Satu Al-Quran Ragam Tafsir
Al-Quran yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad Saw merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Al-Quran telah menjadi tuntunan hidup sejak diwahyukan hingga sekarang. Karenanya itu, tak heran jika kita mendapati banyak tafsir-tafsir yang muncul sejak Al-Quran diturunkan hingga sekarang. Hasil karya tafsir tersebut adalah, menurut penulis, salah satu jihad seorang hamba untuk menggali makna, nilai Al-Quran sebagai pedoman dalam setiap dimensi kehidupan.
Tulisan ini ingin melihat khazanah tafsir-tafsir di Indonesia yang merupakan bagian dari laku maupun tirakatan penafsir dalam menjelaskan wahyu dan kandungan Kalam Allah. Dengan demikian, melalui penafsiran, setidaknya pesan-pesan Allah dapat dipahami sesuai dengan kadar kemampuan maupun perangkat keilmuan audien. Hingga pada akhirnya Al-Quran benar-benar menjadi petunjuk dalam aspek kehidupan.
Sebelum membahas awal mula penulisan dan fokus penafsiran di Indonesia, ada baiknya penulis menjelaskan faktor yang melatarbelakangi munculnya penafsiran yang bervariasi. Perbedaan penafsiran bisa saja terjadi antara penafsir satu dengan penafsir yang lain yang sezaman maupun yang berbeda zaman. Setidaknya terdapat dua faktor yang mempengaruhi lahirnya beragam jenis tafsir.
Abdul Mustaqim dalam Dinamika Tafsir Al-Qur’an Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan hingga Modern-Kontemporer (2016), menjelaskan bahwa terdapat dua faktor penyebab lahirnya beragam jenis tafsir, yakni faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut melahirkan produk tafsir, aliran-aliran tafsir yang berbeda-beda.
Lebih lanjut Mustaqim memaparkan bahwa yang dimaksud dengan faktor internal adalah hal-hal yang ada dalam internal teks itu sendiri. Internal teks yang dimaksudkan di sini, jelas Mustaqim, adalah kondisi obyek teks Al-Quran yang bersifat tanawwu al-qira’at, memungkinkan untuk dibaca secara beragam. Adanya teks Al-Quran yang bersifat demikian, tentu memungkinkan terjadinya penafsiran yang berbeda.
Seperti ditunjukkan dari hasil riset Hasanuddin AF yang bertajuk “Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum dalam Al-Quran” tampak perbedaan dalam bacaan surah An-Nisa’ ayat 43, mengenai kalimat “aw lamastum al-nisa’” (atau kalian “menyentuh” perempuan lain). Perbedaan membaca lam secara panjang maupun pendek bisa menghasilkan penafsiran yang beda. Dari riset tersebut menyimpulkan bahwa memang kondisi objektif teks Al-Quran memungkinkan dibaca secara beragam yang berimplikasi lahirnya tafsir yang berbeda.
Kondisi internal teks yang kedua adalah keadaan obyektif teks Al-Quran yang bersifat musytarak. Yakni satu kata yang mempunyai banyak arti. Kata-kata dalam Al-Quran tentu banyak yang bersifat seperti itu. Mustaqim mengambil salah satu contoh kata al-qur’u dalam surah Al-Baqarah ayat 228. Kata tersebut dapat berarti suci, dapat pula bermakna haid. Jadi, tingkatan makna kata yang lebih dari satu memunculkan tafsir yang berbeda.
Selanjutnya yang menyebabkan munculnya tafsir yang beragam adalah faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar teks Al-Quran. Seperti situasi dan kondisi yang melingkupi para mufassir dan audiennya, baik kondisi sosio-kultural, konteks politik, pra-anggapan dan sebagainya. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kedua faktor baik internal dan eksternal turut memainkan peran penting yang tidak bisa terelakkan memicu munculnya produk tafsir yang tidak berwajah satu.
