Negara; Gagal dan Makmur

slider
10 November 2021
|
2205

Judul: Mengapa Negara Gagal; Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan | Penulis: Daron Acemoglu dan James A. Robinson | Penerbit: Kompas Gramedia | 978-602-04-0202-4 | Terbit: 2017 | Halaman: xxiii + 582

Buku Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran dan Kemiskininan (2017) yang diterjemahan dari Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (2012) merupakan referensi apik bagi peminat studi ekonomi politik. Buku ini ditulis oleh Daron Acemoglu, seorang ahli ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology, dan juga James A. Robinson, pakar ekonomi politik dari Harvard University.

Kedua pakar mendasarkan studinya pada metode perbandingan politik dan analisis historis. Buku ini berupaya menjawab pertanyaan mengenai faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antar negara, seperti negara yang makmur seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman di satu sisi, dan pada sisi yang lain negara-negara yang dianggap gagal mencapai kemakmuran seperti di Amerika Tengah, sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan.

Buku ini dibuka dengan fakta tentang tingkat kesejahteraan yang rendah di Mesir, yang kemudian menghadirkan ketidakpuasan rakyat dalam bentuk protes secara besar-besaran. Mesir mengalami masalah kemiskinan karena persoalan institusi ekonomi politiknya.

Di Mesir, institusi ekonomi politiknya berjalan secara tertutup atau ekstraktif. Hal itu menyebabkan terjadi monopoli kekuasaan dan ekonomi. Dengan kalimat lain, terjadi konsentrasi kekuatan politik pada segelintir orang yang cenderung mengeruk kemakmuran dari masyarakat lain.

Bagi Acemoglu dan Robinson, penyebab kemiskinan yang terjadi di Mesir juga terjadi di banyak negara miskin lainnya: Zimbawe, Korea Utara dan lain-lain.

Sementara itu, di negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat yang menjadi makmur dan kaya karena, rakyatnya berhasil bangkit menggulingkan kelompok elite lantas, menciptakan masyarakat yang memiliki hak politik merata bagi segenap warga, pemerintahan yang akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi warga.

Bagi Acemoglu dan Robinson, kemakmuran dan kemiskinan suatu negara ditentukan oleh faktor institusi politik dan ekonomi. Negara yang makmur memiliki institusi ekonomi-politik yang inklusif (terbuka), yang memungkinkan setiap warganya mengembangkan segala macam potensi dan mempunyai hak-hak politik yang sama.

Sebaliknya, kemiskinan suatu negara terjadi karena institusi ekonomi politik yang ekstraktif (tertutup) sehingga, memungkinkan terjadinya konsentrasi kekayaan yang hanya dikuasai oleh segelintir elite, pembatasan hal politik, dan tentu saja otoriter.

Bantahan atas Tesis Weberian; Geografis dan Kebodohan

Posisi Acemoglu dan Robinson dalam buku ini yang menekankan pada institusi sebagai penentu kemakmur-gagalan suatu negara merupakan bantahan atas tesis yang menyebut bahwa, kemaju-gagalan suatu negara ditentukan oleh budaya (weberian) dan geografis. Secara argumentatif, keduanya memberikan berbagai contoh kasus dengan melakukan komparasi.

Acemoglu dan Robinson mencontohkan, di wilayah Nogales, sebuah perbatasan antara Amerika Serikat dengan Meksiko. Wilayah tersebut mempunyai letak geografis dan budaya yang sama. Akan tetapi ada kesenjangan yang nyata, antara Nagolas (Arizona) yang masuk ke wilayah Amerika Serikat di satu sisi, dengan Nogales Sonora yang masuk ke dalam wilayah Meksiko. Nogales yang masuk ke dalam wilayah Amerika, mempunyai tingkat kesejahteraan, harapan hidup yang lebih baik bila dibandingkan Nogales yang masuk wilayah ke Meksiko.

Menurut keduanya, perbedaan tersebut karena faktor institusinya. Letak geografis maupun budaya jelas tidak memadai untuk menganalisis fenomena kesenjangan di wilayah perbatasan tersebut. Sebab letak geografi dan budaya kedua wilayah tersebut sama, tapi institusinya berbeda. Institusi politik di Nogales bagian Amerika Serikat dinilai lebih inklusif.

Contoh lain yang ditulis misalnya, tingkat kesejahteraan di Korea Selatan dan Korea Utara. Kedua negara tersebut mempunyai latar geografis dan budaya yang sama. Akan tetapi, tingkat kesejahteraan Korea Selatan dinilai jauh lebih baik dibandingkan Korea Utara. Menurut keduanya lagi-lagi disebabkan karena institusi politik yang berbeda.

Institusi politik di Korea Selatan merupakan institusi yang inklusif, yang memungkinkan setiap warganya mengembangkan kerativitas dan mengoptimalkan potensinya. Sementara institusi di Korea Utara merupakan institusi ekstraktif yang menghambat warganya untuk memacu potensi dan berekspresi kreatif.

Selain dua tesis tadi, Acemoglu dan Robinson pun membantah pandangan yang menyebut kebodohan pemimpin sebagai faktor gagalnya sebuah negara. Keduanya memberi contoh, kesenjangan antara Amerika Serikat dan Meksiko bukan karena kapasitas pemimpin di kedua negara tersebut, melainkan karena institusi ekonomi-politik di Meksiko yang hanya menguntungkan segelintir elite. Bagi keduanya, pandangan kebodohan pun tidak bisa menjelaskan persoalan kesenjangan antar negara dalam level makro.

Catatan Kritis atas Pandangan Acemoglu dan Robinson

Saya rasa institusi memang memainkan peranan besar dalam kemajuan suatu negara. Misalnya institusi yang bekerja untuk kepentingan kelas pemodal, jelas akan menghambat laju pemerataan sehingga memicu kegagalan negara dalam meminimalisir kesenjangan ekonomi, sosial, ataupun politik. Institusi yang menjadi lahan subur bagi berkembangnya ‘korupsi berjamaah’ dapat membawa suatu negara ke dalam jurang kehancuran.

Akan tetapi, jangan keburu berbaik sangka pada buku ini dengan memberi apresiasi berlebihan. Ada beberapa catatan terhadap studi Acemoglu dan Robinson di buku ini, antara lain;

Pertama, meski saya menyepakati institusi memainkan peranan besar dalam kemaju-munduran negara-bangsa, tetapi bukan berarti faktor lain bisa dieliminasi begitu saja. Dalam konteks kekinian misalnya tentang ketahanan negara dalam menghadapi Covid-19. Nyatanya faktor kepemimpinan pun memainkan peranan yang penting untuk menambah dan mengurangi korban yang terpapar.

Kedua, saya bepandangan bahwa dalam ilmu sosial selalu ada kompleksitas sehingga, akan sulit mendapat formulasi hukum yang berlaku universal. Misalnya dalam satu kasus, letak geografis bisa jadi menghambat laju perkembangan suatu negara atau masyarakat, tapi dalam kasus mungkin saja itu tidak berlaku.

Kompleksitas itu bisa juga dalam bentuk bahwa, yang menjadi penyebab suatu fenomena politik dipengaruhi bukan hanya institusi, tapi berkelindan dengan geografis dan budaya. Maka tidak selalu bisa disimplifikasi atau dengan kata lain, fenomena tertentu bisa dilihat dengan berbagai perspektif.

Jared Diamond, seorang Professor Geografi dan Kesehatan Lingkungan dari UCLA, Barkeley, dalam What Makes Countries Rich or Poor (2012) pun menegaskan bahwa faktor yang menyebabkan kegagalan suatu negara memang ganda dan beragam. Dalam karyanya yang lain, yaitu Collapse: Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia (2017), ia pun menuturkan bahwa di masa lalu faktor ekologis turut memengaruhi keruntuhan berbagai peradaban.

Ketiga, Acemoglu dan Robinson memposisikan Amerika Serikat dan negara maju lainnya sebagai model perekonomian yang inklusif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik. Keduanya menyebut bahwa, institusi ekonomi yang inklusif memungkinkan setiap warga negara untuk berkreativitas dan berinvestasi sehingga, sistem yang mereka maksud jelas mengarah ke sistem pasar atau kapitalisme. Akan tetapi yang jadi persoalan, orang yang datang ke pasar tidak dalam kondisi yang setara. Dan kondisi yang timpang itu, kemungkinan malah bisa mempertajam kesenjangan. Demikian.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Cusdiawan

Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran