Demotivasi Manusia

slider
01 Juni 2022
|
1973

Judul: Kumpulan Kalimat DEMOTIVASI: Panduan Menjalani Hidup dengan Biasa-biasa Saja | Penulis: Syarif Maulana | Penerbit: Buruan & Co  | Tebal: 85 halaman | Cetakan: Ketiga, 2021 | ISBN: 978-623-90142-7-8

Kehidupan ini selalu berpasang-pasangan. Seperti halnya ada pria dan wanita, ada hitam namun juga ada putih, ada Yin ada juga Yang, pun ada motivasi yang juga perlu diimbangi dengan demotivasi. Namun akhir-akhir ini kita hanya berkutat pada motivasi saja, tanpa mau mempelajari atau mengamalkan demotivasi.

Syukurlah, Syarif Maulana yang juga merupakan Dosen dan pegiat filsafat di Kelas Isolasi mau menulis buku demotivasi dengan bahasa yang ringan, dan tentunya anti-mainsteam ketimbang buku-buku motivasi lainnya.

Sebelum masuk ke dalam tilikan atas buku demotivasi, dalam pengantarnya, ada semacam disclaimer supaya buku ini tidak dibaca bagi seseorang yang usianya di bawah 18 tahun.  Pertimbangannya, seseorang di usia itu masih membutuhkan bangunan dalam wujud harapan dan cita-cita. Juga tidak dianjurkan bagi seseorang yang usianya di atas 80 tahun. Alasanya karena hal tersebut bisa menurunkan gairah dan semangat hidupnya.

Nah, untuk pembahasannya, demotivasi adalah bentuk anti-tesis dari motivasi. Namun perlu digaris-bawahi bahwa demotivasi bukan untuk menyingkirkan atau menghancurkan motivasi. Bukan pula membuat hidup menjadi tidak bersemangat, putus asa atau malah tunduk pada keadaan. Buku demotivasi hadir untuk mengontrol motivasi-motivasi yang dirasa berlebihan dan terlalu manipulatif. Pun menjadi sangat penting di kala arus motivasi semakin menjadi-jadi dan melampaui kadar yang seharusnya dikonsumsi.

Hal di atas melalui pengantar buku ini, Dr. A. Setyo Wibowo menyebutnya sebagai istilah inflasi motivasi. Ia mencontohkan tentang fenomena Kerajaan Sunda Empire atau Keraton Agung Sejagad yang dicetuskan oleh Bapak Rangga. Banyak orang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan halusinasi dan utopia semata, namun menurut Dr. A. Setyo Wibowo, Bapak Rangga terkena gejala inflasi motivasi di era euforia demokrasi ini. Membuat kondisi psikisnya menjadi terganggu karena terlalu optimistik dengan berbagai statmentnya.

Memang, motivasi selalu dikemas dengan hal-hal yang cenderung berlebihan sehingga mengaburkan realitas yang ada. Walhasil kita tidak bisa mempunyai pikiran yang kritis, skeptis dan realistis dalam memandang banyak hal.

Lalu melalui bagian awal buku ini, Syarif Mualana mengibaratkan dengan merujuk pada Siddhartha Gautama selaku pendiri agama Buddha yang sejak awal difasilitasi dengan kemewahan yang begitu rupa, namun hanya boleh tinggal di istana saja. Kehidupan yang membuat Siddhartha merasa skeptis.

Pada akhirnya ia memilih untuk meninggalkan istana guna melihat realitas yang sesungguhnya. Singkatnya, setelah kepergian Siddharta, ia memperoleh kesimpulan bahwa kehidupan ini adalah penderitaan, kesementaraan, dan kefanaan yang bersumber dari kemelekatan manusia pada dunia.

Ketika manusia ingin bahagia, Siddhartha melalui ajaran Buddha menawarkan solusi bahwa manusia harus bisa lepas dari kemelekatan duniawinya, termasuk kaitannya dengan konteks motivasi. Manusia harus bisa melupakan pelbagai ambisi atau cita-cita dari motivasi-motivasi yang membuatnya menjadi menderita. Entah itu cita-cita dengan berpatokan sama seperti orang lain atau cita-cita yang tidak tepat bagi diri sendiri.

Pun ketika kita bisa melepaskan hal itu, dalam agama Buddha disebutnya sebagai istilah moksa. Untuk pengamalannya yakni dengan menjauhi perkataan dan sifat yang buruk, melakukan konsetrasi dan berkontemplasi.

Kutipan di dalam buku: “Kita seringkali bertindak terlalu sesuai rencana, dan lupa bahwa hidup dapat bergejolak sesuai selera. Jangan biarkan hidup kita ikut pada rencana. Biarkan rencana yang ikut dengan hidup kita” (hlm. 9).

Hiduplah di Hari Ini

Dalam berbagai literatur motivasi, kita selalu dijejali untuk selalu berpikir dengan orientasi ke masa depan. ‘Motivasi’ memang menghimbau kita agar selalu optimis dalam menyongsong masa depan yang katanya gemilang melalui pikiran-pikiran “positif”. Tetapi pada akhirnya hal itu juga yang membuat kita cemas sekaligus gelisah.

“Nalar kita menata, agar seolah-olah hidup berada dalam kepastian dan keteraturan. Padahal, batin kita senantiasa cemas, tentang kemungkinan perubahan tiba-tiba dalam hidup, yang belum tentu sanggup kita antisipasi” (hlm. 17).

Oleh karenannya, dalam buku demotivasi ini, cukup penting untuk hidup dengan melihat masa lalu. Karena hidup kita hari ini ditentukan bukan oleh masa depan, melainkan dari masa lalu.

Seperti waktu kecil dulu, kita dalam menjalani hari-hari selalu bahagia, gembira dan penuh tawa. Sama halnya pula ketika beberapa hari lalu kita bertemu dengan seseorang, baik yang kita sukai atau malah tidak kita sukai. Namun percayalah, itulah yang membuat kita bisa bertahan sampai saat ini.

Lebih lanjut Syarif Maulana menekankan: “Hiduplah untuk hari ini, demi masa lalu yang gemilang agar pada saat kita tidak antusias lagi menyongsong masa depan, kita punya hari-hari yang lampau untuk menghangatkan hati kita di waktu-waktu yang dingin” (hlm. 43).

Ketika doktrin dan dogma masa depan selalu menghantam, saya teringat Pidi Baiq (penulis Novel Dilan) yang pernah mengatakan, “Jangan-jangan masa depan tidak akan aku jejaki, yang kenyataannya aku hidup di hari ini yang harus lebih baik daripada hari kemarin.” Kalimat ini sangat masuk akal dan masuk rasa sekali.

Daripada hanya sibuk pada masa depan, alih-alih kita dibuat cemas olehnya, lebih baik kita mengevaluasi hari kemarin melalui hari ini. Karena niscaya ketika kita melakukannya, masa depan sudah pasti akan mengikuti. Bukan malah sebaliknya yang hanya sibuk memikirkan masa depan hingga kita tidak menikmati hari ini.

Hidup tidak usah terlalu direncanakan. Lalui hari-hari bersama orang-orang yang ada dengan kita, baik yang sengaja ditemui maupun kita temui secara tiba-tiba. Karena dari situlah yang akan membentuk karakter dan identitas kita. 

Di sisi lain, memiliki waktu luang adalah bekal yang cukup penting bagi kita. Dari situ kita bisa memiliki banyak ruang untuk berpikir dengan jernih dalam melihat realitas. Kutipan di buku: “Perbanyak waktu luang. Tidak ada pikiran besar yang lahir dari kesibukan” (hlm. 53).

Saya rasa ketika Karl Marx adalah seorang buruh di pabrik pada masanya, ia tidak akan memiliki gagasan ihwal marxsisme dan anak turunnya. Atau ketika Raden Shaleh adalah seorang saudagar yang sibuk dengan dagangannya, saya kira beliau tidak akan melahirkan lukisan yang dikenal oleh dunia.

Namun kutipan di atas, tentunya membuat para motivator tidak sepakat dan memilih untuk mengajak semua orang untuk berkerja keras karena, hidup sukses melulu diukur dengan kekayaan. Padahal banyak di luar sana yang bisa sukses berbahagia dengan cara hidup yang santai, ikhlas, diserai tanggung jawab.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Khoirul Atfifudin

Peserta kelas menulis menemui senja di MJS Jilid #5