Apologia Islam di Barat

slider
slider
15 Oktober 2019
|
1589

Judul: Muhammad Nabi Cinta: Catatan Seorang Nasrani tentang Rasulullah Saw | Penulis : Craig Considine | Penerbit: Noura Books, 2018 | Tebal: 181 halaman | ISBN: 978-602-385-538-4

Pasca serangan World Trade Center 11 September 2001, umat Islam dan penganutnya terutama yang mengenakan simbol keagamaan di Eropa-Amerika, dihantui sikap sinisme dari penganut agama non-muslim. Islamofobia semakin tumbuh subur mengancam eksistensi dan integritas umat Islam dan penganutnya.

Kini, sudah 19 tahun berlalu, sepertinya sikap Barat terhadap Islam dan penganutnya mulai berubah, sudah mulai arif atas Islam dan penganutnya. Pandangan negatif terhadap Islam secara perlahan-lahan mulai menurun. Meskipun harus kita diakui juga masih ada semacam target cemohan dari sebagian umat non-muslim di Barat hingga kini.

Pandangan tersebut, misalnya dapat kita baca dalam paparan buku yang berjudul Muhammad Nabi Cinta: Catatan Nasrani tentang Rasulullah Saw (2018). Buku yang ditulis Craig Considine ini, menjadi semacam apologia, penawar, dan referensi di tengah perkembangan islamofobia di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Craig adalah seorang Nasrani yang taat, berkewarganegaraan Amerika Serikat keturunan Irlandia dan Italia, dan sekaligus seorang dosen sosiologi di Rice University Amerika Serikat. Craig memusatkan kajiannya pada Islam, pluralisme keagamaan, muslim Amerika, islamofobia, hubungan Kristen-Islam, kehidupan Nabi Muhammad Saw, hubungan ras dan suku, serta titik temu antara agama dan kebangsaan.

Dalam buku Muhammad Nabi Cinta, Craig berkisah tentang awal mulanya mempelajari Islam dan mengenal sosok kehidupan Nabi Muhammad Saw dengan pas. Kisahnya ini pernah disampaikan pada acara perdamaian di Islamic Central-Mustafa Irlandia di Blanchardstown, Dublin, pada 26 Januari 2014.

Berawal dari perjumpaannya dengan Profesor Akbar Ahmed dari American University di Washington 2004 di awal kuliah “Dunia Islam”, Prof Ahmed membaca hadis Nabi Saw, “Tinta sarjana lebih keramat daripada darah syuhada” (hlm. 59) ternyata merubah persepsi dan sudut pandang serta cara berpikir tentang Islam dan sosok Nabi Muhammad Saw, sekaligus merubah tujuan hidupnya.

Sebagaimana pengakuan Craig bahwa ia mengerti Islam dan sosok Nabi Muhammad Saw melalui peristiwa 11 September 2001. Baginya, dan bagi sebagian besar orang-orang Amerika Serikat pada umumnya, Islam itu berarti Usama bin Laden, Al-Qaeda, dan kekerasan, seperti yang digambarkan dalam opini di media-media massa, blog-blog berprasangka negatif, serta dari meme-meme terkait Islam di dunia maya. Craig mengatakan bahwa, “Dalam ketidaktahuan, sebagian berpikir tentang Islam sebagai ideologi politik yang sangat berhasrat menguasai dunia. Sebagian lainnya menganggap Islam merupakan doktrin menindas dan/atau kejam yang bertentangan dengan kemerdekaan dan nilai-nilai yang kita junjung di abad ke-21 ini.” (hlm. xiii).

Pandangan tersebut bagi kita mungkin bisa dimaklumi, mengingat sejak awal, media-media Barat dan suporternya memojokkan dan menyulutkan sentimen negatif serta nada peyoratif terkait agama Islam serta mengaitkan hubungan agama Islam dengan ideologi radikal dan juga terorisme.

Bagi Craig, Nabi Muhammad Saw adalah sosok teladan, mulai dari sikap teladan yang anti-rasis, teladan pluralisme keagamaan, hingga teladan dalam membela hak-hak asasi kaum perempuan—sebagaimana selama ini negara-negara modern Barat menyerukan. Craig, menulis, “Siapa pun yang ingin mempelajari Nabi Muhammad Saw harus mempelajari tentang perempuan-perempuan dalam hidupnya. Nabi memimpin sebuah komunitas yang diisi dengan sejumlah perempuan aktif, mandiri, dan kuat. Khadijah, istri pertama Nabi, juga sekaligus merupakan atasannya.” (hlm. 37).

Dari pernyataan-pernyataan di atas, Craig melakukan apa yang kita dikenal sebagai “apologis Islam”. Istilah “apologia” berasal dari kata Yunani yang berarti “memberikan pembelaan”. Apologis Islam adalah seorang yang tidak memberlakukan Islam sebagai agama monolit (kesatuan terorganisasi yang membentuk kekuatan tunggal dan berpengaruh), menyebut jahat, dan membela penganiayaan pembunuhan atas umat Islam dan penganutnya.

Kita tahu, ada contoh kasus yang cukup menarik dalam sejarah dan kajian filsafat Yunani Klasik mengenai apologetika—uraian sistematis untuk mempertahankan suatu ajaran. The Apology karya Plato (427-347 SM), yang menyajikan pidato-pidato pembelaan diri Socrates (470-399 SM) di dalam suatu persidangan dengan dakwaan ajarannya telah merusak moralitas kaum muda Athena, sehingga tidak mempercayai para dewa-dewa, dan membuat agama baru berupa filsafat. Apologetika yang dilakukan Plato dulu persis dengan apologia—pembelaan agama—yang dilakukan oleh Craig saat ini.

Sikap apologia Islam Craig, pada dasarnya adalah menghargai pluralisme dan keragaman agama, serta menegaskan kembali keteladanan Nabi Muhammad Saw untuk menangkal retorika islamofobia, terutama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah nabi palsu, yang mendakwahkan perang/jahat, bahkan sebagai agama terorisme.

Apologia Islam juga datang dari seorang profesor studi Islam Universitas Georgetown AS, John L. Esposito. Ia memang sudah kita kenal sebagai sosok yang getol mengkaji Islam secara seobjektif mungkin dengan mengutamakan pendekatan dialog antarperadaban dan antaragama.

Dalam The Future of Islam (2010), Esposito memotret ciri dan budaya umat Islam dan penganutnya sebagai umat dengan ciri kekhasan yang menjadi simbol kearifan, yaitu kepatuhan kepada Sang Pencipta sekaligus bersikap inklusif-pluralis pada umat lainnya.

Ada kesalahan pemahaman dan ketiadaan kesadaran masyarakat Barat terhadap Islam dan penganutnya salama ini. Esposito mengungkapkan bahwa, “Ketiadaan kesadaran di kalangan masyarakat Barat mengenai realitas di dunia Islam tidak bisa dipisahkan dari sikap media Barat yang membesar-besarkan sebagian kecil ekstremis sebagai pemicu islamofobia. Padahal sebagian besar korban terorisme adalah muslim, tapi masalah ini tidak pernah disinggung sama sekali.”

Dari kesalahpahaman itu, menurut Esposito, Islam kini dianggap sebagai agama dengan pertumbuhan yang sangat pesat di Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan Australia. Kondisi ini, menurutnya membuktikan bahwa dialog antarperadaban, antaragama, berjalan semakin intensif. Kajian Islamic Studies di Eropa-Amerika sebagaimana pengakuan Mun’im Sirry saat ini malahan mencapai puncak keemasannya.

Sudah tidak ada alasan bagi masyarakat Barat untuk memusuhi, memaksa, dan mengikuti cara pandang Barat atas umat Islam, karena umat Islam memiliki cara pandang yang sangat unik. Sebab, keberadaan umat Islam di Barat kini sudah memasuki babak baru dalam pelbagai elemen kehidupan, dalam ekonomi, politik, budaya, maupun pendidikan.

Craig maupun Esposito melalui tulisan dalam karyanya masing-masing menjadi jembatan antara umat Islam dan Kristen, dan memberikan pesan kepada seluruh masyarakat dunia untuk tidak hanya memandang Islam dan penganutnya dari satu sudut pandang atau satu peristiwa kejahatan. Sehingga membuat mata dan pikiran mengabaikan hakikat agama Islam yang mengajarkan kasih sayang, kebersamaan, dan kecintaan untuk membangun kehidupan yang lebih baik lagi di masa depan.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Syahuri Arsyi

Mahasiswa dan Penikmat Ngaji Filsafat Virtual