Canda Tawa Pak Faiz: Ilmu Kok Dituntut!
Siapa saja yang rutin mengikuti pengajian Pak Faiz, tentu hapal ciri khas beliau dalam membabar ilmu, yaitu menyelingi pembabaran dengan canda tawa yang sebenarnya sangat bernas, tetapi disampaikan secara santuy. Salah satu candaan yang sering terkenang dalam benak saya adalah kritik beliau terhadap terjemahan populer frasa tholabul ‘ilmi.
Biasanya, ungkapan Arab yang akrab di kalangan santri ini diterjemahkan menjadi "menuntut ilmu". “Lha, ilmu itu salahnya apa? Kok sampai dituntut segala”, demikian pertanyaan Pak Faiz yang segera mengundang tawa jamaah pengajian.
Selain mengundang tawa, pertanyaan kritis tersebut bagi saya juga mengundang rasa penasaran. Penasaran banget. Mengapa ungkapan tholabul ‘ilmi diterjemahkan menjadi "menuntut ilmu"? Apa efek psikologisnya? Adakah terjemahan lain yang lebih tepat?
Demi menjawab rasa penasaran, saya membuka-buka teks keagamaan yang mengandung ungkapan tholabul ‘ilmi. Saya juga membolak-balik halaman kamus untuk mencari arti dasar dari ungkapan tersebut.
Ungkapan tholabul ‘ilmi dijumpai dalam hadis terkenal yang dikutip Syaikh al-Zarnujy dalam kitab Ta’lim Muta’allim. Redaksi hadis itu tentu kita sama tahu dan sama ingat, yaitu tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin (‘Menuntut ilmu’ wajib hukumnya bagi tiap muslim dan muslimah). Kata "menuntut" adalah terjemahan dari kata tholab.
Setelah membolak-balik halaman kamus, saya menemukan bahwa arti kata tholab bukan hanya "menuntut". Tholab juga berarti "mencari" dan "meminta". Menuntut, meminta, dan mencari merupakan tiga kata yang maknanya terpisah oleh jarak semantik yang cukup jauh.
Ketika Anda “menuntut” saya, Anda berpikir bahwa saya harus bertanggung jawab atas kesalahan saya kepada Anda walaupun belum tentu saya benar-benar telah melakukan kesalahan tersebut. Dalam penuntutan, ada pihak yang dianggap bersalah. Ada pihak yang harus bertanggung jawab. Lha, ilmu itu salahnya apa? Kok kita tega menuntut si ilmu padahal dia tidak pernah menganiaya kita, melukai hati kita, atau pun menyakiti kita. Ilmu tidak zalim. Tapi, kenapa dituntut?
Ketika saya “meminta” Anda untuk memaafkan saya, saya sadar bahwa saya sangat membutuhkan apa yang saya minta, yaitu permaafan. Sebagai pihak yang meminta maaf, posisi saya di bawah. Sebagai pihak yang dimintai maaf, posisi Anda di atas. Jika posisi dibalik atau pun terbalik, artinya saya sesungguhnya tidak “meminta” maaf, tetapi “memaksa” Anda untuk memaafkan saya.
Ketika saya “mencari” bukti-bukti empiris bahwa Anda mencintai saya, tentu saya tidak bersikap pasif. Saya tak menunggu isyarat dari langit bahwa saya memang mencintai Anda.
Dengan begitu jeli dan teliti, dengan penuh ketekunan dan ketelatenan, saya akan bergerak aktif mengamati Anda baik dari jarak jauh, jarak sedang, maupun jarak dekat. Saya cermati polah tingkah, kata-kata, suara, tatapan mata, dan sinar wajah Anda. Dari teman-teman Anda, saya kumpulkan dan gali informasi selengkap-lengkapnya tentang penilaian Anda terhadap saya. Akhirnya, berdasarkan data-data yang telah dihimpun, saya menarik kesimpulan apakah Anda mencintai saya atau tidak.
