Rentang Perkembangan Ilmu I'jaz Al-Qur'an

slider
slider
02 November 2020
|
6786

Al-Qur'an merupakan sebuah kitab suci pedoman bagi umat muslim diseluruh dunia. Diturunkan pada masa jahiliah dengan kondisi masyarakat yang menyembah berhala. Al-Qur'an berhasil mengambil hati sebagian orang yang mendengarnya hingga menyakini bahwa al-Qur'an sebagai wahyu yang memiliki keistimewaan makna dan pelafalan.

Berbagai reaksi timbul saat diturunkannya Al-Qur'an. Ada beberapa orang yang langsung menyakini dan ada juga yang menolak mengimani Al-Qur'an sebagai kitab suci. Mereka yang mengagumi keistimewaan Al-Qur'an mengikrarkan dirinya untuk memeluk ajaran Islam. Sedangkan yang lainnya menolak dengan beberapa alasan, di antaranya munculnya kekhawatiran akan kehilangan kedudukan politik, sosial, dan keagamaan dalam masyarakat.

Banyak tuduhan yang dilontarkan pada Al-Qur'an dan Nabi Muhammad Saw. Mereka menuduh Nabi Muhammad Saw bukan utusan Allah dan Al-Qur'an merupakan sebuah sihir karangan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana terungkap dalam surah Al-Muddaththir ayat 24.

┘ü┘Ä┘é┘ÄϺ┘ä┘Ä ÏÑ┘É┘å█í ┘ç┘Ä┘░Ï░┘ÄϺ┘ô ÏÑ┘É┘ä┘æ┘ÄϺ Ï│┘ÉÏ¡█íÏ▒┘× ┘è┘ÅÏñ█íϽ┘ÄÏ▒┘Å 

Artinya, “Lalu dia berkata: "(Al Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu)”.

Al-Qur'an menjawab segala tuduhan kepada Nabi Muhammad Saw dengan tegas dan menolak dengan keras sebagaimana dalam surah Yunus ayat 38.

Ïú┘Ä┘à█í ┘è┘Ä┘é┘Å┘ê┘ä┘Å┘ê┘å┘Ä ┘▒┘ü█íϬ┘ÄÏ▒┘Ä┘ë┘░┘ç┘Å█û ┘é┘Å┘ä█í ┘ü┘ÄÏú█íϬ┘Å┘êϺ┘Æ Ï¿┘ÉÏ│┘Å┘êÏ▒┘ÄÏ®┘û ┘à┘æ┘ÉϽ█í┘ä┘É┘ç┘É█ª ┘ê┘Ä┘▒Ï»█íÏ╣┘Å┘êϺ┘Æ ┘à┘Ä┘å┘É ┘▒Ï│█íϬ┘ÄÏÀ┘ÄÏ╣█íϬ┘Å┘à ┘à┘æ┘É┘å Ï»┘Å┘ê┘å┘É ┘▒┘ä┘ä┘æ┘Ä┘ç┘É ÏÑ┘É┘å ┘â┘Å┘åϬ┘Å┘à█í ÏÁ┘Ä┘░Ï»┘É┘é┘É┘è┘å┘Ä 

Artinya, “Atau (patutkah) mereka mengatakan ‘Muhammad membuat-buatnya’. Katakanlah: ‘(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar’”.

Surah Yunus ayat 38 terang berisi tantangan bagi yang meragukan Al-Qur'an untuk membuat semisal al-Qur'an satu ayat saja. Namun, sepanjang sejarah belum ada satu orang pun yang mampu menandingi kemukjizatan Al-Qur'an.

Salah seorang yang berusaha untuk menandingi Al-Qur'an ialah Musailamah Al-Kazzab yang terkenal dengan ayat-ayat palsu lagi bernilai buruk, sangat lemah, dan tidak berkelanjutan oleh para sastrawan. Contoh ayat palsu yang dikarang Musailamah, yaitu ┘êϺ┘ä┘ü┘è┘ä ┘ê┘àϺ ϺϻÏ▒Ϻ┘â ┘àϺ Ϻ┘ä┘ü┘è┘ä ┘ä┘ç Ï▓┘ä┘ê┘à ÏÀ┘ê┘è┘ä (Dan gajah, tahukah kamu apa itu gajah? Ia memiliki perawakan yang panjang).

Ketidakmampuan para penyair menandingi Al-Qur'an menjadi bukti bahwa Al-Qur'an merupakan wahyu yang diturunkan langsung oleh Allah Swt. Para pujangga dan ahli bahasa pada masa klasik telah menuliskan hal tersebut, yang paling mashur ialah Al-Jahiz dalam karyanya Hujaj an-Nubuwwah.

Ia mengatakan bahwa bangsa Arab jahiliah yang terkenal fasih, memiliki harga diri yang tinggi, dan pandai berbicara tidak mampu menandingi Al-Qur'an. Padahal, perkara ini lebih mudah daripada memerangi kaum muslim yang berujung kehancuran dan kegagalan.

Pada abad ke-3 H/9 M muncul disiplin ilmu i’jaz yang membahas fenomena kemukjizatan Al-Qur'an dari segi makna maupun struktur. I'jaz Al-Qur'an membahas kekuatan susunan lafal dan kandungan Al-Qur'an. Beberapa tokoh terkenal yang berkontribusi dan mengkaji i'jazul Qur'an yaitu Ar-Rummani, Al-Khaththabi, Al-Baqillani, Qadhi Abdul Jabbar, Al-Jurjani, Zamakhsyari, dan lain-lain.

Ar-Rummani sebagai orang pertama yang menggunakan kata “i’jaz” dalam buku yang berjudul an-Nukat fi I'jaz al-Qur'an. Ia menjelaskan tujuh gagasan dalam Al-Qur'an, yakni Al-Qur'an yang tidak tertandingi; tantangan Al-Qur'an yang berlaku umum; ash-sharfah (ketidakmampuan seseorang untuk menirukan Al-Qur'an), balaghah, kejadian dimasa mendatang; keistimewaan Al-Qur'an yang berbeda dengan puisi atau prosa; dan perbandingan Al-Qur'an dengan kitab lainnya.

Dari tujuh gagasan tersebut, Ar-Rummani menitikberatkan kemukjizatan Al-Qur'an pada gaya bahasa (balaghah) dan menyimpulkan bahwa balaghah Al-Qur'an berada pada tingkatan tertinggi, sedangkan manusia hanya mencapai tingkatan terendah.

Al-Khaththabi (w. 388 H/988 M) dalam bukunya Bayan I'jaz al-Qur'an mengkritik pemikiran Ar-Rummani terkait ash-sharfah. Ia menganggap bahwa manusia mampu membuat ayat untuk menandingi Al-Qur'an atau menyamai Al-Qur'an jikalau Allah tidak memalingkan manusia untuk melakukannya.

Al-Khaththabi juga menolak topik “Tantangan Al-Qur'an berlaku umum”. Menurutnya hal tersebut bukanlah sebuah i'jaz (kemukjizatan Al-Qur'an). Meskipun demikian, ia sangat mendukung pendapat Ar-Rummani yang menjadikan balaghah sebagai salah satu unsur i'jaz dalam Al-Qur'an.

Al-Khaththabi juga menegaskan bahwa pengaruh balaghi suatu kata tidak hanya dipengaruhi oleh pemilihan kata (diksi) saja, melainkan juga struktur yang merangkai kata tersebut. Sehingga penggantian satu unsur dalam sebuah struktur saja mampu mengubah makna dan menghilangkan keestetikan sebuah ayat.

Al-Baqillani (w. 403 H/1013 M) mendukung pendapat Al-Khaththabi, bahwa balaghah menjadi salah satu keunikan Al-Qur'an. Ia menjelaskan bahwa tidak ada pembatasan untuk kemukjizatan Al-Qur'an hanya pada gaya bahasanya saja. Ia juga mengakui informasi dan hal gaib yang disampaikan Al-Qur'an serta peristiwa masa depan yang diletakkan pada urutan pertama, kemudian kisah orang terdahulu dari Nabi Adam as.

Al-Baqillani mengatakan bahwa keunggulan balaghah dalam Al-Qur'an bersifat konstan dengan seluruh bagian berada pada tingkatan tertinggi. Berbeda halnya dengan karya manusia pasti memiliki kualitas yang kadang naik turun. Hal ini ia buktikan dengan kritik terhadap Al-Mu'allaqah-nya Imru’ Al-Qais dan kasidah Lamiyyah-nya Al-Bukhturi.

Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H/1025 M) menerangkan bahwa i'jaz dalam Al-Qur'an terletak pada uslub, kefasihannya membuat bangsa Arab lemah dan tidak berdaya menandinginya. Dalam buku Al Mughni fi Abwab at-Tawhid wa al Adl, Abdul Jabbar menjelaskan bahwa fushahah merupakan sebuah komponen keistimewaan lafaz dan makna, sedangkan kefasihan Al-Qur'an berada pada tingkatan tertinggi.

Tokoh lain yang membahas kemukjizatan Al-Qur'an dari segi nazhm (pemilihan kata atau struktur) ialah Abdul Qahir Al-Jurjani (w. 470 H/1078 M) yang menjelaskan secara teoritis-metodologis melalui kitab Dala'il Al-I'jaz dan Asrar Al-Balaghah.

Al-Jurjani mempertalikan nazhm dan majaz balaghah. Karya Al-Jurjani ini menjadi salah satu puncak kajian i'jazul Qur'an karena beliau tidak hanya menjelaskan pada tahap bayaniyyah saja melainkan hingga badi'iyyah.

Dalam bidang tafsir, sulit ada yang menandingi kehebatan Az-Zamakhsyari (w. 538 H/1144 M). Ia mampu menggunakan balaghah dalam memahami teks Al-Qur'an dan menyoroti i'jaz serta uslub-nya, seperti dalam kitab Al-Kasysyaf. Zamakhsyari mampu menggunakam tafsir balaghiy untuk menganalisis dan mempertalikan ayat demi ayat secara menyeluruh. Sayangnya setelah Zamakhsyari, tidak ada ahli tafsir yang mampu menafsirkan ayat al-Qur'an secara balaghiy.

Sepanjang abad ke-20, muncul beberapa tokoh yang mencoba meyederhanakan i'jazul Quran. Muhammad Abduh (w. 1905) dalam kitab Risalah At-Tauhid yang memfokuskan kajiannya pada mukjizat yang menjadikan bangsa Arab dan bangsa lainnya mengaku lemah sebagai bukti kenabian Nabi Muhammad Saw.

Selanjutnya, terdapat Mushthafa Shaddiq Ar-Rafi'i (w. 1973) yang menulis buku I'jaz Qur'an wa al Balaghah an Nabawiyyah. Menurutnya, i’jaz dalam Al-Qur'an mencangkup ketidakmampuan manusia untuk membuat mukjizat dan berlanjutnya ketidakmampuan tersebut.

Adapun Sayyid Qutb (w. 1966) berhasil memberikan estetik dan retorika uslub dalam Al-Qur'an seperti dalam karyanya Masyahid al-Kiamah fi al-Qur'an. Sayyid Qutb tidak menolak tiga hal yang dikemukakan tokoh sebelumnya mengenai penetapan hukum yang sesuai dengan ruang dan waktu, pemberitaan masalah gaib dan pemberitahuan waktu yang akan datang, dan informasi penciptaan manusia dan alam semesta. Al-Qur'an sendiri, menurut Sayyid Qutb, sejak awal diturunkan mampu memberikan pengaruh kuat terjadap jiwa melalui metode bertuturnya.

Pada 1964 terbit buku I'jazul Quran karya Abdul Karim Al-Khatib yang menjelaskan i'jaz memiliki empat sisi, yaitu kebenaran mutlak; kedudukan yang tinggi; penampilan yang bagus; nuansa ruhaniah.

Sementara memahami i’jaz Al-Qur'an melalui kebahasaan yang murni dilakukan oleh Aisyah Abdurrahman (1912-1998) dengan menggunakan metode induktif. Misalnya, tidak digunakannya fa'il (subjek), penggunaan fi'il mabni lial majhul (verbal pasif/subjek tidak dikenal) untuk menjelaskan kondisi kebangkitan dan hari kiamat.

Pengamatan Aisyah Abdurrahman terkait penggunaan verba muthawa'ah untuk menggambarkan akhirat. Kesimpulan yang dapat diambil dari pemikiran Aisyah Abdurrahman adalah i'jaz Qur'an terbangun atas gaya bahasa yang tidak tertandingi dan penggunaannya terhadap bahasa Arab, beserta kecermatan, kejujuran, dan kedalaman makna dalam menyeru pada kebaikan dan kesuksesan.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Bening Permata Dini

Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.