Bukan Cinta Jamaah Masjid Biasa
26 Mei 2019
|
1002
Masjid itu bukan sekadar tempat singgah.
Masjid, menurutku, adalah tentang kesetiaan.
Kesetiaan para jamaahnya.
Ada yang unik dari konsep kesetiaan jamaah Masjid Jendral Sudirman. Kesetiaan yang mereka tanamkan tidak hanya tampak dari frekuensi kedatangannya ke masjid. Kemudian, menunaikan ritual agama ataupun meramaikan segala tetek bengek agenda masjid. Sebab, konsep-konsep seperti itu hanyalah sebentuk wujud kesetiaan diri pada sebuah tempat. Kesetiaan paripurna yang mereka tekankan justru terlihat pada bagaimana menghidupkan masjid di dalam hati. Bagiku, Masjid Jendral Sudirman adalah tentang menghadirkan sesuatu yang kita cintai tanpa berpaku pada tempat dan suasana yang bersifat indrawi. Cinta itu sendiri adalah persoalan kesetiaan. Maka, kesetiaan seorang jamaah pada masjid akan diuji ketika berada di luar kawasan masjid tersebut. Akankah ia mampu memakmurkan masjid dalam diri dan lingkungannya? Mampukah ia tetap setia menunaikan ritual agama, meskipun tanpa mendengar seruan dari masjid seperti biasanya di mana, kapan, dan bagaimanapun keadaannya? Membekaskah pada dirinya beragam agenda pengajian yang pernah ia ikuti? Sejatinya, begitulah puncak kecintaan terhadap eksistensi bangunan rumah Allah, yakni menghadirkan konsep masjid dalam setiap lini kehidupan. Kehidupan fana yang kita sebut sebagai perantara menuju keabadian. Kehidupan yang kita sebut sebagai panggung sandiwara. Kehidupan yang penuh drama. Kita tidak cukup menggunakan pancaindra untuk memahami setiap keberadaan. Lidah kita tidak mampu menafsirkan kehidupan ini karena bahasa manusia yang memiliki keterbatasan. Mata kita yang lemah tidak dapat bertahan terhadap paparan cahaya. Telinga kita tidak bisa dilihat dengan mata, jika tanpa bantuan cermin. Tanpa hidung yang melakukan proses pernapasan, kita tidak mampu bertahan hidup. Bahkan, kulit yang kita bilang peka pun akan kehilangan fungsi kepekaannya, jika sedikit saja tergores. Logika tidak akan mampu menjawab semua teka-teki kehidupan duniawi. Lantas, haruskah kita menyerah jika sudah tahu betapa lemahnya diri kita? Ke mana kita akan singgah jika masjid tidak dapat lagi kita lihat dengan mata telanjang? Tidakkah kita akan tetap menjalankan shalat jika tidak bisa lagi mendengar kumandang azan? Bagaimana dengan lidah kita jika ia tidak bisa lagi mengucapkan bacaan shalat, mengaji, dan berzikir? Haruskah kita menyerah jika bernapas saja perlu dibantu alat pernapasan? Sekali lagi, masihkah kita bersedia mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya jika kulit sudah mati rasa? Ini bukan soal tempat. Melainkan, tentang bagaimana memahami makna masjid di dalam diri kita, terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan diri! Tidak seharusnya ÔÇ£menyerahÔÇØ menjadi pilihan bagi orang-orang yang mencintai dan bersumpah untuk setia menghidupkan masjid, di mana, kapan, dan bagaimanapun keadaannya!Category : catatan santri
SHARE THIS POST