Demikian ilustrasi jarak semantik yang terbentang di antara kata menuntut, meminta, dan mencari. Lalu, kata tholab dalam ungkapan tholabul ‘ilmi lebih tepat kita terjemahkan dengan kata apa? Meskipun sudah familiar, kata menuntut jelas tidak tepat. Kata meminta sebenarnya agak mengena, tetapi janggal dan ganjil. Ungkapan meminta ilmu, sebagai terjemahan dari tholabul ‘ilmi, terdengar aneh di telinga. Maka, kata yang tepat adalah mencari. Bukankah frasa mencari ilmu tidak asing bagi kita?
Dengan terjemahan seperti ini, makna hadis Nabi di atas akan menjadi lebih konkret. Juga lebih menggerakkan. Di antara dua kalimat ini, yaitu menuntut ilmu wajib hukumnya bagi muslim dan muslimah dan mencari ilmu wajib hukumnya bagi muslim dan muslimah, mana kalimat yang lebih menggerakkan dan maknanya lebih konkret?
Saat mendengar istilah mencari ilmu, seketika langsung tergambar dalam benak kita bahwa ilmu adalah sesuatu yang hilang dan sesuatu itu tentu berharga. Sebab, kalau tak berharga, buat apa dicari? Tergambar pula adanya upaya aktif untuk mencari. Terus-menerus mencari tanpa kenal lelah dan kapok. Terus-menerus mencari hingga barang berharga yang hilang ditemukan kembali. Mencari tidak mungkin dilakukan secara pasif dan malas-malasan.
Eh, apakah sikap pasif dan malas-malasan dalam belajar merupakan efek samping dari diterjemahkannya tholabul ‘ilmi menjadi ‘menuntut ilmu’? Entahlah. Tapi, menurut bapak dan ibu guru, kepasifan dan kemalasan belajar disebabkan berbagai faktor yang berjalin rumit.
Belajar dari kasus tholabul ‘ilmi, kita tahu bahwa menerjemahkan bukan kerja intelektual yang mudah. Untuk mencari padanan kata yang tepat dan bisa memberikan efek psikologis yang tepat pula, kita harus jungkir balik menimbang-nimbang berbagai konteks semantik kata yang diterjemahkan dan berbagai opsi arti kata itu. Bila keliru memilih padanan kata, maka kata yang diterjemahkan akan kehilangan makna esensialnya, akan memunculkan efek psikologis yang negatif, bahkan akan menimbulkan kesalahpahaman dan memantik konflik.
Kita belum lupa bahwa gonjang-ganjing Pilkada Jakarta beberapa tahun lalu, yang nyaris menggelincirkan bangsa suka damai ini ke jurang perang saudara, berkaitan dengan penerjamahan kata auliya’ dalam surah Al-Maidah ayat 51. Mengikuti terjemahan Al-Qur'an versi Departemen Agama, saat itu secara populer kata auliya’ diterjemahkan menjadi "pemimpin-pemimpin".
Berpijak pada terjemahan ini, ditarik kesimpulan bahwa dalam surah Al-Maidah ayat 51 melarang umat Islam memilih figur nonmuslim sebagai pemimpin mereka. Apakah arti auliya’ yang paling tepat adalah "pemimpin-pemimpin"?
Saya tidak berani dan tidak berwenang menjawabnya. Hal itu adalah wilayah keilmuan ahli tafsir al-Quran dan ahli semantik bahasa Arab. Saya tidak ingin berakting sebagai ahli ini atau ahli itu. Sebab, saya takut menjadi ahli dusta yang batinnya menderita, kemudian setelah mati menjadi ahli kubur yang tambah menderita.
Kalau batin sudah sedemikian menderita, bagaimana mungkin saya bisa tertawa lepas mendengar guyonan-guyonan bernas yang diselipkan Pak Faiz dalam pengajiannya? Betapa hambarnya mengaji, apalagi mengaji filsafat, tanpa diwarnai canda tawa.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST