Buku, Penghancuran Buku, dan Politik
Judul: Rumah Kertas | Penulis: Carlos Maria Dominguez | Penerjemah: Ronny Agustinus | Penerbit: Marjin Kiri, 2018 | Tebal: vi + 76 halaman | ISBN: 978-979-1260-62-6
Pada taraf tertentu, kita sebagai pelajar mungkin memiliki keinginan dan ambisi yang sangat kuat untuk bisa mengoleksi buku-buku berkualitas tinggi, dengan harga terjangkau, serta bisa memiliki waktu panjang buat membaca buku. Menghabiskan waktu seharian dan semalaman penuh untuk membaca buku, dengan keyakinan bahwa membaca buku bisa “mengubah takdir”.
“Buku mengubah takdir hidup orang-orang. Ada yang membaca kisah petualang Sandokan, Bajak Laut dari Malaysia, dan memutuskan menjadi profesor sastra di universitas-universitas terpencil” adalah kalimat dari alenia kedua pembukaan novel Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez. Ditulis oleh seorang pengarang dari Buenos Aires, Argentina yang saat ini tinggal di Mantevideo, Uruguay.
Tersirat pula bahwa buku bisa berdigdaya mengonstruksi budaya, agama, ras, dan suku manusia, tanpa mendiskriminatifkan pembacanya. Buku memang sebentuk modernitas di tengah kuasa tradis berlisan yang terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Rumah Kertas adalah buku sangat tipis, isinya padat dan agak absurd. Ketika dibaca sangat mengena pengalaman hidup orang-orang pecinta, kolektor, dan kutu buku. Dalam buku ini, Carlos membentangkan cerita tentang seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, bernama Bluma Lennon yang tewas ditabrak mobil ketika membeli satu eksemplar buku lawas berjudul Poems karya Emily Dickinson.
Kematian Bluma menjadi perdebatan dikalangan rekan-rekan sejawatnya. Ada yang menyatakan bahwa Bluma tewas gara-gara buku, dan yang menyatakan Bluma tewas gara-gara mobil, bukan gara-gara puisi (hlm. 03).
Di tengah perdebatan itu, rekannya juga mendapati sebuah buku aneh yang dikirim ke alamat tanpa sempat diterima dan dibaca Bluma. Sebuah buku terjembahan dari The Shadow-Line berbahasa spanyol berjudul La Linea de Sombra karya Joseph Conrad, yang dikirim dengan cap pos Uruguay (hlm. 04). Carlos semacam ingin menarik pembaca ke dalam peristiwa penyelidikan kehidupan buku yang penuh misteri.
Bukan hanya menarik, tetapi Carlos juga berusaha membentangkan kisah-kisah dengan beragam keunikan dan kegilaan yang mungkin jarang orang ketahui. Carlos melacak kisah fiksi dan non-fiksi: bagi para pecinta buku yang mengugah, cair dan mengasyikkan, penuh kevitalan sosial dan persahabatan.
Kisah panjang Carlos dalam buku ini, digerakkan sebagai sebuah motif atas kehidupan anak manusia terhadap buku yang selalu dianggap lebih berharga daripada barang-barang berharga. Lintasan Carlos menuliskan, “Kita lebih suka kehilangan cincin, arloji, payung, ketimbang buku yang halaman-halamannya takkan pernah bisa kita baca lagi, namun yang tetap terkenang, seperti bunyi judulnya, sebagai emosi yang jauh dan lama rindu.” (hlm. 10).
Kita yakin setiap penulis buku tidak diskriminatif menentukan siapa yang berhak membaca buku yang beredar. Kerja-kerja intelektual dalam buku sering menempatkan buku pada halaman-halaman dengan imajinasi melampui alam kesadaran kita. Buku menjadi semacam keajaiban untuk bersuara di tengah kesunyian.
Carlos menyisipkan bentangkan kisah untuk kita dijalajahi. Karya ini bukan hanya karya fiksi biasa, tetapi Carlos mengolah cerita, dari inter-teks ke dunia nyata. Hingga bangunan kisah yang terpahat dalam ingatan pembaca. Carlos dengan apik mengisahkan bagaimana kehidupan Brauer berbuku dengan buku-buku klasik yang memenuhi setiap sudut rumahnya.
Dalam pengembaraannya, mengambarkan “kebiasaanya makan permen menggantikan kebiasaannya merokok, yang sudah dilarang oleh dokter dan sama giat seperti nafsunya pada buku-buku, yang ia simpan di rak buku besar-besar yang memenuhi kamar-kamarnya dari lantai sampai ke plafon, dari ujung ke ujung; buku-buku juga bertumpukan di dapur, kamar mandi, dan kamar tidurnya juga. Bukan kamar tidurnya yang asli, karena ia sudah terpaksa pindah dari sana, tapi kamar tidurnya di loteng tempat ia mengungsi, di samping kamar mandi kecil lainnya.” (hlm 29).
Carlos memunculkan kisah orang-orang pecinta, kolektor, dan kutu buku untuk disingkap pembaca, bahwa buku adalah teman paling sejati sepanjang zaman. Carlos menuliskan, “... Mereka masih terus menemaniku. Memberiku perlindungan. Keteduhan di musim panas. Membentangiku dari angin. Buku-buku adalah rumahku. Tak seorang pun bisa menyangkal itu, seumuran apa pun hasilnya, dan betapa hubungannya yang akrab dengan aspek-aspek paling pelik dari buku-buku telah berakhir dengan terdampar di pantai sepi terpencil ini”. (hlm. 54).
Narasi Carlos dalam buku ini sebagai laporan bagi seorang pecinta buku, betapa sulitnya membayangkan buku yang dipinjam tidak dikembalikan dan koleksi buku-buku sedari kecil terbakar dan bahkan di makan rayap.
Berbeda Fernando Baez dalam karyanya berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2013). Baez menarasikan dan merekam bagaimana suatu perabadan dihancurkan melalui pembakaran buku dan perusakan museum-museum. Baez merekam jejak-jejak masa lalu tentang penghancuran dan pembakaran buku yang sudah dilakukan anak manusia sejak zaman kuno hingga abad ke-20 yang kita dikenal sebagai abad medernisme bahkan hingga saat ini.
Bagi Baez, buku dan perpustakaan adalah serangan melawan impunitas, melawan dogmatisme, melawan manipulasi, melawan disinformasi, dan itu sebebnya buku-buku telah merecoki penguasa sampai pada akhirnya meluncurkan serangga penghancuran buku-buku dan tak bisa diakses. Buku bagi sebagian orang termasuk penguasa masih dianggap sebagai suatu hambatan yang bisa merusak tatanan penguasa. Baez, menuliskan, “Para penindas dan fasis takut akan buku karena buku adalah parit-parit ingatan, dan ingatan adalah dasar bagi perjuangan keadilan dan demokrasi”. (hlm. viii).
Senada dengan Baez, Franz Magnis-Suseno sangat mengutuk orang-orang telah menghancurkan dan membakar buku-buku sejak kediktotaran orde baru hingga saat ini. Bagi Romo Magnis, kebebasan mencari dan memeroleh informasi bukan hanya sebuah hak asasi, melainkan syarat agar pencerdasan kehidupan bangsa berrhasil. Bagimana kita akan mengerti dan paham serta mengambil sikap, jika buku-buku yang ingin dibaca dihancurkan dan dibakar?
Novel berjudul Rumah Kertas di bangun atas peristiwa sedemikian kunyup antara pecinta, kolektor, kutu buku, realitas dan semua pengahancuran yang dikangkangi atas angan-angan keinsafan untuk menjadi realitas nyata kini dan masa depan.
Pada akhirnya, realitas perbukuan kita selalu ingat kata-kata ampuh sakti almarhum Presiden Abdurrahman Wahib atau yang biasa kita sapa Gus Dur, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah ia pinjam”. Gitu.
Category : resensi
SHARE THIS POST