Tradisi dan Mistisme Masyarakat Sasak

slider
slider
21 Februari 2020
|
1922

Pulau Lombok selain dikenal sebagai salah satu daerah yang memiliki pantai dan pegunungan indah, juga dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Masjid. Suku Sasak merupakan penduduk asli pulau Lombok. Dari sisi agama, suku Sasak merupakan masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam.

Agama Islam di pulau Lombok menjadi modal utama bagi suku Sasak dalam mengaktualisasikan kehidupan keseharian. Dalam konteks historis, agama Islam pertama kali masuk di pulau Lombok pada 1545 M. Hal itu didasarkan pada catatan yang terdapat di berbagai babad. Sunan Giri yang merupakan salah satu dari sembilan wali (Wali Songo) menjadi tokoh yang berjasa terhadap masuknya agama Islam di pulau Lombok (John Ryan Bartholomew dalam Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, 2001: 94).

Ada dua bentuk paham aktualisasi agama Islam yang diikuti oleh suku Sasak, yakni Waktu Lima dan Wetu Telu. Satu dari dua bentuk tersebut dikategorikan sebagai kepercayaan tradisional. Meski demikian, di dalamnya memuat nilai-nilai, konsep, pandangan, dan praktik-praktik tertentu. Di samping itu, keduanya juga mengutamakan pada masalah-masalah duniawi seperti kesejahteraan sosial, hubungan sesama manusia, kenyamanan dan ketentraman hidup, serta aturan untuk memelihara lingkungan hidup yang harmonis sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Terkait dengan dua bentuk paham agama Islam yang dianut oleh suku Sasak tersebut, menurut Erni Budiwanti dalam bukunya Islam Sasak: Wetu Telu versus Wetu Lima (2000: 1), bahwa Waktu Lima merupakan orang muslim Sasak yang mengikuti ajaran syariah secara lebih keras sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an dan hadis. Sedangkan Watu Telu merupakan orang Sasak yang mengaku sebagai muslim, namun kepercayaan terhadap ketuhanan animistik leluhur (ancestral animistic deities) maupun benda-benda antropomorfis (anthropomorphized inanimate objects) masih cukup kental.

Waktu Lima melaksanakan kelima rukun Islam dalam ajaran syariatnya, mengikuti aliran ahlussunnah wal jamaah. Berbeda dengan Wetu Telu yang dapat dikatakan sebagai kategori agama tradisional, karena pengetahuan yang dianut oleh orang Islam Wetu Telu terhadap Allah masih mencampurkan ucapan dua kalimat syahadat dengan ajaran animisme.

Masyarakat suku Sasak juga tunduk kepada alam. Alam dianggap dan diyakini memiliki kekuatan supranatural yang tidak dapat ditembus dengan akal manusia. Bahkan, benda-benda yang terdapat di sekelilingnya diyakini memiliki jiwa, ruh, dan kekuatan gaib yang sakti. Hal-hal tersebut mendorong masyarakat suku Sasak melakukan ritual-ritual atau praktik-praktik religi yang direalisasikan dengan berbagai macam bentuk perilaku, misalnya seperti dengan sesaji, berkurban, dan berdoa. Praktik tersebut dilakukan oleh suku Sasak sebagai upaya untuk mencari hubungan dengan dunia gaib.

Dewasa ini, manusia telah mengalami sebuah kemajuan yang mengarah pada pemikiran rasional dan fungsional, demikian juga dengan masyarakat suku Sasak. Akan tetapi, hal-hal mistis masih tetap kuat dan mengakar dalam tradisi dan diri orang-orang Sasak. Unsur-unsur mistis masih terdapat dalam berbagai praktik-praktik religius yang dipraktikkan masyarakat suku Sasak.

Praktik-praktik religius yang dikombinasikan dengan hal-hal mistis dalam berbagai praktik dan perilaku religius mulai bergeser yang awalnya ditujukan untuk hal-hal gaib, menjadi sebuah upaya untuk mencari hubungan dengan Tuhan (Allah), sesama manusia, dan alam sekitar. Dalam hal ini, praktik religi yang sering dilakukan oleh masyarakat suku Sasak ialah praktik religi untuk kesuburan alam dan mendatangkan hujan.

Satu contoh, dalam masyarakat suku Sasak berlangsung tradisi yang bernama upacara Nede. Upacara Nede ini merupakan upacara yang dilakukan oleh masyarakat suku Sasak untuk meminta dan memohon hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Upacara tersebut berlangsung ketika bulan Oktober-November. Bulan itu dalam bahasa Sasak disebut dengan nama Bulan Tombok (ketika matahari berada tepat di garis khatulistiwa dan hujan belum turun). Upacara Nede dilangsungkan di tempat-tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat suku Sasak, seperti makam keramat, halaman masjid kuno, mata air, dan tempat-tempat lain. Masyarakat suku Sasak cenderung melakukan ritual tersebut di makam keramat seorang ulama. Di tempat tersebut para peserta memanjatkan doa-doa memohon agar hujan segera turun untuk kesuburan alam, keselamatan, dan kesejahteraan manusia.

Masyarakat suku Sasak juga melakukan ritual di Gua Kemaliq Lebesane. Kemaliq Lebesane merupakan gua yang berlokasi di Desa Ganti. Gua ini diyakini oleh masyarakat suku Sasak sebagai gua keramat, karena dulu ada seorang ulama yang bernama Lebesane melakukan halwat/berkhalwat (mengasingkan diri untuk tafakur). Di gua tersebut, masyarakat suku Sasak menyembelih kerbau. Setelah kerbau disembelih, para jamaah yang ikut melakukan ritual tersebut melanjutkannya dengan berdoa bersama, dengan harapan hujan segera turun. Selain  itu, di dalam Gua Kemaliq Lebesane terdapat salah satu sumur yang airnya diyakini masyarakat suku Sasak dapat menyembuhkan segala macam bentuk penyakit.

Dari beberapa hal yang telah dijabarkan di atas, masyarakat suku Sasak merupakan suku yang memiliki pandangan bahwa alam mempengaruhi kehidupan manusia. Pandangan ini cukup beralasan mengingat alam yang subur dan hasil panen berlimpah menjadi modal utama dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karenanya, kita sebagai manusia harus berupaya menjaga alam dan membentuk keharmonisan antara hubungan manusia dengan alam, yang dalam masyarakat suku Sasak hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam bentuk ritual-ritual religius.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhyidin Azmi

Mahasiswa Pascasarjana Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta