Serat Wedhatama

slider
13 Oktober 2018
|
4650

Bila kata-katanya dipecah-pecah, Serat Wedhatama memiliki arti katanya masing-masing. Serat berarti tulisan, Wedha bermakna ajaran atau ilmu pengetahuan, sedangkan tama berasal dari kata utama yang berarti kebaikan. Apabila digabungkan, Serat Wedhatama adalah karya sastra dalam bentuk tembang sebagaimana dinyatakan pada bagian awal serta tersebut yang berbunyi sinawung resmining kidung yang artinya dihias dengan indahnya lagu (tembang).

Serat Wedhatama, sarat akan nilai-nilai religius. Targetnya adalah olah rasa. Pendidikan, misalnya, menurut Serat Wedhatama, tujuannya adalah olah rasa, menyingkirkan hawa nafsu agar menjadi manusia yang berbudi luhur, rasa tidak ditumpulkan maka hidupnya akan indah. Banyak orang yang pinter tapi lemah budinya. Agama menumbuhkan jiwa dan ilmu yang luhur. Kebaikan itu indah maka cara memberi tahunya juga harus indah.

Tersentuhnya jiwa jalurnya banyak. Tersentuhnya itu kadang-kadang saat kita jalan-jalan, kadang pas lagi apa, bahkan ketika membaca Al-Quran sendiri pun kadang kita malah tidak tersentuh. Sebab tak terolah rasa.

Orang yang sudah kesengsem atau bahagia rohani, itu mau dihina atau dikatakan bodoh dia akan biasa-biasa saja, tidak marah, bahkan ketawa-ketawa saja. Sebab olah rasa telah bekerja. Sedangkan olah pikir adalah jembatan untuk menuju olah rasa.

Jangan sampai hidup yang sekali ini berantakan (uripe sepisan rusak). Cirinya adalah nalar tidak berkembang dan pikirannya kacau (nora mulur nalare pating seluwir). Ibarat dalam gua yang gelap (kadi ta guwa kang sirung). Ketika hidup tidak dicahayai oleh ilmu, maka hidup akan gelap seperti dalam gua.

Ngelmu iku kelakone kanthi laku, lekase lawan kas (Ilmu itu dapat dicapai dengan cara laku, ada rumus tirakatnya, dimulai dengan kemauan). Tegase kas nyantosani; setya budya pangkese dur angkara (Maksudnya kemauan yang menguatkan; ketulusan budi dan usaha sebagai penakluk kejahatan). Kenapa banyak orang yang berilmu melakukan kejahatan, korupsi, ddan keburukan lainnya? Karena ilmunya tidak mencahayai hidupnya.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana agar hidup bercahaya dan jalan ilmu apa saja yang harus ditempuh?

Dalam Serat Wedhatama, langkah pertama yang harus dilakukan adalah jangan iri, jangan dengki. Kedua, tidak gampang ngamukan. Ketiga, jangan mengganggu orang lain, jangan jahil. Keempat, jangan melampiaskan hawa nafsu. Kelima, lebih senang (baik) diam agar tenang. Misalnya kalau Facebook-an membuat pikiran menjadi keruh, jauhi! Jangan dibuka! Nah, untuk menempuh itu semua, dianjurkan agar berguru pada orang yang bijak, yang berjiwa pertapa, SKM (sarjana kang martapi).

Dalam Serat Wedhatama sendiri kurang sepaham dengan corak keislaman yang formalistik. Hal ini terlihat pada sindiran terhadap anak muda yang dianggap suka meniru Nabi (manulad nelad Nabi). Tapi menirunya itu hanya untuk pamer setiap waktu di masjid (saben seba mampir mesjid).

Menurut Serat Wedhatama, apa yang dilakukan oleh anak muda tersebut baru sampai pada syariat, belum kepada hakikat (anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi). Sama seperti beragama dengan gaya palaran (kalamun maca kotbah, lelagone dandanggendis, swara arum ngumandang cengkok palaran). Padahal beragama secara biasa-bisa saja sudah cukup (sathithik bae wus cukup), jangan bersemangat meniru ahli fikih (nelad kas ngepleki pekih). Belum mampu tetapi berani memaknai lafaz seperti Sayid dari Mesir (Durung pecus keselak becus, amaknani rapal kaya Sayid seka Mesir). Aneh, tidak suka ke-Jawa-annya, lalu memaksa diri untuk mencari pengetahuan di Mekkah (elok jawane den mohi, paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekkah). Padahal, inti pengetahuan yang dicari itu ada pada diri sendiri. Asal mau berikhtiar atau berusaha, di sana (Mekkah) dan di sini (Jawa) tidak jauh beda.

Ada satu lagi yang dikritik Mangkunegara dalam hal formalitas beragama adalah tidak menggunakan pengetahuan untuk mencari nafkah dan pamrih (kawruhe kinarya ngupaya kasil lan melik). Niatkan saja mencari ilmu, perihal nanti kamu dapat apa atau habis lulus, wisuda, nanti kerja di mana, itu urusan belakangan.

Contoh sederhananya, kenapa orang yang bolak-balik membaca buku tatapi sehabis membaca malah tidak ada yang nyantol. Atau mendengar dan memperhatikan dosen saat mengajar di kelas, pas pulang lupa dan tak ada ilmu yang dibawa pulang. Kenapa begitu? Karena tujuan akhirnya dari dia kuliah adalah menggunakan ilmunya nanti untuk mencari nafkah, untuk mencari pekerjaan sehingga hidupnya tidak dicahayai oleh ilmu. Jadinya memperalat ilmu untuk kepentingan keduniawian.

Untuk tidak seperti itu, ada beberapa laku utama yang harus diperhatikan oleh para pencari ilmu. Pertama, rela jika kehilangan ilmu (lila lamum kelangan nora gegetun). Kedua, menerima dengan sabar jika mendapatkan perlakuan yang menyakitkan hati (trima lamun ketaman saserik sameng dumadi). Sebagai laku, orang yang berilmu akan mudah memaafkan. Ketiga, ikhlas menyerahkan diri pada Tuhan (legawa nalangsa srah ing Bathara).

Apabila tiga laku itu tidak dipunyai oleh para pencari ilmu, maka ia akan jatuh kepada orang yang tak berilmu. Sehingga ia akan nggugu karsaning priyangga, nora nganggo peparah lamun angling, lumuh ing ngaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun ing samudana, sesadon ingadu manis. Yaitu menuruti kemauan sendiri, bila berbicara tanpa dipertimbangkan tetapi tidak mau dianggap bodoh, maunya dipuji-puji, tetapi manusia yang sudah waspada terhadap situasi disamarkan dengan samudana (bicara baik dengan wajah manis) prasangkanya selalu baik.

Terakhir, mengutip pesan dalam Serat Wedhatama:

Mangkono ngelmu kang nyata, sanyatane mung weh reseping ati, bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen denina, nora kaya sipunggung anggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip. Artinya, demikianlah ilmu yang nyata, senyatanya memberikan ketenangan hati, tetap senang dikatakan bodoh, tetap gembira bila dihina, tidak seperti si dungu yang selalu sombong, ingin dipuji setiap hari, janganlah seperti itu orang hidup.

Lanjut itu, Marma den taberi kulup, angulah lantiping ati, rina wengi den anedya, pandak panduking pambudi, bengkas kahardaning driya, supaya dadya utami. Pangasahe sepi samun, ayaw esah ing salami, samangsa wis kawistara, lalande mingis-mingis, pasah wukir reksamuka, kekes srabedaning budi. Maksudnya, oleh karena itu, rajinlah (wahai) anakku (dalam) menajamkan perasaan, siang malam berusaha, berusahalah selalu. Menghancurkan nafsu pribadi agar menjadi orang yang utama atau baik. Asahlah di alam sepi. Jangan berhenti selamanya. Apabila sudah terlihat, tajamnya luar biasa, dapat mengiris gunung penghalang. Lenyap semua penghalangnya budi.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, edisi-05 Jumat, 12 Oktober 2018/03 Safar 1440 H


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Silmi Novita Nurman

@moratorium_senja