Penderitaan dan Kurangnya Kecerdasan Perasaan Kita
“Ketika persepsi keliru kita diperbaiki, penderitaan juga berhenti”—Adi Shankaracarya.
Mengapa kita mengalami penderitaan? Apa penyebabnya? Apakah dunia sekejam itu? Bagaimana cara kita mengatasinya? Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terus bergulir sepanjang hidup berjalan, bahkan mungkin ada di antara kita akan berdebat mencari jawabnya.
Jawaban yang muncul tentu tidak ada yang pasti, jawaban yang ada berpotensi benar dan juga salah. Tugas kita adalah mencari jawabannya tanpa berhenti, sebagaimana pertanyaan-pertanyaan lain dalam hidup.
Bagi penulis, awal penderitaan itu datang dari pemahaman kita yang keliru. Ketika mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan, kita cenderung merasa menderita. Seperti juga merasa bahwa penderitaan dalam hidup seolah hanya mengikuti diri sendiri, merasa tidak ada kesenangkan yang tersisa dalam hidup, merasa bahwa kesempatan-kesempatan telah lama berlalu dan meninggalkan penyesalan saja, merasa bahwa masalah “ini” dan “itu” tidak kunjung selesai. Masalah perasaan dan pikiran semacam ini bisa kita sebut sebagai gejala menuju depresi—kalau bukan self-pity yang tidak perlu.
Depresi dan self-pity merupakan kondisi mental/jiwa yang sekilas tampak mirip dan berjalan beriringan. Namun ada perbedaan mendasar dari depresi dan self-pity (diartikan sebagai mengasihani diri dalam bahasa Indonesia).
Depresi merupakan gangguan jiwa pada seseorang yang ditandai dengan perasaan yang merosot (seperti muram, sedih, perasaan tertekan). Menurut National Institute of Mental Health (NIMH) dikatakan bahwa “Depression (also called major depressive disorder or clinical depression) is a common but serious mood disorder. It causes severe symptoms that affect how you feel, think, and handle daily activities, such as sleeping, eating, or working. To be diagnosed with depression, the symptoms must be present for at least two weeks”.
Sedangkan self-pity, mengikuti pendapat Amy Morin seorang psikoterapis asal Amerika, merupakan perasaan yang melampaui kesedihan yang sehat. Karena dalam situasi ini seseorang merasa kasihan kepada diri sendiri dan membesar-besarkan kemalangannya (Amy Morin, 2019). Berbeda dengan depresi, self-pity merupakan pilihan, kita bisa memutuskan untuk melanjutkan perasaan mengasihani diri sendiri itu atau tidak.
Penting untuk diingat, bahwa perasaan bukan sesuatu yang selalu relevan, kadang ia malah mencegah pemahaman tumbuh. Hal ini perlu kita sadari, karena perasaan menderita hanya akan mengurung diri kita ke jeruji kemalangan tanpa mengerti akar masalah yang sebenarnya terjadi. Ia hanyalah persepsi kita yang keliru tentang sesuatu, mengalihkan dari sebab suatu masalah yang kita hadapi, dan mendorong pikiran pada ilusi fokus.
Apa itu “Ilusi fokus?” Seperti namanya, ilusi fokus adalah keadaan di saat seseorang terjebak dalam ilusi yang ia buat sendiri. Ilusi fokus terjadi saat kita memusatkan perhatian pada satu aspek dalam hidup dan tidak melihat aspek lainnya. Seperti yang terjadi saat seseorang mengalami penderitaan, ia cenderung mempertanyakan kenapa penderitaan ini harus ia alami. Kemudian berlanjut mengasihani diri tanpa menyelesaikan apa pun.
Seperti penjelasan Rolf Dobelli dalam bukunya yang berjudul The Art Of The Good Life, “Ketika menimbang sesuatu, aAda cenderung memusatkan perhatian pada satu aspek tertentu, dan mengabaikan ratusan aspek lainnya. Anda memberikan nilai penting yang berlebihan pada aspek itu. Anda meyakini aspek itu lebih penting daripada yang sebenarnya”.
Ilusi fokus dapat kita temui dalam banyak kasus atau masalah yang dialami seseorang. Kita bisa mengambil contoh orang yang ditinggalkan kekasihnya atau putus cinta. Kebanyakan orang akan mengalami kesulitan dalam menerima kenyataan ini.
Mereka akan melihat kejadian tersebut sebagai sesuatu yang buruk saja, hanya fokus pada hal menyakitkan yang didapatkan setelah suatu hubungan selesai. Akibatnya, hal-hal negatif lain mengiringi keadaan ini, seperti lebih mudah marah dan sedih, insomnia, frustasi, bahkan kehilangan minat hidup dan mempengaruhi kesehatan (Alodokter, 2021).
Suatu hal yang wajar ketika putus cinta kemudian mengalami sedih dan kecewa, tapi ini bukan satu-satunya reaksi yang bisa kita pilih.
Ketika seseorang yang mengalami setelah putus cinta, malah tersedia luang waktu menikmati malam Minggu atau lebih banyak waktu luang untuk melakukan hal yang positif. Seperti mengembangkan lagi keahlian diri, berkumpul dengan sahabat dan keluarga, atau fokus dengan karier dan impian yang sebelumnya ia lupakan, sampai akhirnya menemukan orang baru. Waktu yang sangat cukup untuk memahami bahwa selesainya hubungan percintaan bukanlah alasan untuk menyelesaikan hidup.
Contoh lain bisa kita lihat pada perempuan yang terus-menerus merasa dirinya belum cukup untuk dikatakan cantik. Merasa selalu ada yang kurang dalam dirinya, hingga berakhir dengan rasa khawatir dan insecure sepanjang waktu. Belum lagi pendapat orang lain mengenai kadar kecantikannya.
Mengenai hal ini, Anxiety and Depression Association of America atau disingkat ADAA menyatakan, bahwa perempuan hampir dua kali lebih mungkin didiagnosis dengan gangguan kecemasan dalam hidup mereka dibandingkan laki-laki (ADAA, 2021).
Keadaan seperti ini yang seringkali membuat seseorang tidak sadar bahwa boleh jadi standar yang ia berikan pada dirinya sendirilah yang terlalu berlebihan. Ketidakpahaman atau kelupaannya pada berbeda-bedanya standar kecantikan yang menjadi alasan utama penderitaan yang ia alami. Kenyataan bahwa masalah yang sebenarnya ia hadapi bukanlah kecantikan, melainkan perasaan dan isi kepalanya sendiri.
Pola yang sama dapat diterapkan pada penderitaan-penderitaan lain dan masalah yang tidak kita lihat dan pahami secara menyeluruh. Lupa bahwa akan selalu ada hal-hal baik dalam hidup, termasuk dalam kesulitan dan penderitaan.
Kendati begitu, penderitaan bukan sesuatu yang mudah dicerna seketika, namun membutuhkan waktu. Mengetahui masalah perasaan dan cara berpikir keliru yang kita alami tidak membuat kita menjadi pakar penderitaan, yang bisa sat-set menyikapi berbagai masalah.
Kita masih manusia yang menjadi, artinya belum selesai. Ada banyak hal yang belum kita pahami. Tapi bukankah memahami satu hal lebih baik daripada tidak memahami apa pun? Karena itu, kita butuh memperbaiki pemahaman kita tentang penderitaan atau hal-hal sulit dalam hidup.
Salah satu cara yang bisa dilakukan dalam menghadapi penderitaan adalah berhati-hati pada jebakan perasaan, self-pity yang pesimis, serta ilusi fokus yang sempit. Dan mulai menyikapi berbagai masalah dengan perasaan yang tenang, cara pandang yang lebih luas, dan pikiran yang jernih.
Singkatnya, apa yang perlu kita lakukan adalah membangun kecerdasan perasaan dengan baik. Dengan begitu pemahaman kita pada penderitaan yang selama ini salah kita persepsikan berubah menjadi hikmah.
Referensi:
Alodokter, “Dampak Putus Cinta bagi Kesehatan dan Cara Mengatasinya” dalam alodokter.com. Diakses pada 2 Agustus 2022.
Anxiety and Depression Association of America, “Women and Anxiety”, dalam adaa.org. Diakses pada 8 Agustus 2022.
Dobelli, Rolf, 2019, The Art Of The Good Life : Filosofi Hidup Klasik Untuk Abad ke-21, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Morin, Amy, “2 Psychological Tricks That Will Help You Stop Feeling Sorry for Yourself”, dalam inc.com. Diakses pada 8 Agustus 2022.
National Institute of Mental Health, “Depression” dalam nimh.nih.gov. Diakses pada 8 Agustus 2022.
Shankara, Swami, 1972, Shankara’s Crest-jewel of Discrimination, trasl. Swami Prabhavananda dan Christoper Isherwood, California: Vedanta Press.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST