Cara Menjawab Pertanyaan Iman Anak-Anak

slider
23 Juni 2021
|
1844

Judul : Dialog Iman | Penulis : Dewi Lestari, dkk | Penerbit : Maskana Media | Cetakan : I, Maret 2021 | Tebal : 194 halaman | ISBN : 978-623-90542-4-3

Iman dan segala seluk-beluk tentangnya adalah urusan yang tak kasat mata sehingga menjaganya bukanlah hal yang mudah. Sebab, hal yang dapat dilihat lebih mudah dipercaya daripada hal yang tidak terlihat. Apalagi jika harus menjelaskannya kepada anak-anak, seolah sedang membuka pintu dengan kunci yang salah dan dalam kondisi gelap gulita. Dunia anak masih belum seluas orang dewasa, sehingga menjelaskan perintah Tuhan; larangan-Nya; Keagungan-Nya; dan Kemahakuasaan-Nya menjadi sedikit lebih kompleks. Bagi anak-anak, bermain lebih disukai daripada hal-hal lain, karena bermain itu menyenangkan, sedangkan patuh itu membosankan.

Pada dasarnya tak ada masalah yang tanpa solusi, termasuk masalah penanaman iman sejak dini. Di bulan Januari lalu, penerbit Maskana Media mengadakan lomba penulisan sharing pengalaman parenting dengan tema “Dialog Iman, How to Talk to Kids about Allah” dengan hadiah uang tunai dan pesertanya tidak dipungut biaya sedikit pun. Bahkan mendapatkan buku full colour secara cuma-cuma bagi penulis terpilih yang tidak menjadi juara. Lebih dari 400 naskah yang diikutkan dalam lomba tersebut, lalu dipilih 50 naskah terbaik yang akan dibukukan sekaligus 10 juara dari naskah terbaik untuk mendapatkan hadiah uang tunai.

Tepat pada Maret 2021, lima puluh naskah terbaik itu diterbitkan dengan judul Dialog Iman, Menumbuhkan Iman Ananda sejak Belia. Buku ini menjadi penawar atas kebingungan menjelaskan masalah keimanan anak-anak. Sebuah buku yang berisi dialog-dialog singkat nan padat tentang pengalaman para orang tua dengan putra-putrinya ketika membicarakan masalah tauhid, rasa syukur, ibadah, tata krama hingga masalah takdir. Karena berdasarkan pengalaman nyata, dialog-dialog yang dihadirkan terasa lebih dekat. Konteksnya yang tidak jauh dari kegiatan sehari-hari membuatnya lebih mudah diterima dengan hati dan dicerna dengan pikiran. Ditambah lagi, sajian buku yang full colour menambah kesan menyenangkan bagi anak-anak ketika membacanya. Orang tua membacakan ceritanya, sedangkan si anak mendengarkan sembari melihat ilustrasi dari setiap cerita.

Mengenalkan Tuhan dengan Cara Menyenangkan

Cara mudah mengenalkan seseorang adalah menunjukkan pekerjaannya sebelum memberitahu namanya, termasuk mengenalkan pemilik semesta kepada anak-anak. Hal seperti ini telah disampaikan oleh Dewi Lestari dalam tulisannya yang berjudul Bukan Karena Hebat (hlm. 3). Dewi Lestari mengenalkan Allah kepada anaknya dengan cara menunjukkan Af’al-Nya terlebih dahulu. Ketika si anak dengan bangga memuji kehebatan ayahnya saat menyetir, Dewi Lestari memancing keimanan anaknya dengan mengajukan pembanding yang berupa tragedi pesawat yang jatuh meskipun pilotnya sudah sangat berpengalaman dan sudah mendapatkan izin terbang. Rupanya, pembanding yang diajukan Dewi Lestari berhasil memancing keingintahuan anaknya tentang penyebab pesawat jatuh meskipun telah dikendalikan oleh pilot yang hebat. Pada bagian inilah Dewi Lestari mulai mengenalkan keimanan kepada anaknya lewat jawaban bahwa, “Yang membuat kita selamat saat naik motor, mobil, kereta, sepeda, pesawat, kapal laut, atau kendaraan lain adalah pertolongan Allah. Allah yang telah membuat kendaraan itu dapat berjalan dengan baik sehingga kendaraan itu memberi keselamatan untuk kita. Makanya, kita kalau mau naik kendaraan baca doa dulu, kan?” (hlm. 4)

Ada juga yang mengenalkan Tuhan dengan cara menganalogikannya terlebih dahulu dengan benda-benda di sekitarnya, seperti yang dilakukan oleh Umma Arinda kepada anaknya dalam tulisannya yang berjudul Allah itu Apa? (hlm. 9). Dengan polosnya, si anak bertanya tentang Allah itu apa? Setelah mendapatkan jawaban bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan orang tuanya, langit, bumi, dan semua makhluk hidup, si anak kembali bertanya: lalu Allah-nya mana? Pertanyaan kompleks semacam inilah yang terkadang membuat orang tua mengalami kesulitan untuk menjelaskan. Namun, Ummi Arinda berhasil menemui jawaban yang manis dan logis untuk putrinya. Seperti dalam kutipan percakapan di bawah ini.

