Teodisi Leibniz: Bencana Tak Menandakan Tuhan Tiada

slider
24 Juli 2022
|
2907

Bencana tak sekadar merusak alam, kadangkala ia juga merusak pondasi spiritualitas manusia. Bencana berikut penderitaan yang dihasilkannya seringkali menggiring manusia untuk bertanya “Tuhan yang Maha Penyayang ke mana?” “Apakah Tuhan sengaja dan tega menyiksa kita?” “Apakah Tuhan mau dunia ini berjalan tanpa bencana, namun Dia tidak sanggup menangkalnya?” “Apakah sebenarnya Tuhan itu jahat?” atau bahkan sebenarnya “Tuhan itu tiada?” Dalam filsafat agama, pertanyaan-pertanyaan semacam ini akrab dengan kajian teodisi.

Ditelisik secara etimologi, kata “teodisi” atau “teodisea” dalam bahasa Latin berakar dari kata “theos” (Tuhan; Allah) dan “dike” (keadilan) (Moa dan Purba, 2022). Franz Magnis Suseno dalam buku Menalar Tuhan merincikan bahwa teodisi lahir dalam upaya melakukan pembenaran terhadap keberadaan Allah dan sifat-sifat baik yang dimilikinya (Suseno, 2010).

Franz Magnis menambahkan bahwa urgensi pembenaran tersebut dilatari oleh adanya ketakserasian penderitaan dan hal-hal buruk di dunia dengan eksistensi Tuhan yang sedemikian baik lagi sempurna, sehingga kerap kali timbul keraguan tentang validnya keberadaan Tuhan, validnya sifat-sifat baik yang dimiliki Tuhan.

Pembumian teodisi barangkali teramat dibutuhkan agama-agama monoteisme, yakni agama-agama yang meyakini bahwa Tuhan yang berdaulat dan Mahabaik adalah Tunggal.

Menyoal konsep Tuhan, agama monoteisme meyakini bahwa Tuhan adalah Dia yang Mahasempurna, Mahabaik, dan Satu-satunya. Namun, konsep seperti itu menjadi masalah besar manakala Tuhan yang Mahatunggal dan Mahasempurna itu disinggungkan dengan fenomena-fenomena alam yang menyebabkan manusia menderita.

Jika Tuhan itu diposisikan sebagai satu-satunya dzat yang mengurusi alam semesta, berarti Tuhan juga yang mengizinkan penderitan itu hadir; Tuhan menjadi jahat sebab membiarkan makhluknya menderita?

Oleh karena demikian, meski Tuhan sebenarnya tidak memerlukan pembenaran dari kita, pembenaran itu tetap perlu dilakukan oleh orang-orang beriman, sekurang-kurangnya untuk merespons mereka yang meminta pertanggungjawaban dan argumen logis atas statement bahwa Tuhan adalah Tunggal, Kuasa, dan Mahabaik.

Gottfried Wilhelm Leibniz dan Argumen Teodisinya

Bernama lengkap Gottfried Wilhelm Leibniz, sebagian menulis Gottfried Wilhel Von Leibniz. Leibniz merupakan buah cinta dari Friedrich Leibnutz (1597-1652) seorang profesor filsafat moral di Universitas Leipzig, dengan istri ketiganya yang bernama Catherina Schmuck (1621-1664). Leibniz lahir pada 1 Juni 1646 di Leibzig (Suseno, 2010).

Leibniz masyhur sebagai orang pertama yang menggaungkan istilah teodisi. Ia mengabadikan gagasan teodisinya dalam sebuah karya tulis berjudul Essais sur la Théodicée Bonte de Dieu, la Liberté de l’homme et l’origine du mal (Teodisi: Esai tentang Kebaikan Tuhan, Kebebasan Manusia, dan Keaslian Sifat Setan).

Lewat karya tersebut, Leibniz dengan gamblang berupaya membela keberadaan Tuhan yang senantiasa diragukan manakala disinggungkan dengan problem penderitaan, yang satu di antaranya tersulut musabab bencana.

Adapun argumen teodisinya ia lontarkan dengan dua cara, yakni melalui penjelasan vertikal dan horizontal. Penjelasan vertikal disampaikan Leibniz dengan menggambarkan bagaimana dirinya sebagai manusia memandang Tuhan. Penjelasan horizontal disampaikan Leibniz dengan menggambarkan bagaimana dirinya sebagai manusia memandang sesamanya (manusia lainnya).

Penjelasan vertikal, Leibniz mengindahkan bahwa Tuhan memiliki tiga kodrat: kodrat rasional (kebijaksanaan), kodrat kehendak (tertuju pada kebaikan), dan Mahakuasa (mencipta sesuatu) (Leibniz, 2007).

Pertama, kodrat rasional Tuhan. Bagi Leibniz, kodrat Tuhan adalah bijaksana. Dia memang tidak menciptakan dunia tanpa penderitaan, namun dengan kebijaksanaannya Tuhan telah menjadikan dunia sebaik mungkin, dunia versi terbaik. Sebab dunia tanpa penderitaan tidak menjamin terciptanya kehidupan yang lebih baik dari kehidupan saat ini.

Adapun alam semesta ini tercipta dengan tiga rasionalitas: pertama, rasionalitas mungkin atau potensial “akan terjadi atau tidak”, kedua, rasionalitas aktual “seharusnya terjadi”, dan ketiga, kondisional. Maka dari itu, logika sederhana akan membawa kita pada pemahaman bahwa fenomena penderitaan (bencana) merupakan sesuatu yang memang boleh terjadi di dunia, entah sebagai potensi, aktual, maupun kondisional.

Kedua, kodrat kehendak. Kehendak Tuhan dibagi oleh Leibniz pada dua kategori: antesenden dan konsekuen. Kehendak antesenden adalah kehendak Tuhan agar manusia memperoleh kebaikan. Kehendak antesenden merupakan kehendak Tuhan untuk mengupayakan yang baik-baik untuk manusia (makhluknya).

Sedangkan kehendak konsekuen adalah kehendak Tuhan untuk memberikan peringatan kepada makhluknya manakala melakukan kesalahan. Oleh karenanya, penderitaan (bencana) menjadi sesuatu yang memang boleh terjadi. Bahkan secara tidak langsung terjadinya penderitaan merupakan salah satu bukti dari Mahabaiknya Tuhan.

Ketiga, kodrat Mahakuasa Tuhan. Kodrat Mahakuasa Tuhan adalah kebebasan Tuhan untuk merealisasikan kehendak-Nya. Namun perlu digarisbawahi, bahwa menurut Leibniz, Tuhan tidak pernah menggunakan kekuasan-Nya secara sewenang-wenang. Dia selalu menegasikannya dengan kehendak antesenden-Nya, kehendak untuk memberikan yang terbaik bagi manusia.

Penjelasan horizontal, Leibniz berpendapat bahwa manusia merupakan gambaran Tuhan, manusia adalah bagian dari Tuhan, namun beda sangat secara signifikan. Tuhan sempurna dan memiliki kehendak tak terbatas dalam segala segi, sedang manusia sebaliknya, manusia juga sempurna namun kesempurnaannya terbatas. Begitupun kehendak manusia, manusia diberi kebebasan dalam berkehendak, namun kehendak manusia tetap memiliki batasan.

Mengutip tulisan Leibniz, “For God could not give creature all without making of it a God; there fore there must needs be different degrees in the perfection of things, and limitations also of every kind” (Leibniz, 2007). Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Tuhan senantiasa diposisikan sebagai yang sempurna sedang manusia selalu dibawahnya senantiasa terbatas.

Selain itu, kehendak manusia juga tidak sepadan dengan kehendak Tuhan. Kodrat kehendak Tuhan selalu bermuara pada kebaikan (antesenden dan konsekuen). Sedangkan kodrat kehendak manusia masih ambigu, boleh jadi cenderung pada yang baik, boleh jadi cenderung pada yang jahat.

Maka jika disinggungkan dengan penderitaan (bencana) yang hadir di alam semesta, selain terjadi atas kehendak baik Tuhan, bisa jadi penderitaan (bencana) juga didalangi oleh manusia. Manusia yang sembarangan menggunakan kehendak bebasnya, yang justru memilih dan cenderung pada yang buruk hingga menimbulkan penderitaan dan kepelikan bagi manusia lainnya.

Merenungi Bencana, Meyakini bahwa Tuhan adalah Ada

Sebagaimana paparan argumen teodisi Leibniz di atas, Leibniz mengatakan bahwa alam semesta telah diciptakan dalam versi sebaik-baiknya. Versi sebaik-baiknya alam semesta bukanlah alam yang di dalamnya manusia terhindar dari penderitaan (bencana), melainkan sebaliknya, kadang kala atas nama Kemahabaikan Tuhan, Tuhan sengaja menimbulkan penderitaan untuk manusia.

Adapun motif Tuhan menciptakan penderitaan adalah beragam dan tak dapat terdeteksi sepenuhnya oleh manusia. Leibniz meyakini bahwa apa pun yang dilakukan Tuhan di dunia adalah selalu baik, sebab Tuhan selalu bekerja dengan kehendak antesenden dan konsekuen-Nya.

Disinggungkan dengan penjelasan horizontal, penjelasan yang mengatakan bahwa fenomena penderitaan (bencana) terjadi sebab manusia gagal menggunakan kehendak bebasnya secara baik. Terbukti terjadi banjir akibat tangan manusia yang merusak alam, masyarakat yang lalai pada lingkungan, membuang sampah sembarangan hingga menyebabkan aliran sungai tersendat.

Lantas bagaiman menjelaskan banjir yang terjadi secara alami? Semisal karena hujan, bukan karena luapan air sungai yang tersendat sampah dan lain sebagainya.

Disinggungkan dengan penjelasan vertikal, yang mengatakan bahwa alam dan fenomena di dalamnya selalu diadakan Tuhan sebagai sesuatu yang baik, sebaik-baiknya. Maka bisa jadi bencana banjir merupakan kebijakan Tuhan sebaik-baiknya, yang barang tentu di dalamnya memuat kebaikan.

Kalaupun dirasa banjir menderitakan manusia, maka sadarilah bahwa kita tidak pernah tahu barangkali ada sebagian makhluk Tuhan yang diuntungkan dari fenomena banjir tersebut.

Kalaupun tidak sanggup meyakini hal demikian, canangkanlah keyakinan bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik berkat kebijakan-Nya yang selalu berasaskan pada kehendak antesenden. Patut disadari pula bahwa kita tidak pernah tahu motif dan tujuan baik apa yang telah diskenariokan Tuhan di dunia, termasuk kebaikan apa yang diberikan Tuhan lewat bencana.

Referensi:

Leibniz, Gottfried Wilhelm, 2007, Theodicy: essays on the goodness of God, the freedom of man, and the origin of evil, translated, E.M. Huggard, Charleston, South Carolina: BiblioBazaar.

Moa, Antonius, dan Imanuel Purba, “Kejahatan dan Hubungan dengan Allah: Suatu Uraian Deskriptif-Kritis atas Pemikiran Leibniz”, dalam Logos, Vol. 19, No. 1, Januari 2022.

Suseno, Franz Magnis, 2010, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fajar Sidik

Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga yang mencoba membiasakan diri membaca dan menulis