Metaverse dalam Bayang-Bayang Tragedi Kebudayaan

slider
24 Januari 2023
|
1389

Perkembangan teknologi merupakan bagian tak terpisahkan dari kecepatan perkembangan zaman yang dialami oleh umat manusia. Sejumlah teknologi terus bermunculan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berupaya menguak sisi-sisi kehidupan manusia.

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan salah satu bidang yang mengalami peningkatan akselerasi, baik dalam produksi maupun konsumsi. Tidak hanya disebabkan oleh persaingan industrial, terjadinya pandemi Covid-19 di akhir tahun 2019 membuat urgensi pemanfaatan TIK mengalami peningkatan.

Perwujudan dari keberadaan perkembangan TIK dapat dijumpai dari melimpahnya produk-produk yang diklaim dapat membantu serta mempermudah kehidupan manusia, seperti smartphone, laptop, smart tv, hingga perangkat virtual reality.

Di awal tahun 2022, salah satu perusahaan teknologi ternama yaitu Meta (dulunya Facebook) meluncurkan gagasan mengenai Metaverse. Penggagasnya tentu saja adalah CEO Meta, Mark Zurckerberg, yang ingin membuat dunia virtual layaknya dunia nyata.

Metaverse diklaim dapat memberikan nuansa kehidupan nyata pada penggunanya tanpa perlu terjadi pertamuan maupun perjalanan fisik. Masing-masing dari pengguna melalui perangkat virtual reality dapat saling berinteraksi dengan tampilan avatar masing-masing.

Metaverse telah diluncurkan pada awal Desember 2021 di Amerika Serikat dan Kanada melalui platform Horizon Worlds. Di Indonesia sendiri wacana Metaverse telah dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan Muktamar Ke-34 PBNU di Lampung Tengah. Presiden mengisyaratkan pentingnya kesiapan masyarakat dalam menyongsong kecepatan perkembangan teknologi di masa depan, salah satunya adalah kehadiran Metaverse.

Potensi Metaverse

Bila diperhatikan, Metaverse menawarkan suatu dunia atau ruang baru di mana manusia dapat melakukan sejumlah aktivitas layaknya aktivitas keseharian. Penggunaan Metaverse paling mudah dijumpai dalam industri game online, seperti fornite, minecraft, roblox, dan second life.

Pada game-game ini pengguna diajak berperan secara langsung menjadi karakter-karakter yang ada di dalamnya, sehingga timbul kesan nyata dalam diri pengguna. Namun proyeksi pemanfaatan Metaverse tentunya tidak akan berhenti sekadar sebagai media hiburan. Bukan tidak mungkin dengan potensi yang dimiliki Metaverse, aspek-aspek kehidupan manusia lainnya akan ikut terdampak, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, dan pendidikan.

Keberadaan Metaverse tentunya tidak dapat dipahami sekadar sebagai bentuk perkembangan teknologi yang dapat membawa keuntungan ekonomis dan mempermudah kehidupan manusia. Hadirnya teknologi tentu membawa efek-efek tertentu yang perlu diantisipasi. Hal yang paling sederhana dari bentuk antisipasi tersebut adalah memahami bahwa teknologi memiliki peluang untuk menguasainya penciptanya, yaitu manusia.

Ketika manusia sudah kehilangan kendali atas ciptaannya, maka yang terjadi justru manusia yang dikuasai oleh ciptaannya sendiri. Hal ini tentu ironis, di mana pada awalnya penciptaan teknologi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, yang terjadi justru manusia mengikuti cara kerja teknologi.

Simmel dan Tragedi Kebudayaan

Kemampuan teknologi untuk mengendalikan manusia atau ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan teknologi dapat ditinjau dalam perspektif sosiolog asal Jerman, Georg Simmel.

Simmel memahami konsep masyarakat sebagai interaksi antar individu. Hal ini sedikit berbeda dengan arus perkembangan pemikiran sosiologi pada saat itu yang berkiblat pada dua tokoh besar, yaitu August Comte dan Herbert Spencer.

Simmel berusaha mengisolir soiologi dari pengaruh “hukum-hukum perkembangan sosial”, yang dalam asumsinya setiap unsur masyarakat bergerak menurut hukum-hukum alam (Widyanta, 2002: 78).

Tragedi kebudayaan merupakan salah satu ulasan Simmel mengenai kondisi manusia dalam masyarakat modern. Kebudayaan dikategorisaikan menjadi dua bentuk, yaitu budaya objektif dan budaya subjektif.

Budaya objektif dapat berupa alat, sarana transportasi, produk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, bahasa, ranah intelektual, kebijaksanaan konvensional, dogma agama, sistem filsafat, sistem hukum, kode moral, dan cita-cita (Ritzer, 2011: 172-173).

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa budaya objektif adalah hasil ekspresi atau ciptaan dari kemampuan manusia. Tujuan utama dari aktivitas ini adalah untuk mengembangkan diri. Agar dapat melalui proses pengembangan yang maksimal, disinilah diperlukan budaya subjektif.

Konsep budaya subjektif digunakan Simmel untuk melukiskan tingkatan di mana individu-individu telah menyerap unsur-unsur budaya objektif dan menyatakannya ke dalam struktur kepribadiannya (Widyanta, 2002: 136).

Kebudayaan yang ideal menurut Simmel dapat tercipta apabila hubungan budaya objektif dan budaya subjektif mencapai titik seimbangnya. Simmel menggambarkan titik tersebut sebagai proses subjektivasi budaya objektif dan objektivasi budaya subjektif (Widyanta, 2002: 139).

Tragedi kebudayaan terjadi ketika budaya objektif mendominasi budaya subjektif, atau budaya subjektif tidak mampu mengendalikan budaya objektif. Modernisasi telah memantik manusia untuk menciptakan berbagai macam produk yang justru membebani dirinya sendiri.

Secara tidak disadari, produk-produk manusia seolah-olah memiliki jalan pikir maupun logikanya sendiri. Simmel menyebutnya sebagai reifikasi, yaitu satu situasi di mana budaya objektif (produk-produk manusia) menjalin kehidupannya secara independen dari penciptanya (manusia).

Hal ini tentunya membuat manusia sebagai subjek tenggelam dan kehilangan dirinya sendiri. Contoh yang diajukan Simmel sebagai bentuk dari tragedi kebudayaan adalah keunggulan uang yang memiliki efek mendalam pada sifat hubungan manusia (Ritzer, 2011: 173).

Uang sebagai bentuk dari penemuan manusia membuat kehidupan sosial masyarakat menjadi penuh dengan rasionalitas dan perhitungan. Dalam kajiannya tentang kota, Simmel juga mendeskripsikan bagaimana uang mengubah wajah kota menjadi penuh perhitungan tanpa sisi emosional.

Mengantisipasi Metaverse

Sangat jelas bahwa Metaverse berpotensi menjadi wahana alternatif bagi masyarakat di masa depan, baik untuk mencari hiburan atau bahkan mengakomodir aktivitas keseharian. Meskipun sejauh ini penggunaannya masih sebatas sebagai sarana hiburan, bukan tidak mungkin Metaverse dapat mengganti ruang kelas, ruang kerja, fasilitas olahraga, taman bermain, atau bahkan kedai kopi.

Aktivitas pembelajaran dan perkantoran konvensional yang melibatkan sentuhan fisik berpotensi tergantikan dengan interaksi virtual menggunakan avatar-avatar. Di satu sisi ini merupakan bentuk efektivitas dan efisiensi, namun di sisi lain dapat membawa dampak-dampak tersendiri yang tidak diinginkan.

Memahami kehadiran Metaverse tentu saja tidak dapat berhenti hanya pada keuntungan ekonomis yang dihasilkan atau tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam pemanfaatan. Dampak pada kehidupan manusia secara sosiologis juga perlu dipertimbangkan agar kehadirannya tidak menjadi permasalahan baru.

Menilik sejenak pada perkembangan handphone yang kemudian bertransformasi menjadi smartphone. Harus diakui bahwa smartphone telah memberikan sejumlah manfaat yang nyata bagi kehidupan manusia, di mana pada awalnya sekadar memenuhi fungsi komunikasi, namun sekarang telah memenuhi berbagai macam fungsi, baik ekonomi, sosial, maupun budaya.

Dunia benar-benar serasa berada dalam genggaman manusia. Fitur-fitur yang terus dikembangkan membuat smartphone seolah-olah menjadi teknologi super canggih yang wajib dimiliki manusia.

Namun, segala kecanggihan tersebut hanyalah satu sisi, di sisi yang lain smartphone justru menciptakan masalah-masalah baru, seperti hilangnya intimasi, melemahnya keakraban, cybercrime, kecanduan internet, gangguan psikologis, dan lain sebagainya.

Fitur-fitur tertentu yang fungsi utamanya memudahkan justru menjadi menyulitkan manusia. Misalnya media sosial yang pada awalnya bertujuan menghubungkan manusia satu sama lain tanpa melalui pertemuan fisik, namun justru menjadi sumber ujaran kebencian, media penghasutan, dan sarana pencemaran nama baik. ‘Keterhubungan’ yang hendak dituju oleh media sosial justru menghasilkan ‘keterputusan’.

Metaverse sebagai produk teknologi juga berada dalam bayang-bayang yang sama seperti smartphone. Apabila manusia sebagai penciptanya tidak mampu memfungsikanya sebagaimana mestinya, maka kekhawatiran Simmel mengenai dominasi budaya objektif bisa saja terjadi.

Metaverse seolah-olah hidup dengan logikanya sendiri menuntun manusia untuk ikut dalam permainannya. Bukan tidak mungkin kehadirannya justru menggantikan seluruh aktivitas manusia yang selama ini telah dilakukan tanpa melalui Metaverse.

Tragedi kebudayaan bisa saja terjadi ketika manusia benar-benar meninggalkan interaksi berbasis sentuhan fisik, seperti dalam pembelajaran di ruang kelas, obrolan di kantin perkantoran, bersantai di taman kota, berolahraga di sekitar komplek perumahan, ataupun berkunjung di tempat rekreasi.

Interaksi antar avatar manusia menggantikan interaksi antar tatapan mata; perjalanan fisik digantikan dengan penggunaan perangkat virtual reality; dan ruang publik menjadi sepi karena keramaian berpindah di ruang virtual. Tentu ini menjadi semacam mimpi buruk masa depan apabila manusia benar-benar berada dalam kendali ciptaannya sendiri.

Oleh karena itu, gagap dan gugup ketika suatu produk teknologi diluncurkan bukanlah sikap yang tepat, karena hal tersebut justru membuat manusia rentan berada dalam kendali teknologi. Sebagaimana yang telah dijelaskan Simmel, untuk dapat mengimbangi keberadaan budaya objektif dibutuhkan budaya subjektif. Artinya dibutuhkan kesiapan dalam berhadapan langsung dengan Metaverse.

Kesiapan di sini tidak hanya dalam aspek keterampilan, tapi juga aspek mental dan kebijaksanaan. Manusia dapat mengerti mana aktivitas yang dimediasi oleh Metaverse, dan mana yang memang masih perlu dilakukan sebagaimana biasanya.

Apabila manusia mampu menyeimbangkan antara budaya objektif dan budaya subjektif, maka kebudayaan berkembang secara ideal. Perkembangan industri teknologi digital tidak hanya menuntut manusia untuk memiliki keterampilan digital, tapi juga etika dan budaya digital.

Melalui kesadaran manusia akan pentingnya kemampuan untuk mengendalikan ciptaannya sendiri, di masa depan manusia dapat terhindar dari apa yang disebut Simmels sebagai tragedi kebudayaan.

Referensi:

Prasetyo, Hery, 2013, “Sociology of Space: Sebuah Bentangan Teoritik” dalam Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 7(2): 63-78.

Ritzer, George, 2011, Sociological Theory, 8th edition, New York: McGraw-Hill.

Sari, Dina Purnama, 2022, “Pemanfaatan NFT sebagai Peluang Bisnis pada Era Metaverse” dalam Jurnal AKRAB JUARA, Vol. 7(1): 237-245.

Susanti, Deffy, dan Ii Sopiandi, 2022, “Menganalisis Informasi Metaverse pada Game Online Roblox secara Garis Besar” dalam Jurnal PETISI, Vol. 3(1): 1-4.

Widyanta, AB, 2002, Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel, Yogyakarta: Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Dimas Wira Adiatama

Pengajar Sosiologi/Alumnus Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta