Al-Farabi dan Gagasan Negara Utama (al-Madinah al-Fahdilah)

slider
14 Februari 2020
|
6293

Abu Nasr Muhammad bin al-Farakh al-Farabi (872-950 M) atau yang sering kita kenal dengan al-Farabi, merupakan sosok pendiam, dan lebih banyak mengabdikan hidupnya pada filsafat dan kontemplasi. Konon katanya, ia berpindah haluan menjadi seorang sufi. Masa belajarnya ia habiskan di Baghdad dari seorang guru bernama Yohanna bin Hailan, yang kebetulan beragama Kristen. Banyak bidang keilmuan yang al-Farabi pelajari, antara lain matematika, filsafat, logika, dan sastra. Dari ketekunan dan keseriusan yang al-Farabi lakukan, bisa terlihat jelas hasil karya-karyanya, di antaranya al-Musiqa al-Kabir, Ara' ahl Madinah al-Fadhilah, Fushul al-Madani dan lain sebagainya.

Corak filsafat yang al-Farabi bangun tidak lepas dari latar tempatnya bersekolah di Faryab Khurasan dan melanjutkan ke Bukhara, kemudian pindah ke Baghdad, yang para anggotanya lebih cenderung perhatian pada persoalan-persoalan metafisik, ketimbang orang-orang di Harran dan Basrah, yang memiliki perhatian terhadap filsafat alam. Pemikir muslim pada umumnya menghasilkan karya-karyanya secara kronologis, dan sulit kita temukan di era sekarang. Saat al-Farabi menginjak dewasa dalam berpikir, ia mencurahkan waktunya hanya untuk menyunting karya-karya Aristoteles, seperti Organon. Karena alasan inilah, di dunia Timur al-Farabi diberi gelar sebagai “Guru Kedua” atau “Aristoteles Kedua”.

Pemikiran al-Farabi menyangkut segala aspek kehidupan sesuai konsen keilmuannya, yakni pada bidang dan ranah metafisika, logika, etika, sains, dan politik. Dalam bidang politik, al-Farabi mengambil pandangan lebih banyak dari kehidupan yang riil. Melalui gaya orientalnya yang memasukan Republik dari Plato, kemudian digabungkan dengan pandangan bahwa yang seharusnya menjadi pemimpin itu adalah seorang filosof (filosof sebagai penguasa). Seorang filosof yang dijadikan figur sebagai pemimpin ideal untuk negara utama serta merta menyerahkan jiwa dan raganya untuk berbakti kepada masyarakatnya untuk meraih kebahagiaan tertinggi.

Mengenai gagasan negara utama (al-Madinah al-Fadhilah), al-Farabi menguraikannya secara terperinci. Menurutnya, setiap manusia secara alami membutuhkan apa yang ia tidak bisa penuhi sendiri. Setiap diri manusia sesungguhnya membutuhkan orang-orang yang dapat memasok kebutuhnnya yang tidak dapat ia cari maupun penuhi sendiri. Pada intinya, orang tidak bisa hidup sendirian untuk membangun sebuah peradaban, harus ada bantuan orang lain dan harus ada kelompok yang bisa menopang negara itu agar bisa berdiri tegak. Negara utama (al-Madinah al-Fadhilah) sesungguhnya adalah negara yang di dalamnya terdapat suatu kesatuan yang memang bertujuan untuk membangun sebuah kebahagiaan yang hakiki (Yamani, 2002: 61).

Tidak semua orang yang ada di dalam negara utama memiliki tujuan kebahagiaan yang sesungguhnya. Pemimpin yang dijadikan representasi sebuah negara tidak semuanya juga bisa mewujudkan kebahagiaan bagi masyarakat yang dipimpinnya, dan tidak semuanya memiliki kebijakan yang bijaksana. Dalam hal ini, al-Farabi membagi pemimpin dalam tiga kategori, yakni pemimpin sepenuhnya, pemimpin yang berkuasa dan dikuasai, dan pemimpin yang sepenuhnya dikuasai.

Menurut al-Farabi, peringkat kepemimpinan pada asosiasi itu dibutuhkan untuk menjalankan dan mengkoordinasikan kerja sama. Tidak semua orang memiliki kapasitas yang sama dalam memimpin, termasuk fungsi atau keahlian yang dimiliki maupun yang dijalankan. Pada hubungan yang terjadi tidak hanya bersifat horizontal atau pararel, tetapi juga bersifat vertikal dan hierarkis. Untuk itu, seorang pemimpin harus memiliki keahlian-keahlian yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan memiliki banyak pengetahuan.

Seorang pemimpin adalah simbol negara sekaligus menjadi kehormatan suatu negara. Karenanya, negara itu buruk jika pimpinannya buruk: karena tidak tahu, keliru, atau berakhlak buruk dan tidak sesuai dengan prinsip-prinisp kebaikan. Sedangkan negara yang baik atau unggul, hanya memiliki satu jenis pemimpin, yaitu ketika seorang filosof sebagai pemimpinnya (De Boer, 2019: 172). Representasi seorang filosof yang dijadikan sebagai seorang pemimpin itu sudah tepat, karena pada dasarnya seorang filosof memiliki sifat kebijaksanaan yang lebih ketimbang manusia pada umumnya.

Pada diri seorang pemimpin sifat bijaksana harus dimiliki. Tanpa sifat bijaksana, ia tidak mungkin bisa memimpin suatu negara yang memiliki lapisan masyarakat yang bermacam-macam. Sifat bijaksana ini menjadi mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Al-Farabi dalam karya politik-metafisik yang berjudul Ara’ ahl Madinah al-Fadhilah (Pikiran Penduduk Negeri Utama), telah berupaya memberikan nilai pada gagasan tentang kekuatan persatuan (unifliying force) menuju negara utama. Seperti untuk mencapai kesempurnaan ekonomi, haruslah ditempuh suatu tingkat yang paling berbahaya yang menjerumuskan dunia ke dalam kekacauan, tetapi setelah dilewatinya, barulah ekonomi mencapai puncak yang dituju, yaitu tercapainya kebahagiaan yang lengkap. Taraf ini disebut sebagai taraf masyarakat negara utama, di mana seluruh rakyat merasa bahagia menikmati kepemimpinan yang sempurna dari suatu negara (Ngaji Filsafat: Al-Farabi, 23/4/2014).

Pandangan al-Farabi terhadap negara utama dipengaruhi gagasan dari pemikiran Plato. Kepemimpinan masyarakat ataupun negara, menurut Plato, sebaiknya diserahkan kepada filosof. Negara utama, menurut al-Farabi, adalah negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Bentuk negara ini dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filosof. Selain tugasnya mengatur negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Bila tidak ada sifat-sifat kepala negara yang ideal ini, maka pimpinan negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki kepala negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat (Ngaji Filsafat: Al-Farabi, 23/4/2014).

Nabi Muhmmad adalah manusia yang memilki sifat bijaksana paling sempurna dan tidak memiliki kecacatan dalam hal apa pun—sekaligus sebagai suri tauladan bagi pemimpin-pemimpin sesudahnya. Setelah Nabi Muhammad wafat, sedikit pemimpin yang bisa direpresentasikan sebagaimana layaknya seorang filosof, baik pada masa kepemimpinan keempat Khulafaur Rasyidin, era Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, dan daulah yang lainnya. Para pemimpin kebanyakan hanya mementingkan kepuasan pribadi tanpa melihat dan merasakan penderitaan rakyat. Pemimpin yang seperti ini tidak bisa menjadikan negaranya sebagai negara utama yang ideal, negara yang adil makmur, negara yang penuh kebahagiaan, negara yang keamannya terjamin. Sementara besarnya sifat hedonis yang dimiliki pemimpin, akan menjadikan negara tersebut dalam kekacauan dan akhirnya runtuh, hancur.

Seiring silih berganti seorang menduduki tampuk kepemimpinan, tidak lepas dari model sistem kenegaraan. Sistem negara yang ada ini bermacam-macam, ada yang bersifat teokrasi, monarki, monarki absolut, teleokrasi, oligarki, dan demokrasi. Bagi al-Farabi, negara yang ideal adalah negara yang bersifat demokrasi.

Kota yang setiap penduduknya mendapatkan keleluasaan dan kebebasannya, dengan sistem demokrasi yang dimiliki oleh negara, lama kelamaan akan dapat bermunculan orang-orang bijak. Oleh sebab itu, kata al-Farabi, kota seperti ini memiliki kebaikan. Semakin besar, semakin berperadaban, semakin padat penduduknya, semakin produktif dan semakin sempurna, serta semakin besar pula kebaikan. Dan karena orang bijak yang memerintah, akan mengarahkan tindakan-tindakan rakyat ke kebahagiaan. Sebaliknya, ketika negara dipimpin oleh orang yang lalim, walhasil hanya akan mengarahkan masyarakatnya menuju kesengsaraan, malah bisa lebih besar keburukan dibandingkan yang terjadi zaman jahiliyah terdahulu.

Seharusnya para elite politik sadar dengan akal aktif mereka (al-Aql al-Mukawwin), bahwa kelaliman maupun kebijakan yang akhirnya menimbulkan kesengsaraan masyarakat tidaklah dibenarkan. Memilih seseorang yang tidak sesuai dengan kemampuannya memimpin, hanya akan menghancurkan sistem kenegaraan yang ada, dan memilih seseorang dengan kemampuan yang sesuai berarti membangun dan memakmurkan suatu negara. Orang-orang yang tidak bisa bersikap bijaksana berarti mereka adalah orang-orang yang tidak menggunakan nalarnya, dan orang-orang yang ambisius memburu suatu jabatan tanpa mengukur kemapuan mereka berarti adalah orang yang tidak memiliki ahlak yang baik.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam