Perempuan dari Balik Harem

17 Januari 2018
|
1317

Gadis cilik itu lagi-lagi mengintip dari lubang kunci, mengamati hiruk-pikuk di luar. Ia sangat senang melihat orang berlalu-lalang dengan segala kesibukannya. Ia ingin sekali bergabung dengan kelindan aktivitas manusia di luar sana. Namun, bangunan dengan tembok amat tinggi menghalanginya. ÔÇ£Terkutuklah harem ini!ÔÇØ jerit si gadis cilik di dalam hati. Saya membayangkan adegan seperti itu terjadi saat Pak Fahruddin Faiz mulai menyampaikan materi pada suatu Rabu, pada bulan April. ÔÇ£Bulannya perempuanÔÇØ, demikian tema poster Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman (MJS) Kolombo, Yogyakarta pada saat itu. MJS, masjid tempat semua hal yang terlihat eksklusif, biasa mengemas dan menyajikan materi ngaji tanpa ndakik-ndakik. Tak terkecuali perbincangan tentang filsafat yang bagi sebagian dari kita sering kali tampak sebagai ilmu mbulet. Ilmu yang sampai-sampai mempertanyakan, Tuhan itu ada atau nggak. Padahal, Tuhan hanya menjadi salah satu topik bahasan dalam kajian Filsafat. Perempuan pun sebenarnya juga menjadi salah satu objek bahasan yang bahkan dimuliakan dalam kajian-kajian kefilsafatan seperti itu. ÔÇ£Iblis itu sukanya mencari teman biar sama-sama lalai dan celaka karena rupanya, bagi Iblis, dia sendiri yang celaka saja tidak cukup. Mesti mencelakakan orang lain juga. Contohnya, kamu nggak kuat lihat temanmu rajin, lalu kamu cemooh segala aktivitas rajinnya itu. Akhirnya, temanmu jadi ikut-ikutan malas.ÔÇØ kata Pak Faiz pada sesi awal Ngaji Filsafat. Seperti biasa, beliau mengantarkan kita menuju perenungan dan refleksi tentang kehidupan sehari-hari. Sungguh, Ngaji Filsafat dapat menjadi re-charge untuk semangat dan energi positif yang pelan-pelan luntur karena rutinitas harian dalam satu minggu. Pada sesi Rabu malam sebelumnya, kita diajak Pak Faiz untuk melihat kondisi perempuan di belahan dunia yang dalam pandangan kita amat modern, yaitu Amerika. Ternyata, kemodernan itu tidak lantas membuat perempuan bebas berekspresi. Perempuan dikungkung dengan pemikiran ala patriarki: ibu rumah tangga seumur hidup adalah tugas mulia. Dalam konteks masa itu, muncullah tokoh feminis yang memperjuangkan pembebasan pemikiran dan hak-hak perempuan, Betty Friedan. Nah, kali ini kita diajak melompat ke Maroko dengan latar belakang kebudayaan yang menyentuh seorang gadis ÔÇ£nakalÔÇØ bernama Fatima Mernissi. Kegelisahan atas interpretasi hak perempuan Fatima Mernissi merupakan pelopor gerakan perempuan feminisme dalam Islam. Melihat situasi di Maroko yang sangat kental budaya dan simbol keislamannya, diskriminasi terhadap perempuan merupakan bagian dari adat istiadat yang sudah lama ada. Parahnya, fenomena tersebut beranjak dari dalil-dalil Islam yang mengungkapkan tentang hierarki perempuan di bawah laki-laki. Oleh karena dasar yang dipakai untuk melanggengkan adat tersebut berasal dari dalil, maka siapa pun tidak berani menggugat, khususnya perempuan. Setiap hari mereka menerima nasib dikurung di dalam harem. Jika mereka keluar harus bersama muhrim laki-laki, pasrah terhadap nasib dipoligami, tidak boleh mengenyam pendidikan. Bahkan, dalil tentang beribadah pun terkadang menyulitkan perempuan. ÔÇ£Sering kali kita dengar ada amalan dengan iming-iming pahala fantastis. Syaratnya, melakukan ibadah tidak putus selama 40 hari. Misalnya, membaca Alquran surat A, B, atau C. Kalau bagi laki-laki mungkin gampang. Akan tetapi, bagi perempuan, wah, jelas nggak bisa 40 hari berturut-turut. Akhirnya, yang dapat pahala besar cuma laki-laki,ÔÇØ seloroh Pak Faiz dalam candaan yang ringan sekaligus satire sehingga membuat jamaah tergelak. Fatima Mernissi kecil gelisah. Kecerdasan dan kekritisannya dalam melihat fenomena seperti itu ternyata sudah terbangun sejak kecil. Di bawah asuhan neneknyaÔÇöyang merupakan istri kesembilan dari kakeknyaÔÇödan ibunya, Fatima kecil sering mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan nakal yang membikin pusing orang di sekelilingnya. ÔÇ£Jika memang harus dipisah antara laki-laki dan perempuan, mengapa perempuan yang kebagian porsi untuk dikurung di dalam harem? Mengapa bukan laki-laki saja? Kok, kami sebagai perempuan yang mendapat bagian susahnya?ÔÇØ Fatima bertanya-tanya dalam hatinya, ÔÇ£Benarkah Islam yang mengajarkan diskriminasi seperti itu?ÔÇØ Ibu dan neneknya sering kali menceritakan Islam sebagai agama yang ramah dan lembut. Demikian juga dengan cerita tentang kepribadian Rasulullah yang penyayang, sangat membekas di benak Fatima. Apa iya, Rasul yang sedemikian lembutnya, menyabdakan diskriminasi terhadap perempuan di dalam hadis-hadisnya? Atau, sebenarnya semua itu hanyalah konstruksi sosial? ÔÇ£Nak, jika kau ingin memberontak terhadap belenggu yang menggelisahkanmu, jadilah secerdik Syahrazad dalam Hikayat 1001 Malam. Tanpa menggunakan kekuatan fisik, Syahrazad yang sudah di bawah pedang Sang Sultan, dapat membuat Sultan berubah pikiran dengan cerita-ceritanya. Jadilah cerdik dan sesekali nakal untuk itu!ÔÇØ nasihat ibunya pada suatu kali, seperti sudah memahami bahwa kegelisahan anaknya tidak cukup sampai di pertanyaan-pertanyaan kritis. Kekritisan, kegelisahan, kenakalan, dan kecerdikan, mengantarkan Fatima Mernissi menjadi perempuan yang berani membongkar akar permasalahan diskriminasi yang dialami oleh perempuan dalam adat istiadat Islam. Khususnya, dalam kebudayaan bermasyarakat di Maroko. Fatima Mernissi mengkritisi dalil-dalil yang sering digunakan untuk membenarkan perilaku diskrimiatif. Buku-bukunya (salah satunya merupakan disertasinya) berusaha membongkar upaya pemakaian tafsir dalil yang dipakai untuk melanggengkan kepentingan tertentu. Kepentingan siapa? Berdasarkan penelitian Fatima Mernissi, 95% ahli tafsir adalah laki-laki. Oleh karena itu, dalil ditafsirkan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Tafsir ayat tidak lain dan tidak bukan dibangun berdasarkan kepentingan politik dan kuasa pada zaman itu. Saat Pak Faiz menjelaskan bagian tersebut, saya menjadi berpikir barangkali para ahli tafsir berjenis kelamin lelaki itu berupaya melanggengkan syahwatnya dalam kemasan ayat dan dalil. Ada contoh yang bagi saya sangat mencengangkan. Di dalam Alquran, tidak pernah ada satu ayat pun yang menyebutkan jumlah pasti bidadari yang ada di surga. Namun, para ahli tafsir laki-laki rupanya berebut untuk menafsirkan jumlah bidadari surga tersebut. Ada yang menyebut 72, ada yang sampai menyentuh angka 4000. Menyenangkan bagi