Bias Budaya Teknopoli

slider
13 November 2023
|
1695

Judul: Teknopoli: Budaya, Saintisme, dan Monopoli Teknologi | Penulis: Neil Postman | Penerjemah: M. Dhanil Hardiman | Penerbit: Basabasi, 2021 | Tebal: 276 Halaman | ISBN: 978-623-305-210-8

Pernahkah terlintas dalam pikiran bahwa teknologi merenggut hal ihwal budaya tradisional? Pernahkah kita merenungi bahwa temuan teknologi baru melahirkan bias-bias tersirat? Pernahkah kita menjelikan pikiran bahwa teknologi menggiring diri ke ranah absurditas?

Setidaknya berderet pertanyaan itulah yang dijawab dalam buku Teknolopoli: Budaya, Saintisme, dan Monopoli Teknologi. Tak sekadar menjawab sekenanya, buku ini menggiring pembaca ke perenungan kritis tentang teknologi mutakhir postmodern. Boleh jadi, analisis Neil Postman mewicarakan kemungkinan terburuk gelagat teknologi di kemudian hari.

Dari Teknologi ke Teknopoli

Diambil dari bahasa Yunani, techne, teknologi berarti: membuat atau merancang. Apabila ditarik garis tegas, teknologi yang dimaksud di buku ini tak terpatok pada gawai atau komputer serta televisi semata. Lebih luas, teknologi ialah tiap-tiap temuan berbasis mekanik hasil jerih payah manusia sejak baheula.

Sebagai contoh kincir angin, ban empuk, alat tenun, atau kacamata rabun jauh. Tiap-tiap teknologi itu lahir pada titimangsa sebelum abad ke-14. Postman menggolongkannya ke dalam teknologi “budaya alat”. Asal-usul penamaan budaya alat ditinjau dari sudut teologis yang mendominasi masyarakatnya.

Dapat dikatakan manusia tempo dulu memperhatikan koherensi antara penemuan dengan sistem kepercayaan (ideologi). Teknologi baru saat itu tak sampai merubah nilai, moral, tatanan sosial, atau cara masyarakat melihat dunia. Hal itu karena masyarakatnya peduli dan tidak ingin jika budaya dan teknologi menjadi kontradiksi.

Dengan begitu, sistem masyarakat atau nilai budaya aman dari pengaruh luar. Kata Postman, “Semua budaya menggunakan alat, dari yang paling primitif sampai yang paling canggih, adalah teokratis atau, kalau bukan itu, disatukan oleh beberapa teori metafisika” (hlm. 41).

Lebih lanjut, esensi teknologi tradisional memiliki makna spiritual, bersifat sekunder dan periferal. Sejauh menyangkut teknologi, ia harus terhubung atau jika tidak dihubung-hubungkan dengan ideologi masyarakat, serta bertaut erat dengan indra dan jiwa manusia. Itulah sebabnya, hasil kreasi moyang kita terasa bernilai mistis dan mereka tidak mudah kehilangan eksistensi diri.

Namun, teknologi alat tak bertahan lama. Sejak mesin cetak, jam mekanis, dan teleskop muncul selama rentang menjelang renaissance, budaya mengalami perubahan. Tiap temuan teknologi kerap ditabrakkan dengan budaya, moral dan nilai adat istiadat. Sejak itu teknologi beralih menjadi kontrol, bahkan cenderung menyerang budaya. Oleh karenanya, ia tergolong sebagai “budaya teknokrasi”.

“Dalam budaya teknokrasi, alat (teknologi) menemukan peran utama di dunia pemikiran budaya” (hlm. 45). Masyarakat pada jenis budaya ini mulai menihilkan ranah simbolis tradisi, dan perlahan-lahan disetir oleh laju perkembangan. Dunia ritual, agama dan tradisi pun terpaksa tunduk dan akhirnya muncul gerakan pelestari.

Ironisnya, peletak dasar budaya teknokrasi ialah barisan begawan seperti Copernicus, Galileo, Isaac Newton, dan Rene Descartes. Di luar itu, Francis Bacon merupakan manusia pertama teknokrasi. Ibarat bangunan, Bacon-lah sang tiang sangga pelengkap. Bacon adalah penyempurna tatanan pemikir sebelumnya yang belum utuh.

Bacon berjasa mendorong masyarakat Barat memanfaatkan alam demi keluhuran manusia, yang ia tuangkan di salah satu karyanya Novum Organum. Hal itu kemudian disalahartikan oleh sebagian kalangan yang terbius kekuasaan. Niat baik Bacon memanfaatkan alam sekadarnya, disalahpahami sebagai eksploitasi alam secara brutal demi kelangsungan hidup.

Akhirnya Bacon menyandang nama sebagai pelopor manusia yang bergagasan “maju” dan “berkuasa” di atas alam. Gagasannya begitu berpengaruh sehingga dua abad berikutnya memicu lahirnya teknologi mesin uap (atau Revolusi Industri) pada abad ke-18. Seiring pertumbuhan mesin-mesin pabrik disertai kecanggihan teknologi secara masif, itulah yang menjadi bibit tumbuhnya “budaya teknopoli” (hlm. 65).

Efek Samping Teknopoli

Secara sederhana, teknopoli dapat dimaknai sebagai ketergantungan total manusia terhadap teknik dan teknologi. Dalam teknopoli, segala sesuatu telah digantungkan pada teknologi dan mesin atas prakarsa sains. Lebih lanjut hal ini dapat kita tilik pada esai “Dunia yang Mustahil” yang di dalamnya didedah ihwal teknologi yang mengubah persepsi manusia terhadap realitas.

Sekian waktu berjalan teknologi berupa mesin cetak, telegraf, fotografi, dan komputer. Mesin cetak, misalnya, merupakan wadah bagi teknokrat tempo dulu untuk surat-menyurat, menyalin teks tertulis, dan mengkopi dokumen rahasia. Bias yang terjadi adalah memodifikasi proses penyalinan, hingga timbul propaganda dalam bentuk pamflet, buku, atau surat kabar.

Kemudian, telegraf memungkinkan tiap-tiap salinan tersebar luas secepat kilat. Sedangkan fotografi berfungsi menangkap beragam bentuk objek menjadi gambar berupa foto. Bentuk yang ditampilkan gambar-foto menimbulkan ragam citra. Setelah itu, kita menangkapnya dalam bentuk penafsiran, interpretasi, dan makna yang mungkin berlainan.

Hal itu belum seberapa jika ditambahi virtualisasi komputer. Mesin cetak, fotografi, hingga telegraf masing-masing membawa sekelumit informasi sesuai takarannya. Semuanya memungkinkan arus informasi meloncat secara drastis. Gabungan dari seluruhnya lalu dilipatgandakan dengan laju pesat media canggih termutakhir, maka terjadilah ledakan, disrupsi informasi.

Di sinilah titik yang menggiring diri ke absurditas. Mulai dari info terkini, terpenting, hoax, hingga tak berbobot—seperti tampak di hari ini—menyasar siapa saja dan seringkali tak bertujuan. Itulah sebabnya dikatakan, “Lingkungan teknopoli berkembang adalah di mana ikatan informasi dan tujuan terburai. Informasi muncul tanpa pandang bulu, menyasar siapa pun dalam volume besar dan kecepatan tinggi; terputus dari teori, makna, tujuan” (hlm. 97).

Sementara itu, dalam esai “Saintisme” dilerai bagaimana sains mulai mengambil alih lini hidup. Sains di sini dipahami sebagai metode yang menakar subjek-objek dengan angka-angka. Dengan metode kuantifikasinya, sains bercita-cita terjun melingkupi ilmu sosial, psikologi, spiritual, bahkan agama dalam masyarakat teknopoli.

Praktik yang sudah menyebar luas ialah Tes IQ (Kecerdasan Intelektual). Dipromosikan oleh Lewis Terman di Amerika pada paruh pertama abad ke-19, tes itu kali pertama diuji dengan mengetes otak mayat Charlis Darwin, lalu menghadapkannya dengan otak Copernicus. Hasilnya berkisar 135 untuk Darwin dan 110 bagi Copernicus.

Kurun waktu berjalan, tes kecerdasan akal sanggup membius masyarakat. Sejumlah orang awam tergiur menguji otak mereka dengan statistik dan berharap dapat hasil yang memuaskan. Namun, bukannya mendapat kepuasan, mereka dipenuhi purbasangka lantaran merasa diri lebih pintar. Padahal, menurut pengakuan sebagian, mereka tidak meyakini dirinya sungguh pintar. Dengan demikian, tes IQ dikata memiliki bias (hlm. 176).

Hal sejenis diperlihatkan dalam esai “Ideologi Mesin: Teknologi Medis”. Bias teknologi juga mengarah ke kedokteran, terutama pada kasus bedah sesar. Di satu sisi, operasi sesar telah berjasa menyelamatkan ribuan bayi di Negeri Patung Liberty, Amerika. Namun, siapa sangka efek samping setelah bedah berpeluang membunuh si pasien? “Dokter tidak fokus pada keselamatan pasien, melainkan pada penyakit dengan bantuan teknologi” (hlm. 143).

Melalui beragam kritik terhadap teknologi dan sains, tampaknya penulis buku ini ingin menaikkan kesadaran pembaca. Barangkali Guru Besar New York University itu berencana menyingkap fakta bahwa, teknologi bukan penemuan murni dan bersih. Teknologi tidak netral. Lebih dari itu, bukan tinggal bagaimana teknologi digunakan; melainkan, esensi teknologi terbukti memiliki semacam risiko untuk pengguna.

Seolah-olah—memakai frasa Seyyed Hossein Nasr—teknologi memiliki “kekuatan gaib”, yang itu tidak dapat diperhitungkan semudah mengukur suatu benda. Suatu penemuan teknologi baru acapkali berisiko dan karenanya: secanggih apa pun teknologi, bukan hanya berdampak baik-buruk, terkadang juga diiringi masalah baru walau dalam soal lain juga menyelesaikan masalah.

Barangkali karena alasan itulah, Neil Postman tidak menyertakan solusi kecuali pada bidang pendidikan. Tidak adanya saran secara menyeluruh, kira-kira itu kekurangan buku. Selebihnya, karya Penerima Anugerah George Orwell untuk Kejernihan Bahasa ini patut diacungi jempol.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Taufik Ismanto

Peserta kelas menulis menemui senja di MJS jilid#5