, mata dan telinga yang tercipta telah ada pada dirimu.” (Dewa Ruci V: 5)

Suksma sejati adalah sangkan paraning dumani: asal dan akhir dari diri kita. Diri manusia adalah jagad kecil tempat jagad besar (alam semesta) tercakup di dalamnya. Maka, tidak layak jika ia mempunyai sandaran lain selain pada diri, selain Suksma Sejati. Manusia mandiri yang menemukan segala sesuatu pada dirinya, tidak akan menggantungkan kebahagiaannya pada hal lain di luar diri, seperti pangkat, kekayaan, atau kehormatan.

Barangkali begitulah Sunan Kalijaga mendidik masyarakat Jawa, yaitu melalui kisah-kisah yang dekat dengan mereka. Sunan Kalijaga menghindari cara-cara yang bertentangan dengan masyarakat. Itulah sebabnya, Islam mudah diterima pada saat itu karena Islam diajarkan dengan cara yang indah.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-27 Jumat, 06 April 2018/19 Rajab 1439 H


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Umi Khofsah