Bagaimana Akhirnya Saya Memilih untuk Mencintai Filsafat

slider
11 Juli 2020
|
1792

Saya bukan ahli filsafat. Tetapi saya penikmat ilmu ini. Bagi saya sejauh ini, ilmu filsafat merupakan ilmu yang mengagumkan. Dan saya begitu menikmati “ketersesatan” saya memahami filsafat. Sebab “ketersesatan” tersebut membawa saya pada penglihatan yang sedikit jelas atas jalan yang selama ini terasa terjal-janggal-curam di dalam hidup saya.

Saya akui, pemahaman saya terhadap filsafat masih sangat belia, masih bau kencur, dan jauh dari kata paham. Akan tetapi, di ruang ketidakmengertian itu, saya menemukan sesuatu yang memikat batin saya, lalu saya merasa candu yang kemudian menggiring saya untuk terus mempelajarinya setahap demi setahap.

Awal mula saya berkenan mempelajari ilmu yang terkadang masih dipandang orang sebagai ilmu yang dapat menyesatkan ini dimulai dari kebingungan terhadap kehidupan saya yang buntu. Saya pernah mengalami krisis identitas—sering malah berbarengan dengan krisis isi dompet dan cinta—yang begitu mendalam, yang membuat saya mempertanyakan mengapa saya hidup dan untuk apa saya hidup. Kebanyakan orang pun saya yakin pernah mengalami krisis identitas dalam kadarnya masing-masing.

Waktu itu, secara spiritual dan eksistensial, saya terkatung-katung dan merasa bingung mengenai apa yang harus saya lakukan dan ke mana saya harus bersandar-berkeluh kesah. Saya akhirnya tergiur untuk memilih dan menempuh jalan “hijrah”. Kata yang pada pertengahan tahun 2017 sedang tenar dan laris di tengah-tengah kehidupan saya. Meskipun, saya tak begitu memahami maknanya secara persis benar.

Orang-orang terdekat saya—termasuk mantan kekasih saya yang memutuskan hubungan lantaran hendak hijrah—turut mengajak saya untuk memasuki dunia itu. Dunia yang sekilas dalam pandang mata saya, tampak menenangkan. Saya mengubah kostum sehari-hari saya, menata kata-kata saya, membenahi tindak-tanduk saya sesuai dengan imbauan orang-orang yang berada pada lingkaran “hijrah” itu.

Tetapi, sepanjang hari, minggu, bulan saya berada di dunia itu, saya malah makin mengalami keterasingan yang jauh lebih dalam dari sebelumnya. Saya merasa bahwa segala apa yang saya lakukan, dikontrol-diawasi oleh semacam “pamong moral” yang ada di sekeliling saya. Saya merasa bahwa, setiap hari saya harus meraih pahala sebanyak-banyaknya.

Sekali waktu saja saya melewatkan untuk berhenti mengais pahala itu, saya akan dijatuhi stigma yang cukup memukul batin saya dan lalu saya dinasihati habis-habisan oleh orang-orang yang sepertinya sudah lebih banyak mengumpulkan pahala. Saya seperti seorang member MLM yang setiap harinya harus, mau tidak mau, mengumpulkan poin dan anggota sebanyak mungkin.

Lantas, akhirnya, saya keluar dari dunia itu dan kembali terlunta-lunta di jalanan kehidupan yang sepi dan cukup menyeramkan. Hingga kemudian, saya dipertemukan oleh karib lama saya yang secara tidak sengaja memperkenalkan saya kepada Ngaji Filsafat yang diampu oleh Pak Fahruddin Faiz. Sampai detik ini, sembari masih terombang-ambing, saya terus menyelami sedikit demi sedikit hikmah yang disampaikan oleh Pak Faiz. Dan saya mengakui, ketersesatan saya hari ini, jauh lebih nikmat dibanding sebelumnya.

Barangkali Jostein Gaarder lewat karya Sophie’s World-nya benar, bahwa setiap manusia adalah kutu dalam bulu kelinci yang ditarik pesulap dari topinya. Beberapa orang terus menyusup dalam bulu-bulu dan memilih hidup dengan normal dan terhanyut dalam kehangatan, dan beberapa yang lain memilih merangsek naik ke atas. Jika pada akhirnya saya adalah kutu yang mencoba naik merangsek ke atas untuk melihat luasnya semesta, saya harus siap bahwa akan selalu ada sesuatu yang memaksa saya untuk kembali turun ke bawah.

Filsafat bagi sebagian orang merupakan ilmu yang horor dan menakutkan. Banyak yang beranggapan bahwa mempelajari ilmu ini akan menyebabkan kita pada ketersesatan, merusak keimanan, dan membawa kita pada kekafiran. Tetapi menurut Pak Faiz dalam kesempatan Ngaji Filsafat, anggapan bahwa ilmu filsafat adalah ilmu sesat lebih disebabkan lantaran kesalahan kita dalam mendefinisikan filsafat itu sendiri.

Sebagai sebuah ilmu, filsafat sama halnya dengan ilmu yang lain yang merupakan sebuah alat analisis. Sebagai alat, kerusakan dan kebermanfaatannya tergantung pada cara kita menggunakannya. Laiknya gunting, ia bisa digunakan untuk melukai, juga bisa digunakan untuk memotong rambut.

Kesalahan kedua, kata Pak Faiz, menganggap filsafat sebagai produk pikiran bukan sebuah alat berpikir untuk membedah sebuah realitas dan kemudian mempertanyakannya ulang. Produk pikiran berarti teori-teori dalam filsafat bersifat mutlak dan pasti. Sedangkan jika kita menganggap bahwa filsafat adalah alat untuk berpikir, pemikiran-pemikiran kefilsafatan yang sudah ada hanya sebagai acuan yang masih sangat mungkin untuk dipatahkan kapan saja.

Saya kira, kita semua, pada titik tertentu adalah filosof bagi diri kita sendiri, meskipun kita bukan ahli filsafat dan tidak tahu apa-apa soal filsafat. Semua manusia berpotensi menjadi filosof lantaran setiap hari manusia disajikan oleh fenomena-fenomena yang kadang kala sadar atau tidak, ia sendiri mempertanyakan fenomena-fenomena tersebut meskipun tak memahami teori-teori dalam filsafat.

Perbedaan antara filosof dan ahli filsafat sendiri terletak pada bagian bahwa ahli filsafat adalah orang yang mengerti apa itu filsafat, mengetahui pikiran tokoh-tokoh filsafat, dan mengerti teori-teori filsafat. Sedangkan filosof merupakan orang yang mampu berpikir sendiri, mempertanyakan, dan memproduksi pikirannya sendiri meskipun tak tahu sedikit pun apa itu filsafat.

Sebagai ilmu, filsafat lahir dari keraguan dan ketidakkepercayaan manusia terhadap hal-hal yang bersifat mite/myth (irasional) dan mulai mencari jawaban-jawaban secara logos (rasional). Filsafat membawa kita pada upaya mempertanyakan ulang keyakinan kita terhadap sesuatu. Sebab semua hal dalam kehidupan ini luar biasa dan perlu untuk dipahami serta ditelisik ulang.

Filsafat secara kebahasaan memuat dua kata, yaitu philo dan sophia. Philo berarti cinta dan sophia berarti kebijaksanaan. Filsafat memungkinkan kita untuk bisa mencintai kebijaksanaan. Sebab menurut saya, kebijaksanaan lebih tinggi dari kebenaran. Kebijaksanaan berarti bisa menempatkan sesuatu dalam porsi, posisi, serta proposisi yang tepat dan pas. Berkata jujur bahwa teman kita itu jelek dan hitam adalah kebenaran. Tetapi menahan diri untuk tidak berkata bahwa teman kita jelek adalah kebijaksanaan.

Dalam memahami filsafat, bagi saya hari ini, berarti memahami hidup dengan sebaik-baiknya. Berusaha untuk memahami filsafat dengan niat yang di dalamnya tak ada selubung kejahatan dan kerusakan adalah implementasi dari Iqra’ yang pertama kali Allah turunkan sebagai firman-Nya.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Sul Ikhsan

Lahir di Serang. Mahasiswa tingkat akhir jurusan Pendidikan Fisika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA), Banten. Suka menulis cerpen, puisi, esai.