mereka bukan, membayangkan hidup abadi di surga dikelilingi perempuan-perempuan yang luar biasa cantik dengan jumlah yang sangat banyak? Mengerikan! Ternyata, ada ayat dan hadis yang tafsirnya dipakai untuk melanggengkan pemikiran seperti itu. Di sisi lain, doktrin tentang api neraka yang menyala-nyala pun cukup membungkam perempuan terhadap kegelisahan dan keterpurukan mereka selama ini. Islam memuliakan perempuan Fatima Mernissi adalah seorang muslimah yang taat. Seberapa pun dia shock dan kecewa atas realita yang terjadi pada masyarakatnya, Fatima tidak lantas membenci Islam itu sendiri. Dia menyadari bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu menafsirkan segala sesuatu berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Manusia adalah self-interpreted being alias makhluk yang suka tafsir-tafsiran. Ditambah lagi dengan adanya kepentingan-kepentingan subjek penafsir. Maka, Fatima menggunakan metode Hermeneutik Substansial untuk membongkar fenomena seperti ituÔÇösemacam hermeneutika yang diawali dengan kecurigaan terhadap sesuatu yang lebih besar dan sublim selain tafsir itu sendiri. Tidak mungkin, kata Fatima, Islam mengajarkan diskriminasi seperti itu. Fatima berangkat dari basis nilai Islam, yaitu:
  • Tauhid. Hanya ada dua elemen di alam semesta ini, yaitu Khaliq dan Makhluk. Oleh karena itu, tidak ada hierarki antara sesama makhluk, baik itu laki-laki maupun perempuan.
  • Keadilan. Keadilan ini bisa berarti sama maupun proporsional, dengan tujuan mempertahankan keseimbangan.
  • Takwa. Hati kita yang selalu sadar akan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari akan membuat kita tidak akan melakukan diskriminasi, merusak alam, dan menyakiti sesama.
  • Kebaikan. Setiap yang diajarkan dalam Islam selalu mengandung nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Di dalam Alquran ada dua ayat yang dijadikan Fatima sebagai rujukan konsep kesetaraan. Keduanya adalah Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan untuk saling mengenal dan Al-Ahzab ayat 35. Pak Faiz mengatakan bahwa dalam ayat tersebut seluruh sebutan untuk laki-laki dan perempuan (contoh: muslimin-muslimat, mukminin-mukminat, dan lain-lain) disebutkan oleh Allah dan semuanya akan mendapat pahala dengan satu syarat, yaitu bertakwa. Jelaslah bahwa Allah melihat konteks ketakwaan, bukan jenis kelamin. Maka, jika di dalam masyarakat terdapat konsep pembagian kerja, seperti laki-laki mencari nafkah dan perempuan mengurus rumah, bukan karena yang satu dianggap lebih mulia daripada yang lain. Namun, karena terkait dengan fungsi dan kondisi untuk saling melengkapi. Fatima juga menandaskan dengan cermat bukti-bukti peran dan partisipasi perempuan dalam sejarah. Perempuan sahabat Nabi sangat banyak, sekitar 1500 orang. Mereka memiliki peran yang besar dalam perang, bahkan sampai terjun ke medannya. Kaum sahabat perempuan juga mengambil peran dalam sumpah setia baiat. Mereka pun turut memberikan banyak sumbangan dalam proses penulisan hadis. Belum lagi, jika kita berbicara tentang berbagai peran istri Nabi dalam mendukung dakwah. Salah satu contoh yang disebutkan pak Faiz adalah Khadijah. ÔÇ£Khadijah adalah konsultan Nabi dalam proses awal dakwah menyebarkan Islam. Dengan banyaknya link Khadijah, maka jalan Nabi sedikit dipermudah. Belum lagi, Khadijah yang berstatus pedagang besar atau konglomerat pada masa itu. Dialah juga yang memodali keperluan dakwah Nabi. Maka, ketika Khadijah meninggal, Nabi pun sangat bersedih,ÔÇØ kata pak Faiz. Banyaknya bukti peran perempuan dalam sejarah Islam membuat Fatima sangat menyayangkan para mufasir yang seakan menutupi keterlibatan kaum perempuan. Selain itu, Fatima juga mengkritik keras hadis-hadis yang bermuatan misoginis (kebencian terhadap perempuan). Fatima mengkritisi muatan hadisnya dan menelusuri sejarah para perawi pertama hadis tersebut. Dari penelitiannya, Fatima mendapati kenyataan bahwa beberapa perawi pertama mempunyai sentimen tersendiri terhadap perempuanÔÇöyang mungkin bisa jadi membuat mereka tidak objektif dalam menafsirkan hadis. ÔÇ£Kritislah dalam melihat dalil! Kita harus membaca visi teks tersebut secara holistik dan teks harus mengandung basis nilai tauhid, ketakwaan, keadilan, dan kebaikan. Selain itu, telusurilah makna dalil dengan serius. Lakukan dengan sistem double investigation. Jika itu adalah hadis, maka kritisi dua aspeknya, yakni aspek matan dan sanadnya.ÔÇØ Demikian kata pak Faiz menguraikan solusi yang diajukan oleh Fatima Mernissi. Saya tidak mengerti tentang matan dan sanad. Karena itu, saya kemudian meminta teman sepengajian Filsafat untuk memberikan kursus singkat tentang dua hal tersebut, meskipun pada akhirnya saya dengan antusias mengatakan kepada mereka, ÔÇ£Saya yakin kepada kalian untuk membereskan persepsi salah terkait hadis-hadis yang mendiskreditkan perempuan.ÔÇØ Lalu, kami pun cekikikan. Fatima Mernissi, gadis kecil yang nakal yang dulu dikurung di dalam harem, sekarang mendunia berkat pemikirannya yang luar biasa. Secerdik Syahrazad, maka begitulah ia melawan penindasan yang ia dan perempuan lain alami. Bukan dengan angkat senjata, kekuatan fisik, dan sejenisnya, tetapi dengan menulis. Menuliskan gagasan-gagasan dan kritik, lalu menyampaikannya dengan berani. Demikian yang diajarkan oleh Fatima Mernissi.
ÔÇ£Menulis berarti merayu dan merayu adalah lawan dari kekerasan.ÔÇØ
Fatima mungkin menyadari bahwa cara yang paling utama untuk memberikan pengertian adalah dengan merayu. Artinya, mendorong seseorang melakukan sesuatu dengan cara yang halus, perlahan-lahan, dan tidak menyakiti secara fisik maupun emosional. Itulah yang dilakukan oleh sebuah tulisan. Ketika membaca, orang akan menjadi sepakat dan terbuka pikirannya karena ia memahami suatu wacana. Pemahaman mendorong ia melakukan sesuatu dengan kesadaran penuh. Bukan melakukan sesuatu karena ia takut. Takut kepada hegemoni, takut kepada dalil api neraka, takut kepada cibiran masyarakat. Fatima menyaksikan, kekerasan dan diskriminasi menyebabkan bungkamnya kaum perempuan. Perempuan tunduk bukan karena ia ingin tunduk, melainkan karena ia takut. Maka, Fatima tidak membalasnya dengan menjadikan pria tunduk karena kekerasan, tetapi merayu melalui tulisan. Tulisan kemudian membuka pemahaman. Pemahaman pun kemudian membuat kita melakukan sesuatu dengan suka cita, tidak dalam ketakutan. Ketakutan dengan dalil, apalagi!

Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ria Fitriani

Apoteker, Suka Sastra.