Menjadi Manusia Baru di Era Disrupsi
Menurut pandangan Aristoteles manusia adalah makhluk yang selalu mencari untuk bergabung dengan orang lain. Inilah mengapa Aristoteles mengklasifikasikan manusia sebagai “zoon politicon” yang berarti bahwa manusia pada dasarnya adalah “hewan sosial”. Dengan demikian manusia dikenal sebagai makhluk sosial (adanya hubungan simbiosis dan saling kebergantungan) .
Dalam analogi lain manusia juga dikategorikan sebagai “hayawanun nathiq” yakni hewan yang berpikir. Berpikir dalam artian menyelaraskan fungsi akal dan hati untuk kebermaknaan dan kebermanfaatan sosial.
Lebih lanjut Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan ia tidak sepenuhnya percaya bahwa bersosialisasi dengan orang lain adalah suatu kewajiban, justru bersosialisasi adalah tentang menyempurnakan identitas manusia itu sendiri.
Hidup ini terus bergerak, bertumbuh dan berevolusi, menyesuaikan habitatnya masing-masing. Berkaca pada teori evolusi—bukan berarti mengiyakan teorinya—bahwa makhluk terbentuk oleh kondisi lingkungan yang ia tinggali.
Dengan demikian kita dituntut beradaptasi. Maka akan sangat riskan di era keterbukan sosial media, kita masih menutup diri baik sikap maupun pikiran pada hal-hal yang sifatnya eksploratif. Manusia yang bisa bertahan hidup (survive) adalah mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan bekerjasama satu sama lain (kooperatif).
Intrik yang eksentrik memang selalu menjadi ruang riuh bagi interaksi sosial kemanusiaan kita. Ini bisa saja terjadi, sebab di era disrupsi dimana inovasi dan persaingan berjalan beriringan, tak jarang melawan esensi kemanusiaan. Melawan hegemoni disrupsi harus melahirkan manusia baru dengan kecenderungan memiliki persepektif yang luas tentang pemaknaanya tentang kehidupan, kontruksi pemikiran berdasarkan tatanan sosial, etika dan agama harus mampu dikombinasikan.
Mampu bermetamorfosa dan bertransformasi menysuaikan situasi dan kondisi (adaptif) sehingga lahirlah manusia-manusia yang beradab di tengah-tengah peradaban dan menjadi penggerak bagi banyak orang.
Menjadi manusia pembaharu dibutuhkan inovasi baru, pemaknaan baru, dan cara-cara baru yang berbeda dari biasanya. Menjadi manusia baru adalah menjadi manusia yang hidup dibawah kontrol kesadarannya dalam membawa energi positif dan kebaikan bagi manusia sekitarnya dan alam yang ditinggalinya.
Suatu contoh, orang yang kecenderungannya dalam bidang politik, ia dalam praktik politik harus membawa nilai-nilai keadilan dan kebaikan dalam setiap apeknya. Dengan merancang suatu gagasan praktis yang mengontrol dan menampung aspirasi masyarakat yang bertumpu pada asas kerakyatan dan kemanusiaan. Ini adalah salah satu usaha menjadi manusia baru yang keluar dari tatanan sistem perpolitikan lama yang dianggap tidak meletakkan rakyat pada tempat yang semestinya.
Begitupun orang yang perhatian pada lingkungan sosialnya. Sebagai bentuk keinginan menjadi manusia baru di tengah kekalutan iklim lingkungan, manusia harus terus bertumbuh. Artinya kesadaran berlingkungan dijadikan sebagai urgensitas dalam keberhidupan dan kebermasyarakatan demi untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Keterbukaan Pikiran dalam Ranah Sosial
Kecenderungan pemikiran yang bersifat kaku, rigid, dan konservatif akan menutup jalan ekspresif yang tidak bisa meneksplorasi etika kebenaran universal. Keadaannya kurang lebih sama dengan puas dengan kebenarannya saat ini dan melupakan sifat-sifat kondisi sosial yang terus mengalami perubahan, sehingga jalan bernalar dan berpikir pun mesti diubah.
Masyarakat adalah satu kondisi dimana ada nilai dan budaya yang tidak statis, namun bersifat dinamis. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan lantaran kondisi geografis, sosial, dan azas berpikir yang terus berkembang.
Tatanan sosial, mengacu pada Parsons dan Habermas, adalah seperangkat aturan dan institusi yang membantu orang untuk berperilaku dengan cara yang konsisten dengan nilai-nilai budaya dan norma-norma komunitas mereka. Tatanan ini juga termasuk jenis komunikasi di mana orang berusaha bekerja sama untuk menciptakan kedamaian dan ketertiban dalam masyarakatnya.
Belum lagi ketika adanya problem sosial yang berasal dari perbedaan kekayaan dan kekuasaan di antara orang-orang. Setelah revolusi industri di Eropa, orang memikirkan masalah dalam tatanan masyarakat dalam istilah “orang kaya” dan “orang miskin”, “tuan” dan “pelayan”.
Marxisme disebut sebagai aliran pemikiran yang percaya bahwa cara penyebaran ketidaksetaraan kelas di masyarakat disebabkan oleh faktor ekonomi. Namun demikian, teori ini tidak bisa begitu saja disangkal karena didasarkan pada apa yang terjadi. Hal ini dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat, karena beberapa orang mungkin merasa bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan.
Menjadi manusia baru pada era disrupsi dan kondisi sosial di atas harus menitikberatkan pada pengembangan sumber daya manusia, transformasi digital, dan keterbukaan pikiran dengan menguatkan inovasi-inovasi yang berbasis pada kebutuhan dan perkembangan sosial. Sehingga tidak tergerus oleh praktik-praktik impulsif.
Mengutip apa yang disampaikan Imam Al-Ghazali, bahwa “Siapa harinya yang lebih baik dari kemarin, maka beruntung. Siapa harinya sama dengan kemarin, maka ia rugi. Dan siapa harinya lebih buruk dari kemarin, maka celaka”. Tentu apa yang disampaikan Imam Al-Ghazali memiliki relevansinya dengan apa yang disebut transformsi diri dan transformasi sosial pada era perkembangan dunia sekarang.
Perkembangan Teknologi dan Spiritualitas
Era disrupsi digital dan teknologi berarti bahwa hal mendasar tentang bagaimana orang melihat pasar, industri, budaya, dan proses lainnya berubah karena inovasi baru dan perkembangan teknologi digital yang semakin maju.
Di era sosial baru, society 5.0 atau era disrupsi memberi dampak pada hal-hal yang sifatnya spiritualitas. Karen Amstrong misalnya mengatakan bahwa spiritualitas atau keberimanan seseorang inheren dengan kemodernenan suatu zaman.
Masa di mana manusia untuk memiliki karakteristik yang cenderung pada kepekaan rasa, kecerdasan nalar, dan juga kesadaran etika tampaknya mengalami degradasi dan sesegera mungkin harus dikembalikan. Apalagi sejak refoulusi industri di Eropa, ekonomi kapitalis dan lainnya yang secara tidak sadar merenggut sifat-sifat spiritualitas kemanusiaan secara langsung.
Di antara yang harus kita tumbuhkan dari sifat kemanusiaan di era disrupsi ini—pertama—adalah kepekaan rasa (dzauq); merupakan sensitivitas hati terhadap penerimaan atau penolakan sesuatu. Sehingga hal ini mampu menjadi filter bagi ekspresi ataupun tindakan kita dalam ranah sosial.
Kedua adalah kecerdasan nalar. Sebab, kemanusiaan kita ditandai dengan sensitivitas hati dan intelektualitas nalar. Nalar sendiri berfungsi sebagai furqan yakni membedakan mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan, baik yang berdampak pada individual maupun kolektif.
Kemudian yang paling mendasar (fundamental) adalah kesadaran etika. Etika terbentuk oleh kepekaan rasa dan kecerdasan nalar terhadap sikapnya pada perilaku sosial. Maka, menjadi manusia baru di era disrupsi ialah mengembalikan esensi rasa, nalar berpikir, dan etika dari budaya kapitalistik, hedonistik, dan statis.
Al-Jabiri dan Konstruksi Sosial Keislaman
Dalam konteks kemajuan peradaban Islam secara umum dan menjadi manusia secara khusus, Mohammad Abed Al-Jabiri menawarkan dan percaya bahwa memang budaya harus menjadi titik awal kritik ketika mencoba menghidupkan kembali bangsa. Al-Jabiri meyakini bahwa masalah ini berkisar pada bagaimana umat manusia memahami dan memperlakukan budaya, yang seringkali bergerak secara sirkular dan tidak bergerak ke arah pembaharuan.
Untuk merekostruksi budaya modernitas dengan tradisionalitas sebagai pembentukan karakter spiritualitas manusia yang selaras dengan nalar epistemologis dan nalar politis (etika), Al-Jabiri mengacu pada tiga aspek, yaitu irfani, bayani, dan burhani sebagai cara untuk membantu mengkaji dalam epistemologi Islam.
Irfani semakna dengan makrifat ialah pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman penyingkapan hakikat (ruhaniyyah) oleh Tuhan kepada hamba-Nya—kasyf yang berkaitan dengan rasa—yang dilakukan atas dasar cinta.
Penempaan diri secara moral-spiritual menjadi landasan bagaimana nantinya Tuhan akan melimpahkan kesadaran-kesadaran intuitif dalam memperoleh pengatahuan yang akan bermanfaat untuk manusia itu sendiri baik interaksinya dalam bertuhan maupun bersosial.
Kemudian bayani, model pengungkapan problematika sosial-keagamaan berdasar pada otoritas penjelasan sebuah teks tertulis, atau secara terminologi dimaknai sebagai pola pikir yang bersumber dari nash, ijma’ maupun ijtihad.
Intinya adalah bagaimana manusia mampu mentranmisikan antara narasi teks dan kemudian mengambil pelajaran untuk praktik-praktik syariah dan etika sebagai pandangan yang relevan dengan nilai-nilai sosial.
Ketiga adalah burhani. Bagi Al-Jabiri metode pembelajaran burhani mengandalkan penggunaan kemampuan intelektual manusia, seperti indra, pengalaman, dan daya rasional, untuk memperoleh pengetahuan tentang alam semesta. Dengan hal ini dapat menghasilkan produksi kebenaran yang didasarkan pada pengalaman dan pengamatan.
Dengan begitu sumber ilmu burhani adalah nalar, bukan kata-kata atau pranata. Rasio dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat pancaindra, yang disebut tasawwur dan tasdiq. Tasawwur ialah proses pembentukan konsep berdasarkan data dari indra, sedangkan tasdiq adalah proses pembuktian keabsahan suatu konsep itu sendiri. Tawaran dari Al-Jabiri ini sangat membantu dalam rangka menjadi manusia baru di era disrupsi.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST