Asghar Ali Engineer: Dari Teologi Pembebasan Ke Teologi Feminis

slider
22 Desember 2020
|
2169

Sewaktu kita mendengar tentang India, apa yang terlintas di benak kita sepertinya tidak jauh-jauh dari film Bollyhood yang jarang absen dengan musik dan tari-tariannya, dari film bergenre action, apalagi film genre romance.

Padahal, dalam kesejarahan intelektualisme Islam, India telah melahirkan para pemikir dan tokoh-tokoh besar yang sangat berpengaruh. Misalnya, Syah Wali Allah, Sayyid Ahmad Khan, Sir Sayyid Amir Ali, Parwez, Abdul Kalam Azad, Muhammad Iqbal, dan Fazlur Rahman, serta Asghar Ali Engineer.

Tokoh yang terakhir ini merupakan tokoh penting. Pemikirannya menjadi rujukan ketika berbicara dan mengkaji tentang gender dalam Islam di kalangan dunia akademisi, tak terkecuali di kalangan akademisi Indonesia.

Asghar Ali Engineer lahir dari pasangan Syeikh Qurban Husain dan Maryam yang sangat taat beragama pada 10 Maret 1940 di Salumba, Rajasthan, dan meninggal pada 2013. Secara sosio-politik, Asghar hidup dan berkembang di saat India sedang mengalami ketegangan antara umat Hindu dan muslim. Puncaknya ketika munculnya Tragedi Golden Temple yang menelan korban sekitar sepuluh ribu orang Sikh.

Secara sosio-keagamaan, ia hidup di tengah-tengah kejumudan dan kemandegan berpikir. Bagi Asghar, tokoh-tokoh muslim India lebih menekankan komitmen keagamaan individual, dan menghadirkan Islam dalam terma ‘ketaatan’ serta berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional.

Secara akademik, Asghar memang sarjana teknik yang dikenal sebagai pemikir yang concert terhadap masalah sosial dan pembebasan kaum tertindas.

Meskipun demikian, dalam bukunya Hak-hak Perempuan dalam Islam (2000) Asghar mengakui secara keilmuan mengikuti berbagai training keagamaan dari ayahnya, baik bidang teologi Islam, tafsir, yurisprudensi Islam (fikih) dan hadis. Ia juga mengaku banyak dipengaruhi tulisan-tulisan Niyaz Fatehpuri, Bertrand Russel, dan karya monumental Karl Marx, Das Capital.

Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, Asghar banyak dipengaruhi karya tokoh-tokoh muslim, seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), Maulana Abu al-Kalam (w. 1958), dan Sayedina Hatim, Sayedina Qadi Nu’man, Sayedina Muayyad Shirazi, Sayedna Hamiduddin Kirmani, Sayedna Hatim al-Razi, Sayedna Mansur al-Yaman, dan sebagainya.

Sebagai seorang pemikir dan pembaharu, Asghar menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai forum ilmiah, ceramah, seminar, lokakarya, dan lain-lain. Karya-karyanya sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Islam dan Teologi Pembebasan (2006), Islam dan Pembebasan (1993), Hak-hak perempuan dalam Islam (2000), Islam Masa Kini (2004).

Selain itu, ia juga aktif mengajar di perguruan tinggi berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Swiss, Thailand, Malaysia, Sri Lanka, Pakistan, Yaman, Hongkong, dan Mesir. Pada Agustus 2008, Asghar berkunjung ke Indonesia, dan menyampaikan ceramahnya tentang “Islam dan Negara Bangsa”, serta bertemu dengan sejumlah cendekiawan Islam Indonesia, antara lain dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gagasan Asghar tentang hak-hak dan pembebasan kaum marjinal (baca perempuan) tak diragukan lagi. Dapat dikatakan pandangannya ini cukup liberal bagi kalangan ulama-ulama India yang umumnya sangat konservatif. Perjuangannya atas kesetaraan gender dapat dilihat atas responnya pada kasus Shah Bano pada 1985 di India. Asghar menolak keputusan Mahkamah Agung yang membenarkan keputusan ‘sangat memberatkan’ keputusan Pengadilan Tinggi Personal Muslim yang mewajibkan Mohammad Ahmed Khan memberikan nafkah.

Asghar juga menentang Undang-undang Perempuan Muslim (Perlindungan Hak-hak dalam Perceraian), sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Lok Sabha pada 5 Mei 1986. Undang-undang tersebut dipandangnya sebagai upaya melawan keadilan dan mengebiri hak-hak istri yang diceraikan. Bagi Asghar, ulama konservatif India telah mempropogandakan bahwa istri yang diceraikan hanya mendapat jatah nafkah pada periode iddah, sekitar tiga bulan saja.

Hal semacam ini jauh dari rasa keadilan, bila seorang istri yang diceraikan harus diasuh oleh orang tua atau kerabatnya dalam periode iddah—sebagimana klaim ulama konservatif sebagai bagian dari hukum Islam. Al-Qur’an tidak menyatakan—baik secara implisit atau eksplisit—bahwa istri yang diceraikan harus dirawat oleh orang tua atau keluarganya.

Bagi Asghar, ulama-ulama konservatif India “seakan-akan” tidak menyadari pemahaman interpretasi atas Al-Qur’an yang tidak hanya melalui makna literal. Akan tetapi juga harus memperhatikan konteks sosio-historis di mana ayat-ayat tersebut diturunkan.

Ada dua aspek yang perlu digarisbawahi ketika memahami Al-Qur’an terkait persoalan perampuan, yakni aspek normatif dan kontesktual. Aspek normatif merujuk pada sistem nilai dan prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an, seperti persamaan, kesetaraan, dan keadilan. Aspek kontekstual dalam al-Quran berkaitan dengan ayat-ayat yang diturunkan untuk merespons problem sosial tertentu pada masa itu.

Selain itu, Asghar juga menolak gagasan peran publik dan peran domestik yang selama ini berkembang dalam dunia Islam. Peran publik biasanya diasumsikan sebagai wilayah aktualisasi kaum laki-laki. Sementara peran domestik dianggap sebagai dunia kaum perempuan yang hanya tersekat dalam konteks “dapur, sumur, dan kasur”, dan sama sekali tidak dianggap lumrah jika terlibat dalam konteks kepublikan, mulai dari persoalan politik, ekonomi hingga sosial. Kodrat seorang istri hanya sebatas di rumah, seperti mengurus rumah, memasak, mengurus anak.

Bagi Asghar, pandangan ini sangat keliru dan salah. Al-Qur’an secara eksplesit sangat menjunjung tinggi martabat perempuan. Baginya, Kitab Suci ini memberikan banyak hak kepada perempuan, baik pada aspek perkawinan, kekayaan, dan warisan.

Di masa Nabi Muhammad Saw, kehidupan para perempuan dapat berpatisipasi dalam kehidupan publik tanpa dibedakan dengan laki-laki. Hal ini mengingatkan kembali pada semangat profetik dan liberatif kenabian Muhammad di Makkah.

Semagat dan perjuangan Asghar dalam membela kaum marjinal ini layak disebut sebagai teologi feminisme. Pada kesempatan Ngaji Filsafat sesi “Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer”, dikatakan bahwa teologi Islam selama ini lebih bersifat statis yang melanggengkan status quo. Istilah teologi tak harus dimaknai melulu tentang urusan melangit (baca: Tuhan), akan tetapi juga urusan bumi.

Pertanyaannya, mengapa harus teologi pembebasan? Sebab, bagi Asghar, secara psikologis masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang menindas akan cenderung frustasi, pesimis, mengambil jalan pintas, dan lemah keyakinan.

Kondisi semacam itu harus diatasi dengan munculnya keyakinan teologis yang kuat agar mendorong mereka bergiat mengubah nasihnya sendiri. Untuk itulah, teologi pembebasan sangat penenkankan pada aspek praksis, yakni kombinasi antara refleksi dan aksi, iman dan amal. Dengan ini, teologi pembebasan berupaya untuk menjadikan yang lemah dan tertindas menjadi yang independen dan aktif.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tilikan Asghar. Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, mengenai pluralitas dan diversitas agama sebagai keniscayaan. Ketiga, mengenai watak keberagamaan yang tercermin dalam sensitivitas dan simpati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah.

Gagasan tersebut hampir sama dengan formulasi gagasan ‘Teologi Pembebasan’ versi Hassan Hanafi tentang peralihan konsep teologi tradisional dari teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia, dari tekstual ke kontekstual, dari teori ke tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas.

Apabila kita cermati, gagasan Asghar ini berangkat dari agama Islam itu sendiri yang bertindak sebagai semangat revolusioner dalam menghadapi tirani, eksploitasi, dan penganiayaan, serta menegakkan prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Islam digunakan sebagai alat analisis yang bersifat historis dan kontekstual, di mana tujuan dasarnya persaudaraan universal (universal brotherhood), kesejahteraan (equality), dan keadilan sosial (social justice), dengan merujuk pada prinsip hukum (tasyri’) dalam Islam yang empat, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas (analogi), dan Ijma’ (konsensus ulama).


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Syahuri Arsyi

Mahasiswa dan Penikmat Ngaji Filsafat Virtual