“Anginnya kelihatan ngga? Tadi Arrin rasain ada angin ke wajah Arrin ngga?” tanya Ummi Arinda pada putrinya

“Iya, Arrin ngerasain, Mi,” jawab sang putri.

“Anginnya terasa, ya Kak. Tapi ngga kelihatan ya sama kita? Sekarang kita belum bisa lihat Allah, tapi nanti di surga kita bisa bertemu dan lihat Allah. Kalau sekarang, kita itu bisa merasakan keberadaan Allah dengan melihat beragam ciptaan Allah.” (hlm. 9-10)

Mencari Kebijaksanaan dari Sebuah Ujian

Urusan keimanan tak hanya menyangkut tentang Dzat Pemilik Semesta, tetapi juga berkaitan dengan kebijaksanaan di dalam segala kehendak-Nya. Masalahnya, kehendak Tuhan tak melulu tentang anugerah, tetapi sesekali juga menurunkan sebuah musibah. Sebut saja seperti gempa di Sulawesi, banjir di Kalimantan, gempa di Lumajang baru-baru ini, dan wabah Corona yang tak kunjung reda. Melihat kebijaksanaan dalam kebaikan memang sudah seyogianya, tetapi mampukah manusia melihat kebaikan dari sebuah musibah? Masalah seperti ini pernah dialami oleh Indah Permata Sari ketika si anak mulai mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan dalam sebuah ujian. Beruntungnya, Indah Permata Sari memiliki jawaban yang rasional untuk menjawab keraguan si anak sebagaimana dialog di bawah ini.

“Iya Kak, sedih ya. Mereka kehilangan rumah, ga bisa sekolah, ga tau juga hari ini sudah makan atau belum,” kata Indah Permata Sari pada anaknya.

“Kenapa bisa gempa, Bun?” tanya si anak.

“Karena kuasa Allah, Kak, bisa jadi ini ujian dari Allah, biar kita yakin Allah Maha Besar.”

“Tapi kan kasian itu ya anak-anaknya, Bunda?”

“Ya bisa jadi ini juga ujian buat kita, buat memastikan kita mau saling menolong atau tidak. Kakak mau menyumbang?” (hlm. 61-62)

Indah Permata Sari mampu menjelaskan dengan baik bahwa terkadang ujian diadakan untuk mencongkel sifat kemanusiaan. Musibah sebagai ujian tidak hanya ditujukan kepada mereka yang tertimpa, tetapi juga mereka yang tidak terkena. Mampukah mereka yang tidak terkena musibah menunjukkan rasa kepeduliannya terhadap sesama manusia?

Selain lewat musibah, Kebijaksanaan Tuhan juga harus diimani lewat sebuah kekurangan. Pada umumnya kesempurnaan akan dibanggakan, sementara kekurangan cenderung dihinakan. Padahal, baik kekurangan maupun kesempurnaan adalah kebijaksanaan Tuhan. Hal ini diceritakan dengan indah oleh Pritha Khalida dalam tulisannya Kenapa Allah Ciptakan Orang Cacat? (hlm. 138). Suatu waktu, si anak bertanya kepada Pritha Khalida tentang mengapa Allah menciptakan orang cacat, padahal katanya Allah Maha Sempurna?

“Cacat yang kamu maksud itu gimana?”, tanya Pritha kepada anaknya.

“Ya misalnya kaya matanya buta, kakinya pincang, gak bisa ngomong dengan jelas macem ABK,” ungkap anaknya.

“Cacat? Itu kata kamu, karena membandingkan dengan orang pada umumnya. Tapi sebetulnya Allah menciptakan mereka dengan sempurna, kok. Ingat kan bahwa Allah Maha Sempurna? Mana mungkin Allah melakukan kesalahan dalam mencipta?” (hlm, 138)

Pritha Khalida juga menambahkan bahwa Imam Bukhari (seorang ulama hadis terkemuka) pernah buta di waktu masih kecil. Namun, pada waktu-waktu selanjutnya, ia mampu menghafalkan banyak hadis. Artinya, Imam Bukhari akan tampak cacat jika dibandingkan dengan orang-orang yang tidak buta. Namun, ketika melihat kemampuan hafalan hadisnya, maka orang-orang yang tidak buta sekalipun jauh kalah mulia dengan Imam Bukhari.

Sebagai pungkasan, dari semua cerita-cerita orang tua yang menjelaskan ihwal keimanan kepada anak-anaknya, memang terbilang rumit. Namun, dengan kesabaran dan perenungan yang dalam, kerumitan itu akan terurai dengan rapi sebagaimana fitrah anak-anak yang terlahir dalam keadaan suci, dan serba ingin tahu tentang banyak hal yang mesti mendapatkan jawaban yang bijak.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Akhmad Idris

“Menulis adalah mengukir nama di dunia yang sudah lama fana”. Penulis buku Wasiat Nabi Khidir Untuk Rakyat Indonesia (2020)