Mengacu pada kedua faktor tersebut, karya tafsir di Indonesia tidak terlepas dari faktor internal dan eksternal seperti dijelaskan di atas. Khazanah tafsir di Indonesia sebenarnya cukup dinamis. Terbukti dari karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama Nusantara. Hal itu juga merupakan akibat yang masuk akal dari tautan antara teks Al-Quran yang statis dan konteks sosial yang dinamis. Kontribusi para ulama Nusantara dalam memajukan dan menyebarkan keilmuan di negeri ini lewat karya tafsirnya, patut disyukuri. Tentu ini menjadi sumbangan untuk umat dalam rangka memudahkan memahami petunjuk dalam Al-Quran.
Usaha untuk menuliskan tafsir Al-Quran yang dilakukan oleh para ulama Nusantara dapat dilacak mulai dari tahun 1922 hingga 1980-an. Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia: dari Herneneutika hingga Ideologi (2003) mengurutkan karya tafsir Indonesia berdasarkan periode waktu serta fokus tafsirnya. Dari situ, kita akan mengetahui bahwa fokus karya tafsir yang ditulis oleh ulama Nusantara ternyata cukup beragam. Ada yang fokus menafsirkan Al-Quran hanya pada surah tertentu, ada yang fokus pada juz-juz tertentu, dan ada yang fokus menafsirkan Al-Quran secara utuh 30 juz. Adapun penafsir yang fokus menafsirkan surah tertentu adalah Tafsir Surah Yasin dengan Keterangan (1951) oleh A. Hassan, Tafsir al-Qur’anul Karim, Surah al-Fatihah (1955) oleh Muhammad Nur Idris, dan Tafsir al-Quranul Karim, Yasiin (1951) oleh Adnan Yahya Lubis.
Sementara itu, karya tafsir yang fokus pada juz tertentu yakni, Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (1922) karya H. Abdul karim Amrullah, Al-Hidayah Tafsir Juz ‘Amma (1930) oleh Ahmad Hassan, Tafsir Djuz ‘Amma (1954) karya Adnan Yahya Lubis, Tafsir al-Quranul Karim, Djuz ‘Amma (1955) oleh Zuber Usman, Tafsir Juz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (1958) karya Iskandar Idris, Al-Abroor, Tafsir Djuz ‘Amma (1960) oleh Mustafa Baisa, dan Tafsir Djuz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (1960) oleh M. Said.
Selain tafsir yang fokus pada surah dan juz-juz tertentu, juga fokus menafsirkan Al-Quran 30 juz secara keseluruhan. Di antara produk tafsir itu adalah Tafsir Qur’an Karim (1957) H. Mahmud Yunus, Al-Furqan: Tafsir al-Qur’an (1962) Ahmad Hassan, Tafsir al-Qur’anul Karim (1959) H. A Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahman Haitami, Tafsir al-Qur’an oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fahruddin Hs., Tafsir Al-Bayan (1966) oleh TM. Hasby Ash-Shiddieqy, dan termasuk Tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah atau yang biasa dikenal Hamka. Terakhir, Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry.
Dari daftar tersebut terlihat bahwa Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam terus ditafsirkan. Tentu, penafsiran dilakukan untuk memahami atau memudahkan audien untuk memahami isi, makna dan petunjuk yang terkandung dalam Al-Quran. Laku para mufassir Nusantara dalam melahirkan produk tafsir menjadi bagian penting dalam rangka membumikan Kalam Allah.
Faktor internal dan ekstenal yang memunculkan beragama tafsir sebaiknya tidak dipandang sebatas faktor penyebab. Tetapi alangkah lebih baik kita juga menyadari bahwa mekanisme yang terkandung dalam faktor tersebut akan terus bekerja. Dengan menyadari keniscayaan proses kerja faktor tersebut, seharusnya sudah tidak ada lagi yang namanya klaim kebenaran tunggal dalam tafsir. Al-Quran adalah wahyu Allah yang kebenarannya mutlak, tetapi tafsir adalah produk manusia yang pastinya terdapat kekurangan, terbatas waktu dan kesesuaiannya dengan konteks zaman. Dengan menyadari bahwa tafsir adalah produk manusia, semestinya membuat kita semakin dewasa dalam melihat dan menyikapi beragam produk tafsir dengan segala corak dan kecenderungannya.
*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-31 Jumat, 28 Juni 2019/24 Syawal 1440 H
Category : buletin
SHARE THIS POST