Peluang Menjadi Filosof
Judul: Filosof Juga Manusia | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: MJS Press, 2016 | Tebal: x + 202 halaman | ISBN: 978-602-74625-0-2
Mendengar nama-nama tokoh yang terkenal, terutama para filosof, seringnya ingatan kita menghadirkan hal-hal luar biasa perihal pemikiran kefilsafatan para filosof. Kehebatan di sini bisa jadi muncul dalam bentuk produk pengetahuan, pengaruh dan kontribusi gagasan-gagasan besar para filosof terhadap kemaslahatan manusia.
Begitu pun ketika membaca buku perihal para filosof. Pembabaran konsep, telaah gagasan kefilsafatan akan kita temukan pembahasannya. Namun, ketika membaca buku Filosof Juga Manusia karya Pak Fahruddin Faiz justru akan menemukan hal yang sebaliknya, yaitu pembicaraan yang agak “asing”.
Sebagaimana Pak Faiz tekankan bahwa, “Buku ini tentang filsafat, tetapi tanpa analisis filosofis. Buku ini menyinggung tokoh-tokoh besar filsafat, tetapi isinya sama sekali tidak membesarkan kebesaran mereka”. Jadi, garis besar buku ini mau menunjukkan sisi manusiawi kehidupan para filosof, khususnya filosof Barat, kecuali Mahatma Gandhi (hlm. vi-vii).
Sehebat apa pun kemampuan para filosof dalam mengoptimalkan potensi akal dan indranya, ingat-ingatlah bahwa mereka itu manusia. Seluas dan sedalam apa pun capaian ilmu pengetahuan seseorang, jangan sampai lupa bahwa mereka adalah manusia. Manusia dengan sisi unik dan lucu dalam kehidupannya.
Dalam kehidupan sehari-hari para filosof, selain berpikir mendalam, mempertanyakan segala hal secara radikal, kadang ada saja kejadian lucu dan unik. Dalam bukunya, Pak Faiz menjatahkan contoh, untuk menyebut sececah saja, situasi lucu para filosof.
Misal, Thales, bapak filsafat Barat abad ke-6 SM, pernah terjatuh ke dalam parit karena terlalu asik memandangi bintang-bintang di langit (hlm. 38). Jean Jacques Rousseau, filosof dan komposer Prancis era Pencerahan, malah bersyukur ketika jam tangannya dicuri. Alasan sederhananya adalah tidak perlu menghitung waktu lagi (hlm. 74).
Dalam masalah asmara, Nietzsche berkali-kali ambyar karena perempuan pujaannya menolak cintanya (hlm. 94). Michel Foucault, filosof Prancis, pernah ditanya oleh temannya perihal gaya tulisan yang sangat jelek dan susah dipahami. Itu dilakukan agar tulisannya dipedulikan oleh orang (hlm. 98). Mahatma Gandi, filosof India, ketika naik kereta satu sepatunya jatuh. Karena tidak bisa diambil, satu sepatunya lagi dibuang (hlm. 102).
Jadi, sisi unik dan lucu para filosof inilah yang ingin ditilik dalam buku Filosof Juga Manusia. Argumen pendukung dari sorotan tersebut tampak jelas pada bagian semacam pengantar. Pak Faiz menunjukkan bahwa para filosof itu tulus, tetapi kadang juga pamrih. Para filosof itu sungguh-sungguh, tetapi kadang juga iseng dan jahil. Para filosof itu berpikir mendalam, tetapi kadang dangkal dan menyakitkan. Para filosof tertib dalam berpikir, tetapi kadang juga tidak konsisten. Itulah manusia. Kelemahan dan kekurangan adalah sebuah keniscayaan (hlm. 23-24).
Meskipun demikian, buku ini sebenarnya tidak hanya mempercakapkan soal unik dan lucunya para filosof. Setelah membaca sampai tuntas, saya menemukan perihal sebaliknya juga, selain sisi unik dan lucu yang dijelaskan diawal. Keadaan lain, untuk menyebut beberapa, para filosof seperti soal asmara, bentuk fisik, sifat lupa, penyayang, hasrat ingin bebas, bolos kuliah, dan upaya “uzlah” dari dunia akademik selepas pensiun.
Dalam buku ini dicontohkan situasi lain, saya akan menyebut beberapa saja. Albert Einstein sering membolos kuliah pada matakuliah matematika. Adu argumen dengan profesor matematikanya sering dilakukan Einstein. Alasan kenapa Einstein bolos adalah karena semua teori yang diajarkan dosennya sudah ia pelajari saat masih berusia dua belas tahun. Umur segini kita masih ngapain ya?
Suatu hari filosof Yunani, Archimedes, begitu asik memikirkan dan menyelesaikan problem matematika. Karena begitu tenggelam dalam aktivitas berpikirnya itu, ia sampai lupa bahwa belum makan. Bedanya dengan anak kos, mungkin, bukannnya lupa bahwa belum makan, tetapi apa yang mau dimakan.
Rasa aman dan nyaman tentu setiap orang butuh. Kadang kita butuh me time. Demikian juga pada diri seorang Bertrand Russel. Pada saat kuliah di Harvard ia suka tempat makan yang sunyi dan murah meriah. Semisalnya di Yogyakarta mungkin identik dengan angkringan. Suatu hari seorang bertanya mengapa ia makan di situ. Russel menjawab bahwa ia tidak ingin diganggu. Bedanya lagi dengan kita mungkin lebih karena pertimbangan isi kantong.
Selain itu, setiap orang punya rasa kasih sayang. Schopenhauer, filosof Jerman, mempunyai anjing peliharaan. Saking menyayangi si anjing, Schopenhauer memanggil anjingnya dengan sebutan “atma”, jiwa dunia.
Selain kondisi yang lekat dalam keseharian di atas, dalam buku ini juga dihadirkan persoalan hubungan asmara para filosof. Di antaranya ada Stephen Hawking, Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche dengan cinta segitiga dan cinta yang selalu gagal akibat penampilan, yakni kumis tebalnya, dan Betrand Russel yang berulang kali bercerai.
Perihal keadaan fisik, terutama muka wajah juga disajikan. Seperti Socrates, filosof yang tidak begitu tampan, Jean-Paul Sartre yang “berwajah buruh” atau oleh kakeknya dikatakan sebagai manusia kodok, Alfred North Whitehead, matematikawan dan filosof Inggris yang jelek. Bisa jadi untuk kita yang serumpun dengan para filosof ini, ada kemungkinan menjadi filosof juga.
Menariknya lagi, para filosof juga kadang ada yang melakukan “suluk” selepas menekuni profesi akademiknya. Dalam buku ini kita akan menemukan para filosof yang berupaya demikian. Misal, John Dewey, filosof Amerika Serikat, membuka bisnis jual beli telur dan sayuran setelah pensiun. Ludwig Wittgenstein, filosof Wina, menjadi tukang kebun di biara Hutterdorf dekat Wina. Alfred Jules Ayer, filosof inggris, ingin meniti karir lain yaitu sebagai tap dancer. Namun, keinginan ini tidak jadi ia wujudkan.
Secara umum, buku Filosof Juga Manusia mengulas sisi manusiawi dari empat puluh satu para filosof. Karena ulasannya fokus pada sisi manusiawi, penyajian pembahasannya pun tidak terbebani oleh klasifikasi tahun, aliran, maupun konsep gagasan njelimet para filosof. Buku ini disajikan berdasarkan abjad, urutan abjadnya pun bukan dari A-Z, namun sebaliknya.
Dalam penjelasannya, para filosof disajikan dalam proporsi tidak merata. Ada filosof yang diulas secara singkat, misalnya uraian William James, Roger Bacon, Plotinus, Galileo Galilei. Ada juga yang diberi space ulasan yang agak panjang. Ini akan kita jumpai ketika membuka lembar halaman tentang Socrates, Karl Marx, Diogenes, Voltaire, Jean-Paul Sartre—di antaranya.
Dari Pak Faiz sepertinya tidak ingin membuat para pembaca repot-repot sebelum membaca buku ini. Kita tidak perlu ada ritual khusus, tidak mesti disediakan waktu khusus. Peringatan dini tersebut salah satunya karena penyajian dan ulasan buku ini memang tidak menuntut yang demikian itu.
Pesan simbolik
Berangkat dari sisi manusiawi para filosof, Pak Faiz mendorong pembaca agar bisa melihat dan menyadari bahwa para filosof itu manusia juga. Mengungkapkan sisi manusiawi tentu saja ada tujuanya. Pak Faiz menaruh harapan kepada para pembaca supaya memiliki sikap yang tidak berlebihan kepada para filosof. Kita tidak mesti terlalu fanatik tetapi juga tidak begitu merendahkan.
Luputnya kesadaran kita terhadap sisi manusiawi dari para filosof terkadang membawa efek kurang baik. Kita boleh jadi menolak dan “menutup telinga” ketika mendengarkan nama atau petuah filosof yang tidak disukai, bahkan malah sampai pada level mengutuk mereka. Padahal, boleh jadi orang yang kita anggap jelek itu baik, pun demikian sebaliknya.
Terlepas dari asumsi dasar dan pola penyajiannya, buku ini memuat petuah penting bagi kehidupan sehari-hari, apalagi dalam era yang serta mengglobal. Kandungan wejangan ini saya pahami setelah rampung membaca tuntas buku. Paling tidak ada dua pesan.
Pertama, apa yang kita lakukan setelah mengetahui sisi-sisi manusia para filosof. Dengan menyadari bahwa filosof juga manusia sama seperti kita, kita bisa mengatur ritme dan pola sikap ketika berhadapan dengan mereka. Implikasi setelah memahami filosof juga manusia adalah lenturnya cara kita mempersepsikan mereka.
Kedua, buku ini memberitahukan bahwa ternyata kita juga mempunyai kesempatan untuk menjadi filosof. Kita punya alur aktivitas yang sama dengan banyak para filosof. Kita berpikir mendalam, merenungkan secara sungguh-sungguh akan sesuatu, hanya saja mungkin kadang berhenti dalam angan, kadang over berleha-leha, dan akhirnya melewatkan setiap waktu yang berharga.
Category : resensi
SHARE THIS POST