Merawat Indonesia Lewat Bahasa

slider
15 Maret 2021
|
2253

Perasaan memiliki atau sense of belonging terhadap identitas tercipta karena manusia merasa nyaman dan aman menjadi bagian dari sebuah kelompok.

Misalnya, orang Indonesia yang sedang kuliah di luar negeri cenderung akan mencari teman baru yang sama-sama berasal dari Indonesia; mencari tempat-tempat makan yang menjual masakan Indonesia; atau mencari komunitas khusus yang beranggotakan anak-anak Indonesia.

Hal itu menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki sense of belonging atau perasaan memiliki terhadap identitas keindonesiaannya. Ia mencari teman baru yang sama-sama berasal dari Indonesia sebab merasa nyaman dengan karakter keindonesiaannya. Begitu pula alasan ia mencari tempat makan dan komunitas khusus anak-anak Indonesia. Segala hal tentang keindonesiaan menjadi refleksi dari dirinya sendiri sehingga membuatnya merasa aman dan nyaman.

Kondisi tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Zhao, dkk dalam jurnalnya, Cultivating The Sense of Belonging and Motivating User Participation in Virtual Communities.

Dalam tulisan itu disebutkan bahwa sense of belonging adalah kemelekatan emosional individu terhadap objek tertentu. Setiap individu yang merasa memiliki sense of belonging di dalam dirinya akan memiliki kasih sayang dan rasa keanggotaan terhadap sesuatu tersebut.

Soeprapto dan Jirzanah dalam tulisannya tentang identitas bangsa juga mengemukakan hal yang sama. Mereka mengungkapkan bahwa upaya untuk menghadapi masa sekarang dan harapan membangun masa depan membutuhkan pengetahuan tentang kehidupan kultural masa lampau.

Pemahaman yang utuh terhadap perjuangan ‘berdarah-darah’ para pahlawan pada masa lampau akan memperkuat rasa nasionalisme dan identitas nasional. Kesadaran terhadap kontinuitas historis inilah yang menjadi ‘senjata ampuh’ untuk mempersatukan perbedaan.

Setiap manusia Indonesia harus menyadari bahwa kebebasannya saat ini merupakan buah dari rasa nasionalisme para pejuang kemerdekaan yang tinggi. Mereka tidak hanya berasal dari satu suku saja, melainkan dari seluruh penjuru pulau di Indonesia. Perbedaan suku, bahasa, agama, dan budaya tidak menjadi batu sandungan bagi mereka untuk memperjuangkan kesatuan dan keutuhan bangsa.

Keutamaan persatuan dari sebuah negara yang beragam juga dapat dipahami lewat tragedi Israel  pada 1949. Kisah ini dituturkan oleh Hamka dalam karyanya yang bertajuk Falsafah Hidup.

Di dalam perang yang ‘berat sebelah’ itu, Israel menghadapi tujuh negara Arab. Pemenangnya justru diraih oleh Israel. Ketujuh negara Arab dibuat tidak berdaya.

Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan, sampai sekali waktu Gamal Abdel Nasser diberi pertanyaan, “Mengapa tujuh negara Arab kalah oleh Yahudi yang hanya satu negara?”

Dengan tenang Gamal menjawab, “Mudah saja karena mereka (Israel) bersatu, sementara kita pecah menjadi tujuh.” Ungkapan Gamal setidaknya memberikan sebuah pelajaran ihwal persatuan dalam keberagaman.

Sejatinya, gagasan seperti di atas telah dipikirkan oleh pemimpin-pemimpin kita terdahulu. Terbukti dari kelahiran semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Perbedaan bukan alasan dan menjadi penghalang persatuan, sebab pada hakikatnya manusia memang diciptakan berbeda-beda. Oleh karena berbeda, manusia dituntut untuk saling mengenal dan menghargai agar perbedaan tersebut bisa menyatu.

Selain perasaan sama-sama pernah dijajah, bahasa ternyata juga memiliki peran penting dalam menyatukan keberagaman. Keberadaan bahasa dapat menjadi salah satu identitas sebuah bangsa. Bahasa dimaknai oleh Paulston dalam Linguistic Consequences of Ethnicity and Nationallity., Language and Education in Multi-Lingual Setting sebagai cerminan kondisi sosial seseorang dan hubungan antarmanusia.

Ungkapan Paulston mengisyaratkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga berfungsi sebagai alat identifikasi diri dalam sebuah kelompok sosial. Bahasa, sederhananya seperti ini: ketika seseorang bertemu dengan perempuan yang berbicara dengan bahasa Brazil, maka orang tersebut akan menganggap perempuan tersebut beridentitas sebagai orang Brazil.

Begitu juga ketika bertemu dengan lelaki yang berbicara dengan bahasa Indonesia, maka lelaki tersebut akan dianggap beridentitas sebagai orang Indonesia.

Identitas itulah yang menjadi pembeda suatu bangsa dengan bangsa lainnya, sekaligus sebagai pemersatu sebuah bangsa. Perbedaan bahasa-bahasa lokal, seperti bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya adalah hal yang lumrah.

Namun, keberagaman bahasa itu kerap dianggap sebagai penghambat persatuan. Padahal, masalah seperti itu sudah diselesaikan lewat penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional sesuai isi “Sumpah Pemuda”.

Keberadaan bahasa Indonesia tidak bermaksud untuk menggeser posisi bahasa lokal. Akan tetapi, untuk ‘menjahit’ setiap bahasa lokal dari seluruh wilayah Indonesia agar menjadi sehelai ‘kain utuh’ yang bernama bangsa Indonesia.

Sebut saja seperti fenomena alih kode dan campur kode yang digunakan untuk menghargai lawan bicara agar dapat mengikuti alur percakapan. Itu adalah satu di antara contoh urgensi bahasa dalam menjahit keberagaman. Misalnya, ada seseorang dari etnis Madura dan Jawa bersua, lalu seseorang dari etnis Madura memulai percakapan dengan menggunakan bahasa daerahnya yang tidak dipahami oleh etnis Jawa.

Permasalahan seperti itu akan terselesaikan ketika dua orang dari etnis yang berbeda tersebut sama-sama memahami bahasa Indonesia. Komunikasi akan tetap berlanjut asyik, meskipun keduanya memiliki latar belakang suku yang berbeda.

Identitas nasional dapat dikenali lewat lambang negara, lagu kebangsaan, dan bahasa. Dari tiga hal tersebut, bahasa merupakan aspek yang rentan ditenggelamkan oleh budaya global. Sampai sejauh ini, masih belum ditemui berita tentang lambang negara maupun lagu kebangsaan yang dinyatakan hampir punah.

Sementara bahasa, sudah berkali-kali artikel dan berita yang menginformasikan ancaman kepunahan suatu bahasa. Oleh sebab itu, bahasa Indonesia sebagai identitas nasional bangsa Indonesia kiranya perlu dipertahankan di tengah gempuran budaya asing, karena pada dasarnya bahasa adalah jati diri penuturnya.

Sederhananya, jati diri seseorang dapat dikenali lewat bahasa yang digunakan. Jika seseorang lebih sering menggunakan bahasa Inggris misalnya, maka ia bisa saja dianggap sebagai warga Britania meskipun sejatinya ia warga asli Indonesia.

Contoh sederhana ini menggambarkan bahwa betapa mudahnya seseorang kehilangan identitas aslinya ‘hanya’ gara-gara bahasa yang ia gunakan. Tidak mengherankan jika semboyan lama menyatakan bahwa ‘bahasa menunjukkan bangsa’.

Masalah kebahasaan sebagai identitas nasional menjadi hal yang lebih kompleks kala dikaitkan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Penggunaan istilah asing dalam kehidupan sehari-hari telah dianggap lumrah dan tidak menyalahi kaidah.

Ungkapan otw (on the way) sebagai balasan atas pertanyaan ‘di mana’ lebih sering digunakan daripada ungkapan ‘sedang berada di jalan’. Begitu pula dengan istilah pending yang tidak ketinggalan digunakan sebagai ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang tertunda terkirim. Serta, masih banyak istilah asing lainnya yang menjadi penanda keterancaman bahasa nasional di negaranya sendiri.

Bukankah menjadi hal yang cukup ‘memalukan’ jika bahasa ‘dipunahkan’ oleh penuturnya sendiri, padahal penuturnya masih hidup dan disebut sebagai generasi muda?


Category : kebudayaan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Akhmad Idris

“Menulis adalah mengukir nama di dunia yang sudah lama fana”. Penulis buku Wasiat Nabi Khidir Untuk Rakyat Indonesia (2020)