Menulis Bersama Haruki Murakami

slider
04 April 2022
|
2660

Judul: Seni Menulis | Penulis: Haruki Murakami | Penerjemah: Rozi Kembara | Penerbit : Circa | Terbit: Cetakan pertama, November 2020 | Tebal: vii  + 138 hlm | ISBN: 978-623-7624-36-3

Segala hal tentang  bagaimana cara menulis kudapatkan dari musik. Mungkin kedengarannya aneh, tapi seandainya aku tak terobsesi terhadap musik, mungkin aku tidak akan pernah menjadi seorang novelis - Haruki Murakami.

Sudah tak diragukan lagi  jika berkunjung ke kebun pikiran Haruki Murakami, alias karya-karya bukunya, pasti akan ada saja yang dipetik dan dibawa pulang: ilmu, motivasi, dan petuah. Seperti salah satu buku terjemahan satu ini Seni Menulis. Buku yang ditanami Murakami itu terdapat bermacam-macam khasiat di dalamnya.

Terlebih lagi, Murakami, agaknya mendesain kebun pikiran itu secara berbeda dengan para penulis lain sehingga, membuat para pembaca karyanya akan merasa nyaman dan, yang belum membaca akan penasaran.

Musik dan Melodi Kata

Jika membenturkan dengan persoalan ideal menjadi seorang atlet, dibutuhkan kematangan latihan sedari kecil. Misalnya, untuk menjadi pemain sepak bola, bulutangkis, dan pesilat memerlukan latihan sejak dini. Paling tidak berkisaran lima sampai 10 tahun. Hal ini mesti dilakukan agar menjadi seorang atlet yang benar-benar  profesional.

Namun, berbeda halnya jika di dalam dunia kepenulisan, persoalan umur bukan menjadi penghalang untuk menjadi seorang penulis atau bisa menulis. Murakami, di dalam buku ini mengaku secara malu-malu tidak terlintas di benaknya keinginan untuk menjadi novelis. Alasannya, sejak remaja ia tidak ada bekal ilmu kepenulisan dan yang mengajarkan soal menulis. Lebih lagi, tidak ada teman yang dapat diajak untuk berbicara soal kesusastraan. Hanya saja waktu remaja Murakami hobi masuk di dalam dunia kata yang bersahabat dengan buku.

“Sedikit pun tak pernah terbersit dalam diriku keinginan untuk menjadi seorang novelis-setidaknya hingga umurku 29 tahun. Aku serius mengatakan ini,’’tulis Murakami (hlm, 3).

Selain itu, Murakami, menyinggung hal yang membuat dirinya terdorong untuk menjadi seorang novelis. Ia mengaku musik dan kebiasaan membaca di masa remaja yang membuat dirinya terdorong untuk menjadi seorang novelis. Karya-karya yang mempengaruhi Murakami seperti Dostoyevsky, Kafka, dan Balzac.

Sementara dalam dunia musik, Murakami banyak terpengaruh oleh genre jazz. Bagi Murakami, musik jazz sudah menjadi bagian hidupnya. Sebab baginya, musik jazz memiliki magnet dengan lantunan melodi yang membiuskan.

Murakami dengan jelas mengatakan tentang musik dan menulis bahwa, “Aku kerap merasakan di dalam kepalaku ada alunan musik ciptaanku sendiri, alunan itu begitu kuat dan bergelora. Aku berandai-andai, bagaimana kalau alunan musik dalam kepalaku itu kusalurkan melalui tulisan.” ( Murakami, 2020)

Tak hanya itu, Murakami menjelaskan lagi bagaimana pengaruh musik dalam menulis fiksi. Murakami mengambil argumen paling dasar dalam karya fiksi, dan musik adalah soal irama. Oleh karena itu, bagi Murakami, menulis diperlukan adanya gaya yang apik, terasa alamiah, dan irama tulisan yang mantap agar para pembaca mau membaca tulisan lalu terhipnotis.

Soal musik jazz ini pula, Murakami memadukan antara melodi dan penyelarasan dengan kata. Dalam soal antarkalimat, kata Murakami mengatakan bahwa jika untai kalimat punya irama lembut dan indah, akan sampai tahap harmoni. Setelah itu sampai pada penghujung, yaitu improvisasi bebas di cerita itu bisa mengalir begitu saja. Sementara pada kondisi diri, perasaan telah mencapai puncak usai merampungkan tulisan, dan perasaan lega usai merampungkan pertunjukan (Murakami, 2020). 

Kemudian pada bagian ketika menulis, Murakami acapkali selalu membayangkan perkataan Thelonious Monk, seorang pianis jazz favorit Murakami sepanjang sejarah. Kata Monk, ketika ditanya tentang bagaimana caranya menghasilkan nada khas di dalam pianonya: “Tak ada not baru, not-not itu sudah ada di sana, di kibor piano itu. Tapi, kalau kau memainkan dengan terarah, nada-nada itu akan terdengar berbeda.”

Pada akhirnya perkataan Monk itu dijadikan Murakami sebagai  filosofi menulisnya. Murakami mengatakan bahwa, tak ada kata-kata baru dalam karyanya, melainkan hanya tugas seorang penulis untuk menyuntikkan makna dan nuansa baru atas kata-kata yang terlanjur dianggap biasa.

Menjadi Penulis Seperti Murakami

Bagaimana untuk menjadi seorang novelis? Jawabannya sederhana, membaca, membaca, dan menulis. Essay berjudul ‘So What Shall I Write About?’ yang ditulis oleh Murakami, menyarankan kepada mereka yang ingin menjadi novelis kudu banyak membaca.

Dalam konteks ini, Murakami menyarankan untuk membaca berton-ton novel. Mulai dari novel bagus, pas-pasan, bahkan novel sampah sekalipun. Premis sederhananya, agar mengetahui bagaimana alur dan susunan setiap novel.

Selain itu, Murakami berbagi pengalaman bagaimana bisa menjadi seorang novelis. Mulai dari soal kemauan dan menulis untuk apa. Soal kemauan ini, Murakami, menceritakan bagaimana momen sederhana dapat membuat dirinya berubah sangat drastis. Momen itu ketika Murakami menonton pertandingan bisbol, ada klub lemah bernama Yakult Swallows dengan kemauan dan latihan dapat memenangkan pertandingan melawan klub bisbol unggul di Jepang bernama Hiroshima Carp. 

Ketika itu, ada pemain Swallows, Dave Hilton, mampu memukul bola dari klub Hiroshima yang berbunyi sangat menggelegar. Pukulan itu membuat Murakami yang menonton pertandingan tersebut mendapat mendapat pencerahan dan berkata: Sepertinya aku bisa menulis novel (Murakami, 2020). 

Singkat kata, momen menonton itu selanjutnya membuat Murakami berubah sangat drastis soal pendapatnya tentang menulis. Setelah itu, enam bulan yang datang ia mampu menerbitkan buku pertamanya berjudul Dengarlah Nyanyian Angin. Pada tahun-tahun selanjutnya Murakami mampu melahirkan berbagai novel apik dan mendapatkan pelbagai penghargaan di kancah sastra dunia. 

Selain itu, soal menulis untuk apa, Murakami menuliskan di dalam buku ini berjudul “Novelis di Masa Perang”. “Menulis harus ada keberpihakan, ya, keberpihakan terhadap orang-orang yang termarginalkan oleh sistem.” Murakami memiliki argumen seandainya ada para novelis yang menulis keberpihakannya terhadap sistem yang picik seberapa berharganya novel yang diciptakan itu? (hlm, 15).

Saya rasa Murakami memadukan laku menulisnya dengan humanisme. Oleh karena itu, satu-satunya alasan Murakami menulis adalah untuk mengangkat jiwa setiap individu ke permukaan dan menyorotnya dengan cahaya. Menurutnya, tugas seorang novelis adalah berusaha terus menerus menjernihkan jiwa masing-masing individu melalui cerita kematian, cinta, kesedihan, dan gelak tawa. 


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Febi Anggara

Mahasiswa UAD Yogyakarta dan Peserta Kelas Menulis menemui senja di MJS Jilid 5