Cak Dalijo, Nishfu SyaÔÇÖban dan Tradisi di Kampung
22 April 2018
|
1011
Di kampung saya, datangnya bulan SyaÔÇÖban jadi berkah tersendiri bagi para tukang pijit tradisional. Iya, bulan SyaÔÇÖban seolah jadi semacam bulan sibuknya tukang pijit/urut. Sebabnya, dari yang remaja hingga yang tua, saban bulan SyaÔÇÖban banyak dari mereka yang minta dipijit. Bisa dibayangkan sibuknya si tukang pijit. Padahal biasanya dalam bulan-bulan sebelumnya ia hanya terima order dua sampai lima orang. Tapi giliran tiba bulan SyaÔÇÖban banyak orang yang minta jasanya. ÔÇ£Adduh... cak, sudah kram tangan saya iniÔÇØ, kata Cak Dalijo, sebut saja begitu kepada saya ketika itu. Banyaknya warga di kampung saya itu yang ingin minta dipijit secara tradisional, bukan lantaran karena terkilir, keseleo atau sakit pinggang, tapi untuk menyegarkan badan dalam rangka menyambut bulan Ramadan yang akan segara datang. Mereka minta dipijit supaya pas waktu puasa di bulan Ramadan, badan tetap fit, bugar, meski ke sawah, ke kebun, ke tambak harus terus mereka jalani. Tapi itu cerita dulu, sekarang tak lagi demikian. Ya, meskipun tetap ada yang minta dipijit, tapi lantaran karena badan kecapaian, letih setelah bekerja keras banting tulang, bukan karena alasan yang lain. Di bulan SyaÔÇÖban ini juga, di kampung saya sana yang tidak jauh dari Jembatan Suramadu, berlangsung pembacaan Surat Yaasin sebanyak tiga kali persis pada malam pertengahan bulan SyaÔÇÖban atau yang dikenal dengan malam Nishfu SyaÔÇÖban. Nishfu (bahasa Arab) itu yang berarti separuh atau pertengahan, SyaÔÇÖban atau dalam istilah bulan Jawa disebut Ruwah, adalah nama bulan ke-8 dalam kalender Hijriah. Pembacaan Surat Yaasin sebanyak tiga kali, dengan niat ikhlas seorang hamba tujuannya adalah bermohon kepada Allah agar supaya dipanjangkan umur, mohon rizki yang banyak lagi halal, mohon dikokohkan iman serta husnul khatimah bila mati nanti. Dan teriring doa Nishfu SyaÔÇÖban: ÔÇ£Allaahhumma yaa dzal manni walaa yumannu ÔÇÿalaihhi yaadzal jalaali wal ikraam....ÔÇØ, mudah-mudahan apa yang buruk-buruk dari laku kita selama setahun lalu, terhapus. Tidak selesai sampai disitu. Pasca pembacaan Surat Yaasin sebanyak tiga kali itu, masih dilanjutkan dengan acara makan bersama dari sebelumnya para jamaah membawa makanan dari rumah masing-masing untuk nanti dimakan bersama di masjid/mushola/langgar, tempat acara berlangsung. Nasi putih beserta sayur, lauk-pauknya semuanya dimasak, dan bukan dari yang kalengan atau yang instan-instan. Jadi rasanya lebih nikmat, apalagi kalau sayurnya itu sudah dicampur dengan sayur yang macam-macam: mak nyuz pokoknya. Tradisi yang berlangsung pada malam Nishfu SyaÔÇÖban selain sebagai ucap syukur, lantunan doa dan kebersamaan sebagai jamaah, juga menjadi ruang bersama untuk saling ingat-mengingatkan serta ajang untuk saling bermaaf-maafan sebagai bagian dari bersih-bersih diri menjelang datangnya bulan Ramadan. Makanya setiap kali datang malam Nishfu SyaÔÇÖban, ingatan saya kembali ke kampung halaman. Rindu dengan itu semua. Dari dua cerita di atas, ada memang pergeseran yang terjadi. Kalau saya perhatikan, sekarang hampir semua warga di kampung saya sudah punya televisi. Kita tahu, hari-harinya televisi penuh dengan beragam acara, iklan dan segudang tayangan yang mengajak lagi menghibur sepanjang 24 Jam. Bayangkan! Apalagi menjelang Ramadan tiba, biasanya justru lebih marak menayangkan iklan makanan. Hitung-hitung sebagai rujukan nanti untuk menu buka dan sahur. Sebagian besar warga di kampung saya itu pun lebih tertarik untuk menyaksikan beragam program kuliner, ketimbang mereparasi tubuh/badan dengan cara pijit tradisional seperti dulu. Rupa-rupanya sebagian warga di kampung saya itu tak lagi mempersiapkan diri menjelang Ramadan dengan memulihkan kondisi tubuh/badan dengan pijit tradisional. Alih-alih untuk menjaga kesehatan supaya tubuh tetap prima, malah yang menjadi pokok soal menu makanan apa yang di bulan puasa nanti akan disajikan. Itulah sebabnya kenapa omzet tukang pijit, termasuk Cak Dalijo, di kampung saya sekarang, persis di bulan SyaÔÇÖban ini, tidak melambung drastis seperti dulu. Saya pun jadi tak habis pikir, Ramadan belum datang, tapi iklan selamat berbuka puasa sudah berseliweran di televisi, ramai betul. Ajaib memang televisi itu ya. Memang sudah menjadi tanda tersendiri, kalau televisi sudah ramai menayangkan iklan soal makanan, sajian menu yang cocok buat buka sahur puasa, pakaian islami dan lebih-lebih sinetron kejar tayang yang membidik momentum Ramadan, itu tandanya Ramadan sebentar lagi datang. Seolah tabung kaca yang dapat mengeluarkan gambar dan suara, itu lebih dahulu mengabarkan kepada kita dibandingkan penampakan hilal. Hari-hari menjelang datangnya Ramadan sudah terlanjut dikemas menjadi ajang promosi tayangan hiburan televisi dibandingkan dengan bagaimana mempersiapkan diri menyambut Ramadan yang suci dengan bersih-bersih diri. Jangan sampai tiba Ramadan nanti, puasa tak ubahnya hanyalah mengubah menu (ÔÇÿjadwalÔÇÖ kalau kata Gus Mus) makan! Lalu apa yang dipersiapkan menjelang datanganya bulan Ramadan di bulan SyaÔÇÖban ini sebetulnya?
Category : kolom
SHARE THIS POST